Suara tangisannya menyenangkan semua orang yang ada di dalam ruangan itu. sudah dua hari sang ibunda menunggunya hadir di dunia ini. Namun, dirinya masih terlalu nyaman di dalam dekapan hangat ibunda. Apakah dia tahu nanti jalan hidupnya jauh dari kata normal sehingga masih enggan untuk hadir menemui sang ibunda yang nantinya menjaga hingga ia mampu menjaga dirinya sendiri?
“Alhamdulillah, sudah lahir dengan selamat dan tanpa kurang sedikitpun, selamat ya ibu!” Suara yang mengikuti suara tangisan bayi itu, juga menenangkan sang ibunda yang baru saja mengeluarkan segala energinya untuk menghadirkannya di dunia ini. Sang ibunda yang mendengarkan itu tentu saja sangat tenang.
Anak pertama, cucu pertama, cicit pertama. Betapa berat beban yang dipikul di pundaknya. Pada saat itu, semua yang hadir sangat senang dengan tangisan yang tetiba semerbak di dalam ruangan itu. Kecuali satu orang, setelah mengumandangkan adzan di telinga anak perempuannya, ia langsung keluar dari ruangan sembari mengeluarkan rokok dan korek yang berada di sakunya. Menyalakan rokoknya di ujung koridor sambil memperhatikan orang yang sedang berlalu lalang.
“Malaikat, apakah dia tidak senang dengan hadirnya diriku ini?” Kata bayi itu kepada malaikat di sebelahnya. “Tentu saja dia senang, cantik! Ia hanya tidak hebat dalam mengekspresikan emosinya. Mimik wajahnya akan selalu datar, tatapannya akan selalu dingin. Namun, jangan khawatir. Ia akan selalu menyayangimu.” Jawaban yang sangat menenangkan untuk manusia kecil itu.
Beberapa hari di dunia memang belum dapat melihat sesuatu yang jauh untuk seusianya, berbeda dengan dirinya yang bisa melihat apapun dengan jelas. Bundanya yang sangat mencintainya selalu mendekapnya ketika ia menangis, nenek dan kakeknya yang membantu bunda untuk merawatnya dan sang bibi yang selalu mengajaknya bercanda. Namun, dimanakah sosok yang nantinya akan aku panggil ayah? “Kemana ayahnya?” Tanya kakek kepada bunda. “Kerja, barusan berangkat.” Kakek yang mendengar jawaban itu langsung geleng-geleng kepala mendengarkan jawaban dari bunda. Mengapa dia jarang berada di sisiku? Bukannya seharusnya dia menemani bunda? Ataukah dengan bekerja adalah salah satu cara pengungkapan rasa sayangnya kepadaku?
Beberapa bulan awal, bunda, kakek, nenek dan bibi selalu menemaniku, mengajakku bermain, mengajariku beberapa hal, dan lagi-lagi, dimanakah ayahku? Mengapa dia tidak pernah mengajakku bermain? Atau pada saat ingin mengajakku bermain, aku sedang terlelap? Oh bagaimana dengan pernyataan seorang anak perempuan akan dekat dengan ayahnya? Ayah hadir hanya ketika bunda, aku, bibi, kakek dan nenek akan bepergian jauh. Namun, mengapa dia tidak pernah ada ketika hanya ada bunda saja di rumah?
“Selamat satu tahun, anak cantik!” Suaranya membuatku terkejut sekaligus sumringah karena setelah itu ia mengangkatku dan menerbangkanku di langit. Menyenangkan sekali! Sudah mulai bisa berjalan, berbicara beberapa kata dan tentunya memanggil bunda dengan lengkap! Bunda yang mendengar langsung memelukku dengan hangat. Perayaan itu dibuat sangat meriah dikaenakan aku adalah anak pertama dan cucu pertama. Sangat menyenangkan sekali bukan? Ayah yang biasanya jarang hadir di sisiku tia-tiba hadir dengan mukanya yang selalu sama di tiap hari dan di setiap situasinya. Datar. Ya, tentunya aku ingat memang begitu katanya.
