Satu bulan berlalu semenjak liburan hari itu. Waktu terus maju walau Qiano masih berusaha menolak Syasya.
Fajar dan Adisty pun semakin lengket.
Qiano melempar senyum, Fajar pun sama. Mereka menatap Nata yang terlihat bahagia hari ini. Siapa sangka, acara pertunangan malah menjadi acara pernikahan. Privat.
Kanya dan Nata ketahuan selesai bercinta oleh Ayah Kanya.
Semua keluarga pun malamnya mendadak kumpul.
Acara yang rencananya tunangan pun di ganti menjadi pernikahan, agar semua selamat. Entah dari dosa atau gunjingan masyarakat.
"Kanya, cantik ya." Adisty bersuara, membuat Fajar menoleh, menatapnya dengan penuh ketertarikan.
"Di mata aku, kamu yang cantik, Dis."
Adisty menoleh lalu tersenyum tipis."Makasih, untuk semuanya juga. Kamu bikin aku jadi banyak pengalaman baru—" senyumnya semakin merekah."ibu bahkan t
Qiano mengkunci pintu, mengusap lengannya yang masih sakit lalu menghampiri Syasya yang sudah terlelap di atas kasur miliknya.Di suruh pulang pasti tidak mau. Jelas saja gadis itu tidak mau pulang, pasti saat di rumah nanti akan kembali di pukuli.Qiano meraih beberapa salep luka di nakas, mengoleskannya pada lengan mungil, kurus yang kini banyak lebam itu.Sungguh jahat! Pasti sakit saat di cubitnya karena berbekas ketara sekali.Dalam tidurnya sesekali Syasya meringis, alis dan dahinya mengkerut.Qiano memperiksa yang lainnya, kaki yang putih itu kini ada garis - garis merah seperti bekas di pukul oleh beberapa lidi. Di paha Syasya kembali ada memar, sungguh kekerasan pada anak.Qiano menatap wajah yang masih terlelap itu. Nasib mereka begitu sama walau Qiano sudah tidak lagi.Rasa iba mulai tu
Padahal masih pagi, sudah menjadi bahan gosip. Membuat Kanya harus semakin menebalkan rasa sabar dalam jiwanya.Hanya satu hari tidak sekolah, saat besoknya sekolah. Semua sudah berubah.Gosip tentang gaynya Qiano dan Nata padahal masih hangat dan di bahas, tapi kini berubah dengan gosip pernikahan Kanya dan Nata yang privat."Kayaknya hamil deh." kata siswi yang terlihat iri itu.Kanya menoleh refleks, menatap sebal gadis dengan bibir merah di meja sampingnya itu."Makan, yang." Nata mengusap lengan Kanya sekilas, sebagai kode untuk mengabaikan mereka."Jangan kenceng - kenceng, kedengeran bego!" kata siswi di samping gadis berbibir merah itu."Iyah - iyah, gue lupa. Ngomong - ngomong, Nata jadi ga jutek ya sekarang, makin manis kalau ramah.""Namanya juga punya orang, pasti lebih menggirukan di banding punya diri sen
Nata dan Kanya berjalan menuju kamar di rumah Nata. Suasana masih sepi kalau sore di hari kerja. Garsela sibuk mengekori Andre bekerja."Aku mandi duluan." Kanya melepaskan genggaman Nata pada jemarinya."Hm, aku cek saham dulu."Kanya terkekeh geli."Gaya banget cek saham." ledeknya seraya melepas beberapa hiasan di rambut.Nata melirik Kanya sebal."Aku gini - gini calon sultan loh, kamu aja udah aku kasih pulau." sewotnya.Kanya tertawa pelan."Iyah - iyah percaya, aku bercanda aja." di kecupnya pipi Nata lalu berlalu ke kamar mandi.Nata hanya mendengus lalu mulai serius pada ponselnya, sahamnya terlihat stabil. Membuat Nata bahagia.Nata merebahkan tubuhnya, sambil menunggu Kanya dia akan tidur sebentar.Tak lama, Kanya keluar dengan celana pendek dan kaos kebesaran. Terlihat santai sekali."Nat, bang
Nata menyelipkan rambut Kanya yang tertiup angin. Keduanya tengah berjalan menuju ke depan pintu rumah Qiano."Iket aja, gerah?" Nata bertanya saat melihat Kanya seperti kegerahan."Terus pamerin hasil karya kamu?" tanya Kanya senewen, wajah juteknya masih selalu membius Nata.Nata tertawa pelan."Sensi banget, bukannya udah normal ya? Kita sah sayang." di kecupnya rambut Kanya gemas."Sana ah! Gerah tahu!" semprotnya sebelum menekan bel rumah Qiano."Apa Fajar udah dateng?" Nata memindai pekarangan rumah Qiano, mencari motor atau mobil Fajar."kayaknya belum." gumamnya tepat dengan pintu terbuka."Masuk." Qiano menyambut dengan wajah datarnya yang bagi mereka sudah biasa."Fajar belum ke sini ya?" tanya Kanya pada Qiano."Hm, katanya ga bisa." balas Qiano dengan terus membawa langkahnya ke lantai dua."K
