Nata dan Kanya berjalan menuju kamar di rumah Nata. Suasana masih sepi kalau sore di hari kerja. Garsela sibuk mengekori Andre bekerja.
"Aku mandi duluan." Kanya melepaskan genggaman Nata pada jemarinya.
"Hm, aku cek saham dulu."
Kanya terkekeh geli."Gaya banget cek saham." ledeknya seraya melepas beberapa hiasan di rambut.
Nata melirik Kanya sebal."Aku gini - gini calon sultan loh, kamu aja udah aku kasih pulau." sewotnya.
Kanya tertawa pelan."Iyah - iyah percaya, aku bercanda aja." di kecupnya pipi Nata lalu berlalu ke kamar mandi.
Nata hanya mendengus lalu mulai serius pada ponselnya, sahamnya terlihat stabil. Membuat Nata bahagia.
Nata merebahkan tubuhnya, sambil menunggu Kanya dia akan tidur sebentar.
Tak lama, Kanya keluar dengan celana pendek dan kaos kebesaran. Terlihat santai sekali.
"Nat, bang
Nata menyelipkan rambut Kanya yang tertiup angin. Keduanya tengah berjalan menuju ke depan pintu rumah Qiano."Iket aja, gerah?" Nata bertanya saat melihat Kanya seperti kegerahan."Terus pamerin hasil karya kamu?" tanya Kanya senewen, wajah juteknya masih selalu membius Nata.Nata tertawa pelan."Sensi banget, bukannya udah normal ya? Kita sah sayang." di kecupnya rambut Kanya gemas."Sana ah! Gerah tahu!" semprotnya sebelum menekan bel rumah Qiano."Apa Fajar udah dateng?" Nata memindai pekarangan rumah Qiano, mencari motor atau mobil Fajar."kayaknya belum." gumamnya tepat dengan pintu terbuka."Masuk." Qiano menyambut dengan wajah datarnya yang bagi mereka sudah biasa."Fajar belum ke sini ya?" tanya Kanya pada Qiano."Hm, katanya ga bisa." balas Qiano dengan terus membawa langkahnya ke lantai dua."K
Qiano mengusap wajahnya kasar, sebenarnya apa yang dia lakukan? Menyetubuhi Syasya lagi? Jantungnya berdebar gila.Qiano menoleh pada Syasya yang sudah terlelap dengan tubuh telanjang di peluk selimut.Qiano menelan ludah, entah kenapa dia bisa. Apa soal dia gay itu karena kesalahan? Karena bingungnya dengan perasaannya sendiri? Entahlah! Qiano pusing!Qiano menjambak rambutnya, mengerang dalam hati. Merutuki dirinya sendiri yang hanyut terbawa suasana.Malam ini sepertinya dia akan susah tidur karena memikirkan kejadian barusan.Qiano melirik Syasya lagi, si menggemaskan itu sudah tidur dengan mendengkur halus saking lelahnya.Qiano bisa merasakan panas di kedua pipinya. Hari yang benar - benar gila. Lagi, dia mengerang dalan hati, mencoba mencari jawaban namun tidak ada jawaban."Gue sebenernya kenapa?" erangnya tertahan
Nata melirik Qiano yang seperti banyak beban pikiran lalu melirik Fajar yang kebalikan dari Qiano—sangat cerah dan bahagia.Semenjak memiliki pendamping masing - masing mereka jadi sibuk sendiri."Lo kenapa?" Nata bertanya pada Qiano yang terus menghela nafas, seolah memang ada beban yang memberatkan bahunya.Fajar yang tengah merasakan euforia bahagia mendadak pudar, beralih mengamati Qiano dengan serius."Kenapa?" Fajar ikut bertanya.Qiano menghela nafas pendek."Syasya, gue gila kayaknya." desahnya dengan begitu penuh beban.Fajar dan Nata semakin terlihat serius. Seolah siap mendengar apapun yang ingin Qiano utarakan."Kenapa Syasya?" Fajar bertanya dengan alis semakin bertaut.Qiano meremas rambutnya dengan mendesah panjang."Gue nodai dia kemarin, gue ga tahu kenapa bisa gue gituan lagi sama dia." akun
Adisty pingsan, melihat jasad sang ayah untuk yang terakhir kalinya pasti tidak semua kuat. Apalagi Adisty sangat dekat dengan ayahnya itu. Adisty merasa setengah nyawanya di cabut paksa."Sayang." Fajar berbisik guna menyadarkan Adisty namun dalam mata yang terpejam itu, hanya ada air mata yang mengalir.Fajar memangku Adisty, membawanya ke tempat nyaman dan mulai membantunya agar sadar."Ini, pake kayu putih." kata Rahma, tetangga Adisty yang ikut mengantarkan Waldi ke tempat peristirahatannya yang terakhir.Fajar mengambilnya."Makasih, bu." gumamnya lalu mulai mengusap kepala Adisty seraya mendekatkan kayu putih ke hidung Adisty."Dis, bangun. Kuat, sayang." Fajar terlihat begitu sedih, khawatir.Rahma melonggarkan ikat pinggang Adisty. Siapa tahu itu membantu agar Adisty cepat sadar. Rahma memijat jempol kaki Adisty yang terasa dingin.