“Satu, dua, tiga, cheese!” Kakek dan nenek membawaku kesana kemari menghampiri saudara yang telah hadir dan dengan bangga memperkenalkan cucunya sembari menggerakkan tanganku seolah-olah aku menyapa mereka dengan ramah. Di tengah bisingnya suara para pengunjung dan para tamu, aku mendengar suara bunda dengan intonasi yang lebih tinggi daripada biasanya. Darimana asalnya? Aku tidak mampu menemukan bunda! “Uaaaaaaa” aku mengerluarkan suara tangisan yang sangat keras ketika tidak mampu menemukan bunda. Kakek langsung berdiri dan mengajakku ke lemari kaca yang berisikan beberapa mainan yang cukup membuatku lupa dengan penyebab tangisku tadi.
“Sini anak bunda,” tangannya langsung meraihku. Tetapi, mengapa muka dan suaranya berbeda? Bunda? Kenapa? Ingin ku tanyakan pada saat itu, tetapi keadaan yang belum memungkinkan, sehingga aku hanya mengeluarkan suara yang masih tidak jelas dan hanya mendapatkan tanggapan, “Apa, anak bunda?” “Makan, yuk!” Bukan bunda, bukan itu. “Aku moleh.” Kata seseorang dari kejauhan yang menyebabkan bunda menoleh. Itu kan ayah? Apa yang dimaksudnya? Aku tidak terbiasa mendengar kata yang baru saja ia ucapkan? Apakah terjadi sesuatu? Bunda langsung mengangguk dan tidak menghiraukannya kembali. Setelah itu aku mengerti, ternyata ia pulang. Aku mengertahuinya ketika kakek dan nenek menghampiri mama sembari menanyakan apa yang barusan terjadi. Kakek dan nenek yang mengetahui langsung menghela napas yang panjang lalu pergi menghampiri saudaraku.
Tumpukan barang yang baru saja dikeluarkan dari mobil membuatku tertarik untuk menhampirinya. Aku berjalan lebih cepat dan sangat riang ketika menhampirinya. Tumpukan barang itu beragam bentuk, warna dan hiasan yang ada di atasnya. “Mau buka yang ini?” tanya bibi kepadaku. “Ya!” Jawabku dengan ceria dan bibi langsung membuka kertas yang membungkusnya. Dari situ aku mengetahui bahwa isinya beragam dan tidak sama dengan pembungkusnya. Setelah semua telah terbuka, aku bermain dengan kertas-kertas pembungkus dan membawanya kesana kemari, sehingga menyebabkan berantakan di berbagai sudut rumah. Karena kelelehan, aku tertidur dengan mudah yang tentunya menguntungkan semua orang agar dapat beristirahat dengan tenang.
Pyaaaarrrrr. Aku terkejut dan langsung menangis berharap bunda datang menghampiriku. Namun, yang datang ternyata adalah nenek. Bukan bunda seperti yang aku harapkan. Nenek yang sepertinya sudah tau apa yang sedang terjadi langsung menggendongku agar aku tenang dan tidur kembali. Suara bunda ada di dalam mimpiku. “Tolong bunda!” Aku langsung terkejut dan bangun. Aku melihat sekeliling, ternyata masih nenek yang membawaku. Bunda? Bunda dimana? Bunda kenapa? Aku yang ketika itu belum bisa berbicara dengan fasih hanya mengeluarkan tangisan yang semakin keras dan mengatakan “bu..nda.” “Sebentar ya anak cantik, nanti bunda kesini.” Kata nenek sambil membawakanku susu.
Lalu di dalam mimpiku seperti ada seseorang yang mendatangiku, ia menggunakan jubah putih dan berkata bahwa hidup tidak seindah dan semudah yang apa pikirkan. Aku tidak mengerti apa yang dikatakannya. Aku hanya memhami bahwa nanti aku akan bersenang-senang setelah melewati badai, petir dan hujan yang sangat deras. Di sampingnya ada bunda, bibi, kakek dan nenek! Mengapa mereka disana?
“Mereka akan menemanimu, mendoakanmu, dan menyemangatimu selalu. Baik-baik dengan mereka ya.” Kata orang itu.
