Syuting iklan berjalan dengan lancar dan sangat menarik perhatian semua orang yang melihatnya. Tentu saja tubuh atletis Caspian yang hanya tertutup celana dalam, sebuah tas kantor, dan sepasang sepatu kerja itu merupakan pemandangan yang tak bisa ditolak siapapun, bahkan oleh para lelaki.
“Kau jadi ambil cuti panjang?” tanya Javier. Elora sudah kembali ke ruangannya sesaat setelah syuting selesai. Dan seperti biasa, Javier tak pernah mengetuk pintu saat masuk ke ruangan Elora. Elora yang tengah membereskan meja kerjanya, memberikan protes dalam bentuk desahan, lalu ia menggumamkan ‘ya’.
“Aku baru tahu kalau waktu cuti bisa diakumulasi seperti itu. Kau dapat jatah cuti berapa? Sebulan, dua bulan?”
Dari awal bekerja di Dreamcatcher, Elora memang tidak pernah mengambil cuti maupun izin sakit. Kecuali pada waktu itu … itupun Elora masuk lebih cepat dari yang seharusnya.
Stamina dan dedikasi Elora pada pekerjaannya memang sungguh luar biasa. Mungkin hal itu, ditambah dengan kemampuannya yang selalu bisa membuat klien mereka puas, sehingga atasan Elora langsung menyetujui begitu Elora mengajukan cuti panjang.
“Sebenarnya aku boleh cuti sampai setahun. Tapi bisa-bisa perusahaan ini tutup kalau aku cuti terlalu lama.”
“Sombong,” hardik Javier.
“Haruslah.”
Javier menyodorkan laporan pelaksanaan proyek yang tadi mereka kerjakan.
“Aku baca besok,” kata Elora. Ia menyandang tas kerja dan melirik ke jam dinding di ruangan. Sudah pukul delapan malam.
“Ya, aku juga tidak minta sekarang. Bukan kau satu-satunya orang yang ingin segera pulang ke rumah.”
*
Elora berjalan menyusuri tempat parkir bawah tanah. Ia tak pernah bisa tenang saat berada di tempat sepi dengan pencahayaan remang seperti sekarang. Ya, semua ini karena trauma masa lalu yang, selama apapun Elora mencoba mengatasinya, bekasnya masih terus tertinggal seperti parut luka. Elora berjengit saat mendengar suara-suara, dan ia bernapas lega ketika melihat bahwa sumber suara itu berasal dari beberapa teman kantornya yang sedang bercakap-cakap dengan … Caspian.
Sedang apa dia di sini? Bukankah proyeknya sudah selesai dari tadi sore. Dia punya lebih dari cukup waktu untuk pulang ke rumah.
Ketua tim proyek pakaian dalam menyapa Elora saat mendapati Elora berjalan melintasi mereka sambil berpura-pura tidak melihat. Sekarang Elora ingat nama ketua tim itu. Madison. Wanita yang terkenal suka ikut campur urusan orang lain.
“Hei, El! Kau mau ikut?” panggil Madison.
Elora menyunggingkan senyum palsu. “Tidak, terima kasih. Aku mau pulang.”
“Kau bahkan belum tahu kita akan pergi ke mana,” sahut yang lain. Itu sahabat yang selalu menempel seperti cicak kepada Madison.
Aku tidak mau tahu, balas Elora dalam hati. “Dah!” Hanya itu yang Elora berikan sebagai balasan, dan ia kembali berjalan menuju ke mobilnya.
Elora bisa merasakan tatapan Caspian yang menusuk, mengikuti setiap langkahnya. Mati-matian Elora mencoba mengabaikan itu, tetapi gagal. Ia tersandung kakinya sendiri saat sampai di depan mobilnya.
“Sial,” umpat Elora pelan. Elora menekan tombol untuk membuka kunci, lalu ia segera membuka pintu, melempar tas ke kursi penumpang, dan duduk di balik kemudi.