"Ini rumahnya? Ya ampun, baiknya papa kamu, nak." Wulan mengusap bahu Fajar dengan penuh haru bahagia."Papa emang luar biasa, bu." balas Fajar dengan senyum senang."Sekarang di mana papa kamu? Ibu mau banyak banget bilang makasih karena sudah banyak membantu.""Papa ya gitu, kabur - kaburan—aduh!" pekik Fajar saat mendapat cubitan dari Adisty."Ngaco, papa kamu kerja bukan kabur - kaburan." Adisty terlihat serius membuat Fajar terkekeh pelan."Ya maksudnya gitu, kerjanya ga bisa diem." ralat Fajar di akhiri cengiran."Kapan - kapan, apa papa kamu mau makan malam sama kita?" Wulan terlihat berharap."Boleh dong, bu, sebentar lagi kita jadi keluarga." Fajar mengedipkan sebelah matanya ke arah Adisty."Haduh, kalian udah mau serius aja." Wulan berseru bahagia, mencolek lengan Adisty sebagai godaan."Apa ih, Fajar ngac
"Fajar kemana?!" Qiano terlihat kaget."tanpa pamit? Kenapa?" lanjutnya dengan tidak percaya."Belum jelas, tapi dia janji kalau semua udah bisa dia tangani, dia bakalan cerita semuanya." Nata menjelaskan.Kanya mengunyah jeruk dengan alis bertaut."Aneh, Adisty juga ilang dari kemarin. Bukannya mereka pindah rumah ya? Bahkan rumah yang bakalan mereka tempati itu malah di jual." ujar Kanya terheran - heran."Jelas sih, ini ada yang ga beres." yakin Nata seraya mengotak - atik ponselnya.Sebenarnya, Nata sudah tahu semuanya. Hanya saja, Fajar ingin semua di rahasiakana dulu. Fajar punya rencananya sendiri."Semoga mereka baik - baik aja." doa Kanya dengan penuh harap dan tulus.***"Maaf kak, istri saya engga mau." Nata menggenggam tangan Kanya.
Syasya menoleh saat mendengar pintu kamar di buka, senyum pun mengembang saat tahu kalau Qiano yang datang."Ngapain?" Qiano bertanya tanpa menatap lawan bicara, dia sibuk merapihkan barang bawaannya."Semenjak di kurung Qiano, Sya cuma bisa baca buku ini." di angkatnya buku novel itu sekilas.Qiano diam, merasa di pukul oleh perkataan Syasya soal dirinya yang mengkurung Syasya.Qiano tidak peduli, yang jelas dia ingin menjaga Syasya dari Irvan meski caranya kurang manusiawi sekalipun."Makan dulu." Qiano menghampiri Syasya, membantunya turun dari kasur lalu memapahnya ke meja yang ada di sana."Masih sakit?" Qiano mendudukan Syasya, berjongkok di hadapannya seraya meraih sebelah kaki Syasya yang bengkak karena jatuh itu."Hm, masih berdenyut." aku Syasya dengan ekspresi sedih.Qiano mengusapnya sekilas."Nanti di
Nata mendesah pelan, dia terlihat jenuh sekali sedangkan Kanya terlihat asyik dengan dunianya. Nata merasa tumben Kanya suka belanja, bahkan berjam - jam."Kamu Kanya akukan? Kanya yang suka marah - marah?" tanya Nata seraya meraih pinggang Kanya agar mendekat.Kanya mendengus dengan alis bertaut heran."Kenapa lagi? Aku pake uang ayah, kamu ga punya hak ngeluh." balasnya dengan masih sibuk memilih jaket.Nata berdecak."Mau pake uang aku pun ga masalah, tapi aku aneh aja. Kamu selama ini cuma mau makan dan makan dari pada belanja kayak gini." terangnya sedikit sewot.Kanya tersenyum, mengusap pipi Nata sekilas."Kamu tahu, orang yang ga pernah marah pasti sekali marah meledak bangetkan? Nah aku kayak gitu tipenya, ga suka sering belanja tapi sekali belanja ya gini." balasnya dengan santai.Nata menghela nafas pendek, ternyata begitu. Dia baru tahu. Rasanya masih ba