“Kak, bangun! Sudah jam enam! Telat entarr!” Kata bunda sambil menyiapkan baju ku yang belum sempat kusiapkan karena aku bangun terlalu siang. Aku yang terkejut akan mimpi itu masih diam beberapa saat dan bunda menanyakan keadaanku. Apakah aku mengalami mimpi buruk lagi seperti beberapa hari lalu. Aku mengangguk dan pergi mandi.Sesampainya di sekolah aku langsung bergegas untuk menuju kelasku dan mengikuti pelajaran hari itu, meskipun terkadang merasa ngantuk dan akhirnya tertidur. Ketika istirahat, aku dan teman-temanku menuju ke kantin dengan langkah yang begitu cepat agar mendapatkan tempat duduk disana.“Eh, Ra! Ditunggu Ryan di kelas!” Kata Arya sambil pergi begitu saja bersama kekasihnya.Aku yang kala itu sedang di kantin bersama teman-temanku memutuskan untuk pergi kembali ke kelas lebih awal. Sesampainya di kelas aku melihatnya sedang bercengkrama dengan teman kelasku kala itu.“Ada apa? Tumben banget.” Kataku
Setelah itu, pelajaran di sekolah hari itu berjalan dengan baik dan seperti biasanya. Pulang sekolah aku dijemput oleh bunda dan adik-adik.“Gimana kak? Lancar gak sekolahnya?” Tanya bunda seperti biasanya.Seperti biasanya, bunda menjemputku dengan mata yang sembab dan suaranya bergetar. Adik yang biasanya selalu ceria menyapaku, mengajakku bercanda juga diam tidak berkutik di kursi sebelah bunda. Dalam hati aku sudah mengetahui mengapa ini terjadi, pasti karena ayah.Sesampainya di rumah aku langsung beberes dan bersih diri lalu istirahat. Baru saja tertidur, ayah datang dengan membanting pintu depan.“Bodoh banget si jadi orang? Udah tau galon abis kenapa ga pesen-pesen si?” Ucapnya sambil membentak abunda.“Saiki, lapo meneng ae?” (sekarang, kenapa diam aja?)Aku yang mendengarkan langsung keluar kamar dan jelas, ayah melihatku dan ikut memakiku juga.“Deloken. Ibumu goblok! O
Kriiiing, bel istirahat sudah berbunyi. Tak lama, aku dan teman-temanku bergegas ke kantin, membeli makanan ringan dan beberapa minuman yang sedikit menyegarkan. Tiba-tiba terdengar suara seseorang berlari mengejar kami, dan ternyata itu adalah Ryan. “Apa Yan? Ngapain lari-lari?” tanyaku heran kepadanya. “Kamu belum buka line ku?” “Ngga, belom. Tar aja pulang sekolah. Kenapa? Penting emang?” “Oh, yaudah. Nanti aja kalo kamu uda buka. Maaf ya ganggu kalian.” Katanya langsung meninggalkan kami. “Lah emang pesannya ga kamu buka?” tanya puput kepadaku. “Ngga, dia nge-chat aku waktu aku mau tidur, ya mana sempet akku buka.” “Terus, pagi kenapa ga kamu buka?” saut Anggi. “Pagi sibuk banget, ga nutut lah buat ngebuka hp. Hehe.” Jawabku sambil terkekeh. Sesampainya di cafe itu kami langsung memesan makanan dan minuman favorit kami, bermain kartu, bercanda, membicarakan orang lain dan s
Setiap dua minggu sekali, aku, bunda dan adik-adik selalu mengunjungi rumah kakek dan nenek. Pasti sudah tau kan mengapa tidak bersama ayah? Ya, ahay memang sangat tidak suka berkumpul dengan saudara-saudaranya, termask saudaranya sendiri. ayah lebih suka menyendiri atau bersama teman-temannya, yang jelas bukan keluarganya sendiri. Setaun belakangan ini, kakek memang sakit-sakitan. Namun, penyakitnya itu bukan penyakit yang besar atau bahaya. Jangan sampe lah. Penyakitnya hanya sebatas kelelahan hingga membuatnya tipes atau sendinya yang memang sudah tidak mampu untuk berjalan seperti biasanya. Kakek yang sudah pensiun masih saja beraktivitas seperti ketika ia belum pensiun, bedanya hanya ia tidak bekerja saja. Tiap pagi ia selalu jalan pagi kee pasar bersama nenek, menyiram tanaman, bersih-bersih bersama nenek dan memasak cemilan yang tiapp harinya akan dikirimkan ke rumah kami. Berbeda ketika kami semua ke rumahnya, aktivitasnya akan berbeda. tiap pagi ia akan berm