Elora menyempatkan diri untuk mengatur napas. Tanpa diminta, matanya melirik ke arah Caspian dan teman-teman kantornya yang sekarang kelihatan menyebalkan. Entah, mungkin karena mereka memang menyebalkan … atau karena mereka kelihatan mencoba menggoda Caspian.
Elora menyingkirkan pemikirannya yang terakhir dengan menggelengkan kepalanya kuat-kuat. Dia memasukkan kunci mobil ke lubang dan mulai memutarnya. Tidak ada reaksi.
“Huh?” Elora mulai berkeringat saat percobaannya gagal sampai tiga kali. Bukan waktu yang tepat untuk mengalami mogok.
“Butuh bantuan?”
Elora melonjak dari kursi dan berteriak saat tiba-tiba Caspian berdiri di sampingnya. Kedua tangannya bertumpu ke tepian mobil Elora, badannya membungkuk agar bisa menyejajarkan tatapannya dengan wajah Elora. Elora menurunkan kaca mobil di pintu pengemudi.
“Tidak, terima kasih.”
“Bisa ucapkan kata-kata lain?” tanya Caspian lagi, sambil menelengkan kepala.
“Misalnya?” Elora nyaris memutar mata. Hal terakhir yang ia inginkan sekarang adalah melakukan argumen tak penting dengan seorang pria asing. Hal pertama yang sangat ingin ia lakukan adalah mandi.
“Seperti ‘ya, aku butuh bantuanmu. Mobilku tiba-tiba mogok dan aku tidak bisa memperbaikinya sendiri’. Seperti itu,” ucap Caspian yang kemudian mengangkat bahu.
Perhatian Elora teralihkan sejenak ke otot-otot Caspian yang membuat kaosnya menjadi kelihatan sesak dalam cara yang menggoda. Terkutuklah para pria dengan testosteron mereka.
“Ini mobil tua. Sudah biasa mogok.”
“Lalu kau mau apa? Memanggil tukang derek?” Caspian melirik jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan kirinya.
“Ya. Mereka tersedia dua puluh empat jam.”
“Percayalah, saat mereka datang kau sudah sampai di rumah karena aku akan memperbaiki mobilmu dengan cepat.”
“Tidak, terima kasih. Aku tidak mau berhutang apapun padamu,” tolak Elora, kali ini terdengar tegas.
“Oke, terserah kau saja.”
Caspian berbalik, bebarengan dengan Elora yang menghubungi jasa derek.
Panggilan pertama. Panggilan kedua. Dan sampai dengan panggilan kelima, tidak ada jawaban. Apakah semua berkonspirasi agar Elora berurusan dengan Caspian?
Sepertinya Caspian sengaja melambat-lambatkan jalannya karena saat Elora keluar dari mobil dan memanggilnya, Caspian belum begitu jauh.
“Berubah pikiran?”
“Cepat selesaikan. Bukankah kau harus pergi?” Elora melirik ke belakang Caspian, tetapi sudah tidak ada siapa-siapa di sana.
“Ke mana?” Caspian mengikuti arah pandangan Elora. “Dengan mereka tadi? Tidak, aku menolaknya.”
“Kenapa?”
Caspian membuka kap mobil sedan Elora dan memasang penyangga. “Karena kau tidak ikut.”
“Berhenti mengucapkan omong kosong.”
“Terserah kalau tidak percaya.”
Caspian mulai memeriksa mesin mobil Elora, dan melakukan sesuatu yang tidak Elora mengerti.
“Coba nyalakan mesinnya,” perintah Caspian beberapa saat kemudian.
Elora pun kembali ke dalam mobil, memutar kunci, dan mesin mobil meraung pada percobaan pertama.
“Wow …,” gumam Elora, lirih. Caspian menutup kap mobil dan menghampiri Elora. Dia kembali berdiri di samping pintu pengemudi, memancarkan aura ‘aku luar biasa menggoda tanpa perlu banyak berusaha’.
“Kau melupakan sesuatu,” kata Caspian.
“Apa?”
“Ucapan terima kasih.”