Qiano mengusap wajahnya kasar, sebenarnya apa yang dia lakukan? Menyetubuhi Syasya lagi? Jantungnya berdebar gila.Qiano menoleh pada Syasya yang sudah terlelap dengan tubuh telanjang di peluk selimut.Qiano menelan ludah, entah kenapa dia bisa. Apa soal dia gay itu karena kesalahan? Karena bingungnya dengan perasaannya sendiri? Entahlah! Qiano pusing!Qiano menjambak rambutnya, mengerang dalam hati. Merutuki dirinya sendiri yang hanyut terbawa suasana.Malam ini sepertinya dia akan susah tidur karena memikirkan kejadian barusan.Qiano melirik Syasya lagi, si menggemaskan itu sudah tidur dengan mendengkur halus saking lelahnya.Qiano bisa merasakan panas di kedua pipinya. Hari yang benar - benar gila. Lagi, dia mengerang dalan hati, mencoba mencari jawaban namun tidak ada jawaban."Gue sebenernya kenapa?" erangnya tertahan
Nata melirik Qiano yang seperti banyak beban pikiran lalu melirik Fajar yang kebalikan dari Qiano—sangat cerah dan bahagia.Semenjak memiliki pendamping masing - masing mereka jadi sibuk sendiri."Lo kenapa?" Nata bertanya pada Qiano yang terus menghela nafas, seolah memang ada beban yang memberatkan bahunya.Fajar yang tengah merasakan euforia bahagia mendadak pudar, beralih mengamati Qiano dengan serius."Kenapa?" Fajar ikut bertanya.Qiano menghela nafas pendek."Syasya, gue gila kayaknya." desahnya dengan begitu penuh beban.Fajar dan Nata semakin terlihat serius. Seolah siap mendengar apapun yang ingin Qiano utarakan."Kenapa Syasya?" Fajar bertanya dengan alis semakin bertaut.Qiano meremas rambutnya dengan mendesah panjang."Gue nodai dia kemarin, gue ga tahu kenapa bisa gue gituan lagi sama dia." akun
Adisty pingsan, melihat jasad sang ayah untuk yang terakhir kalinya pasti tidak semua kuat. Apalagi Adisty sangat dekat dengan ayahnya itu. Adisty merasa setengah nyawanya di cabut paksa."Sayang." Fajar berbisik guna menyadarkan Adisty namun dalam mata yang terpejam itu, hanya ada air mata yang mengalir.Fajar memangku Adisty, membawanya ke tempat nyaman dan mulai membantunya agar sadar."Ini, pake kayu putih." kata Rahma, tetangga Adisty yang ikut mengantarkan Waldi ke tempat peristirahatannya yang terakhir.Fajar mengambilnya."Makasih, bu." gumamnya lalu mulai mengusap kepala Adisty seraya mendekatkan kayu putih ke hidung Adisty."Dis, bangun. Kuat, sayang." Fajar terlihat begitu sedih, khawatir.Rahma melonggarkan ikat pinggang Adisty. Siapa tahu itu membantu agar Adisty cepat sadar. Rahma memijat jempol kaki Adisty yang terasa dingin.
"Ini rumahnya? Ya ampun, baiknya papa kamu, nak." Wulan mengusap bahu Fajar dengan penuh haru bahagia."Papa emang luar biasa, bu." balas Fajar dengan senyum senang."Sekarang di mana papa kamu? Ibu mau banyak banget bilang makasih karena sudah banyak membantu.""Papa ya gitu, kabur - kaburan—aduh!" pekik Fajar saat mendapat cubitan dari Adisty."Ngaco, papa kamu kerja bukan kabur - kaburan." Adisty terlihat serius membuat Fajar terkekeh pelan."Ya maksudnya gitu, kerjanya ga bisa diem." ralat Fajar di akhiri cengiran."Kapan - kapan, apa papa kamu mau makan malam sama kita?" Wulan terlihat berharap."Boleh dong, bu, sebentar lagi kita jadi keluarga." Fajar mengedipkan sebelah matanya ke arah Adisty."Haduh, kalian udah mau serius aja." Wulan berseru bahagia, mencolek lengan Adisty sebagai godaan."Apa ih, Fajar ngac