Kematian kakek meninggalkan luka yang mendalam untukku. Kakek yang selalu membela dan berusaha sekuat mungkin untuk melindungiku dan bunda, pergi meninggalkanku. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana aku selanjutnya. Apakah aku masih bisa bertahan dengan papa atau tidak. Ketika kakek akan dimakamkan, kami semua sangat kerepotan untuk mengurus ini itu. Namun, berbeda dengan ayah yang malah leha-leha sambil merokok dan melihat tamu berlalu lalang. Buyut yang jauh datang dari pulai lain juga tidak dihiraukan oleh ayah. Seminggu setelah kepergian kakek, ayah sudah membuat ulah. Rumah yang saat ini ditempati oleh keluarga kami diam-diam akan dibalik nama oleh ayah. Untung saja pejabat yang mengurus tanah tersebut memihak pada keluarga kami. Pejabat tersebut langsung menghubungi bunda. “Halo mbak, permisi maaf ganggu waktunya. Sebelumnya saya turut berduka cita atas kepergian bapak sampeyan nggih, mbak.” “Oh, iya pak. Terimakasih, ada apa ya pak? K
Setelah dirawat beberapa hari di rumah sakit, bunda akhirnya diperbolehkan pulang. Padahal, sebaiknya bunda dioperasi terlebih dahulu karena tulang hidungnya bengkok dan nantinya akan menyebabkan gangguan lain. Namun, bunda tidak mau karena takut terlalu lama dan ayah akan semakin menjadi-jadi. Sesampainya di rumah, kami ditemani oleh nenek beberapa hari karena nenek masih khawatir dengan kondisi bunda. Ayah yang sudah menunggu di teras dan seperti bersiap untuk menghajar bunda mengurungkan niatnya dan pergi keluar setelah melihat nenek ikut pulang ke rumah. Lalu kami beraktivitas seperti biasanya. Perbedaannya hanya pada ayah yang tidak marah-marah seperti biasanya dan cenderung diam. Di rumah hanya makan dan tidur tidak seperti biasanya yang ditambah dengan adegan kekerasan. Setidaknya selama seminggu kami sangat tenang dan bahagia. Kemudian nenek harus kembali ke rumahnya karena tidak mungkin bibi hanya sendiri di rumah. Namun, sebelum nenek kembali,
Selesai ujian nasional, aku menunggu hasil dengan melakukan berbagai aktivitas bersama bunda dan adik-adik dirumah. Pagi hari aku memandikan adik dan menyiapkan alat sekolah adik. Setelah itu langsung mengantarkan mereka. Beberapa hari lagi sudah menmasuki bulan puasa! Aku bunda dan adik-adik sangat senang sekali dan mempersiapkan banyak bahan makanan dan membersihkan rumah sebelum Buan Ramadhan tiba. Tahun ini berbeda dari tahun sebelumnya karena sudah tidak ada kakek. Namun, nenek selalu mengatakan bahwa kita tidak boleh sedih terlalu lama karena kakek tetap akan menjaga kita semua dari atas sana. Pada hari pertama melakukan sahur, mata ini sangat sulit untuk membuka karena belum terbiasa. Mata yang sulit membuka ini langsung bangun ketika aroma masakan bunda masuk ke dalam kamarku. Sumpah, aromanya sangat waww! Aku pun langsung bangun dan pergi menuju dapur. “Bunda masak apa ini enak banget kayanyaa!” “Cuci muka dulu kali kak, terus ambil piring.”
Ketika hari lebaran tiba, ayah masih saja membuat masalah dengan memaksakan nenek dan bibi untuk harus pergi ke desa ayah terlebih dahulu. Namun, nenek menolak dan tetap ingin segera bertemu saudara yang berasal dari kakek. Sepanjang perjalanan, bunda dan ayah hanya diam dan tidak berbicara. Namun, nenek dan bibi yang tidak tahu apa yang sedang terjadi tetap bercengkrama kepadaku dan adik-adik. Ketika sampai di sana, ayah langsung mengasingkan diri dan tidak mau bertemu dengan saudara kakek. Padahal, saudara dari kakek mencarinya dan bunda beralasan bahwa ayah sedang berada di kamar mandi. Seperti tahun-tahun sebelumnya, kami sore langsung pulang dan mengantarkan nenek serta bibi ke rumah. Seolah mengerti apa yang akan terjadi, adik langsung menangis dan tidak ingin membiarkan nenek dan bibi pulang. Benar saja, diperjalanan menuju desa ayah, ayah tidak ada henti-hentinya mengomel kepada bunda. Mulai dari mengapa bunda tidak bisa membujuk nenek untuk mau ke de