“Terima kasih.”
Caspian tergelak, yang mana membuat jantung Elora berdetak beberapa kali lebih cepat.
“Bukan yang seperti itu.”
Elora melongo. “Kau minta imbalan?” Tangan Elora mencari-cari tas kerjanya, sementara tatapan matanya masih terpancang pada Caspian. “Berapa?”
Caspian menggeleng. “Tidak, bukan uang.” Dia diam sebentar. “Tidak sekarang juga. Nanti kalau kita bertemu lagi, aku akan menagihnya.”
*
Kata-kata terakhir Caspian tadi mengganggu Elora sepanjang perjalanan pulang. Ia tidak suka jika punya hutang budi pada orang lain. Elora harus segera membalasnya. Atau mungkin lebih bagus lagi jika mereka tidak usah bertemu lagi. Sepertinya kemungkinannya juga kecil.
Elora menelusuri jalan di sebelah danau Wakatipu, yang sekarang berwarna segelap malam. Elora sesekali mengerling ke pemandangan yang menemaninya menuju ke apartemen satu kamar miliknya, yang terletak di pinggiran Queenstown.
Tinggal di Queenstown, New Zealand, merupakan sebuah anugerah yang paling Elora syukuri dalam hidupnya. Setidaknya setiap kali ia merasa stres dengan pekerjaan atau masalah hidup, Elora cukup keluar mengendarai mobil, menikmati pemandangan Queenstown atau menelusuri jalur hiking ke hutan-hutan yang berada di sekitar danau Wakatipu, dan penat di dalam otaknya langsung sirna.
Seperti malam ini. Pemandangan danau Wakatipu yang berpadu dengan hamparan bintang di langit, tak pernah gagal membuat Elora kagum, walaupun sudah ribuan kali Elora melihatnya. Elora jadi membayangkan betapa nikmatnya berendam air hangat, dan setelah itu menyesap wine sembari duduk menikmati malam dari beranda apartemen.
Tadi, Elora menyempatkan untuk mampir ke sebuah restoran guna membeli makan malam. Akibatnya ia pulang lebih larut dari yang seharusnya, padahal jalanan menuju ke apartemennya terkenal sepi dan berliku.
Benar saja, jalannya cukup lengang, bahkan malam ini tak ada kendaraan yang lewat selain mobil Elora. Hal itu membuatnya kembali was-was. Dan Elora semakin was-was saat melihat segerombolan orang yang berkerumun di tengah jalan, menghalangi Elora untuk lewat.
Elora langsung menginjak pedal rem. Ia menjaga jarak aman sambil memastikan ada apa sebenarnya di depan sana? Apakah kecelakaan? Atau turis mabuk?
Elora memicingkan mata, melihat satu sosok yang berdiri memunggunginya, yang sepertinya pernah Elora lihat di suatu tempat. Sosok itu berbalik, dan betapa terperanjatnya Elora saat mengetahui bahwa dia adalah Caspian.
*
Pertamanya Elora pikir Caspian sedang melakukan suatu aksi vandalisme bersama teman-temannya. Karena orang-orang yang lain kelihatan segarang dia, beberapa bahkan membawa tongkat pemukul yang terbuat dari besi, serta senjata tajam yang berkilau keperakan saat tertimpa sinar lampu mobil Elora. Tetapi kemudian dugaan itu terpatahkan saat seseorang dari mereka mulai menyerang Caspian. Caspian menangkis serangan yang datang bertubi-tubi kepadanya. Elora yang menyaksikan itu semua dari balik kemudi, hanya bisa gemetar ketakutan. Ia memasukkan perseneling mundur dan mulai menginjak pedal gas sedalam mungkin. Tapi sial, tidak ada yang terjadi. Mobilnya lagi-lagi mogok di saat yang tidak tepat. Dasar mobil tua sial. Umpat Elora dalam hati. Sekarang apa yang harus ia lakukan? Berlari meninggalkan mobilnya begitu saja untuk mencari pertolongan? Tidak. Hanya ini kendaraan yang Elora miliki dan tanpa mobil Elora bakal kewalahan. Tungkai Elora semakin berguncang h
Setiap malam bulan purnama, Elora selalu mengalami mimpi yang sama.Ia berjalan di sebuah padang rumput tak berujung, dikelilingi oleh pegunungan berujung runcing. Pemandangan yang familiar, yang biasa Elora lihat di Queenstown. Tetapi sejauh apapun Elora berjalan, padang rumput itu tak pernah habis … seolah tak memiliki tepi.Tidak ada siapapun yang bisa Elora temui. Tak ada kehidupan, tak ada suara. Hanya dirinya bersama sebuah bulan besar yang cahaya peraknya membutakan.Tetapi … mimpi malam ini berbeda.Elora tidak sendiri.Ia masih sama, berdiri di tengah padang rumput. Mengenakan gaun putih yang ujungnya terseret di tanah berbatu. Rambutnya tergerai, hitam seluruhnya. Cahaya bulan masih sama menyilaukan, tetapi ada sosok yang menarik perhatian Elora.Seseorang berdiri tak jauh di depannya. Bermandikan cahaya. Rambutnya perak dan berpendar, matanya punya warna yang sama. seluruh tubuhnya bagai dilingkupi gaun yang terbuat
Caspian kembali sambil membawa tas Elora, sebuah kemeja berwarna putih berukuran besar, dan celana jins.“Jangan mendekat,” perintah Elora. “Lemparkan semuanya ke atas sofa.” Elora menunjuk sofa yang ada dihadapannya dengan dagu.Caspian berdecak sembari menelengkan kepala ke satu sisi. “Kenapa lagi? Aku tidak akan menerkammu. Aku sudah janji.”“Aku tidak percaya padamu.” Bahkan pada lelaki manapun di dunia ini, tambah Elora dalam hati.Caspian melontarkan raut wajah yang menyatakan ‘aku lelah dengan drama ini, tapi lebih baik kuturuti saja’, kemudian melemparkan semuanya ke atas sofa yang ada di dekat Elora.“Sekarang keluar dari sini. Aku mau berpakaian.”“Aku sudah pernah melihatmu tanpa pakaian. Kenapa sekarang aku harus keluar?”“KELUAR!” bentak Elora, dan dengan brutal menyambar tasnya, mencari semprotan merica. Caspian mengangkat ked
Elora meminta Caspian untuk mengantarkannya ke apartemen, karena Elora baru saja ingat kalau dia harus mempersiapkan diri. Ada calon klien yang potensial, dan ini adalah pekerjaan terakhir sebelum Elora mengambil cuti panjang. Jadi Elora harus bisa menyukseskannya.Sebenarnya ini adalah ide buruk karena Caspian jadi tahu dimana Elora tinggal. Tapi Elora tak punya pilihan lain.“Terima kasih. Kau boleh pulang.” Elora mengatakannya sembari membuka pintu mobil. Tentu saja Caspian tak melepaskannya semudah itu. Dia menangkap pergelangan tangan Elora, membuat Elora terhenti.Elora menengok untuk menatap jemari Caspian yang melilit pergelangan tangannya.“Lepaskan,” desis Elora dari balik geliginya yang mengatup.“Ada hal penting yang ingin kusampaikan.”“Apa?” Elora menyentakkan tangan agar terlepas dari cengkeraman Caspian.“Jika terjadi sesuatu, segera hubungi aku.”Elora
“Maaf, tapi aku bukan seorang model,” tolak Elora cepat. Ia tak butuh banyak pertimbangan untuk menolak mentah-mentah gagasan dari Caspian.Caspian bersidekap, dengan santai memberikan tatapan menilai pada Elora. Elora tak suka dengan kilat cemooh yang samar di kedua mata Caspian saat melakukan itu.“Sebagai klien, kami berhak meminta apapun sesuai dengan keinginan kami kan?” kilah Caspian.“Ya, kau memang berhak. Tapi tidak semua hal bisa kami penuhi, terutama jika itu dirasa tak memungkinkan,” sanggah Elora.Kini Caspian mengarahkan percakapannya pada Charlie. “Katakan padaku, Charlie. Apakah permintaanku barusan tidak memungkinkan?” Caspian mengeluarkan seringai tipis yang nyaris tak kentara setelah menanyakan itu.Charlie menelan ludah, kemudian ekor matanya menangkap sosok Elora untuk sejenak. Elora tahu Charlie tak bisa langsung mengambil keputusan. Jika menolak, bisa-bisa mereka kehilangan klie
Tidak ada sentuhan.Skenario ditentukan sepenuhnya oleh Dreamcathcer.Jika model wanita merasa tidak nyaman dengan adegan yang dilakukan, ia mempunyai hak penuh untuk meminta pergantian adegan.Poin terakhir hanya untuk jaga-jaga jika Caspian melakukan improvisasi terhadap naskah yang sudah disiapkan oleh Elora.Tanpa banyak perdebatan, pihak Caspian langsung menyetujui persyaratan itu. Tak berapa lama setelah kedua belah pihak menandatangani perjanjian, Caspian dan Zed undur diri.Elora tidak tahu apakah ia harus bernapas lega atau justru ini menjadi awal stres berat yang akan dihadapinya hingga beberapa hari ke depan. Elora langsung kembali ke ruangan dan duduk merosot di kursi kebesarannya.“Satu minggu, El,” koreksi Javier saat Elora menjelaskan bahwa dirinya malas membayangkan hari-hari yang harus ia lewati sebagai model bersama Caspian.“Tidak. Paling kita hanya akan mengunjungi tiga tempat saja kan?” Elo
“Tenang,” bujuk Caspian, saat Elora mengambil langkah untuk menjauh. Terdengar suara remuk yang berasal dari pecahan cermin yang berserakan di lantai.“El, aku akan membantumu. Jangan takut.”Elora mengajukan pertanyaan soal mengapa dia jadi seperti ini, tetapi tentu saja yang keluar dari mulutnya hanyalah lenguhan dan lolongan pilu.“El, ikut denganku. Aku akan menjelaskannya padamu. Kalau kau di sini terus, bisa-bisa kau menarik perhatian tetangga. Suara yang kau timbulkan dari tadi lumayan heboh.”Dengan hati-hati, Caspian berjalan mendekati Elora, yang sudah terdesak ke sudut. Elora dapat merasakan tubuhnya gemetar. Ia takut pada sosoknya sendiri. Elora mendengking saat Caspian meletakkan satu tangan di moncong Elora yang basah dan berbulu.“Dengarkan aku. Wujudmu ini tidaklah permanen. Kau hanya harus belajar untuk mengendalikannya. Sekarang, aku akan membantumu supaya kau kembali ke wujud aslimu.&rdqu
Caspian melumat bibir Elora, penuh nafsu, tanpa ampun. Kedua tangan Caspian menahan tangan Elora di sofa, mencegah Elora untuk bergerak. Saat Caspian menarik diri, hanya agar ia bisa memandang sorot mata Elora yang ketakutan, Elora menarik napas banyak-banyak.Wajah Caspian yang tadinya gelap oleh gairah, berubah terkejut ketika ia mendapati Elora menitikkan air mata.“Kau …,” Caspian tak dapat melanjutkan. Elora mengulum bibir kuat-kuat, rahangnya menegang hingga garis rahangnya tercetak jelas di sudut wajah.“Lepaskan aku ….” Suara Elora hanya berupa parau yang putus asa.Caspian mengendurkan cengkeramannya, dan kesempatan itu Elora gunakan sebaik mungkin. Dia mendorong tubuh Caspian menjauh dengan sisa tenaga yang ada.“Aku benci kau,” geram Elora dengan sorot mata kebencian.Pintu ruangan terbuka tepat setelah Caspian terdorong jauh dari Elora.“Apa aku mengganggu?” tan