“Kak, bangun! Sudah jam enam! Telat entarr!” Kata bunda sambil menyiapkan baju ku yang belum sempat kusiapkan karena aku bangun terlalu siang. Aku yang terkejut akan mimpi itu masih diam beberapa saat dan bunda menanyakan keadaanku. Apakah aku mengalami mimpi buruk lagi seperti beberapa hari lalu. Aku mengangguk dan pergi mandi.
Sesampainya di sekolah aku langsung bergegas untuk menuju kelasku dan mengikuti pelajaran hari itu, meskipun terkadang merasa ngantuk dan akhirnya tertidur. Ketika istirahat, aku dan teman-temanku menuju ke kantin dengan langkah yang begitu cepat agar mendapatkan tempat duduk disana.
“Eh, Ra! Ditunggu Ryan di kelas!” Kata Arya sambil pergi begitu saja bersama kekasihnya.
Aku yang kala itu sedang di kantin bersama teman-temanku memutuskan untuk pergi kembali ke kelas lebih awal. Sesampainya di kelas aku melihatnya sedang bercengkrama dengan teman kelasku kala itu.
“Ada apa? Tumben banget.” Kataku sambil duduk disebelahnya.
“Ya gapapa dong? Masa nyamperin cewekku gaboleh?” Katanya sambil menatapku yang sedang tersenyum sinis kepadanya.
“Apaan sih, gajelas.”
Aku dan dia kala itu memang sedang dekat tetapi tidak berpacaran. Aku mengenalnya karena teman dekatku juga temannya, sehingga kala itu aku dicomblangin. Ya, sesederhana itu. Dibilang mudah jatuh cinta, memang iya sih tetapi susah untuk melupakan. HAHAHA.
“Besok Sabtu mau nonton gak? Lagi ada film baru.” Katanya.
“Film apaan emang?”
“Adalah, bagus pokoknya. Ketemu di Galaxy ya Sabtu. HP ku rusak, gabisa kabarin dulu. Ketemu di sekolah, ngobrol di sekolah oke? Aku basketan dulu. Bye cantik!.” Katanya sambil meninggalkan kelasku dan memanggil temannya di kelas sebelah untuk bermain basket.
Keesokan harinya di sekolah, aku melakukan kegiatan sekolah seperti biasanya hingga sesuatu hal membuatku ingin sekali pergi ke kantin detik itu juga. Teman sebangkuku, Icha juga menemaniku ke kantin saat itu.
“Tumben banget mau bolos kelas, kek bukan kamu aja sumpah, Ra.”
“Ngga, pengen aja, beli teh kotak lah terus langsung balik deh. Sumpah.” Kataku sambil memohon kepadanya.
“Hnnng, okey.”
Sesampainya di kantin, aku melihat teman-teman kelas Ryan sedang berada di kantin. Aku dan Icha merasa mungkin di kelasnya sedang tidak ada guru. Namun, aku merasa ingin mencoba tempat duduk baru di kantin. Aku dan teman sebangkuku langsung kesana, dan.... aku melihat Ryan sedang bersama wanita lain. Saat itu aku langsung terkejut dan tidak bisa bergerak. Icha langsung mengajakku kembali ke kelas. Aku yang saat itu tidak bisa mencerna apa yang sedang terjadi terus bengong hingga sampai di kelas.
Rehan yang saat itu menjadi teman baikku menanyakan keadaanku pada teman sebangkuku dan Icha menjelaskan apa yang sedang terjadi. Lalu Rehan langsung duduk di sampingku. Ia tidak menanyakan keadaanku atau bahkan menasehatiku untuk sabar. Ia hanya mengatakan bahwa aku harus bisa melewati ini semua dengan kuat karena ia yakin aku dapat menjalani ini semua dengan kuat.
Ketika pelajaran akan dimulai kembali, aku tiba-tiba pingsan dan ketika bangun aku sedang berada di UKS bersama Icha.
"Eh, uda siuman Ra?" kata Icha langsung mengambilkan teh hangat.
"Ini, minum dulu."
Dua puluh menit sebelum sekolah usai, aku dan Icha kembali ke kelas untuk bersiap untuk pulang. Ketika di tangga menuju kelas, aku mendengar suara pertengkaran. Ternyata, itu adalah Rehan dan Ryan! Apa-apaan coba?
“Heh, kalian berdua ngapain sih!” kataku sambil berusaha memisahkan mereka berdua sambil teriak. Memisahkan keduanya memang tidak mudah, tetapi dengan usaha kerasku dan teman-teman yang lain, akhirnya mereka berdua bisa dipisahkan.
“Kamu ngapain sih gitu itu, Yan?” Tanyaku kepada Ryan. Kemudian Ryan menjelaskan bahwa ia sedang di depan kelas dan Rehan datang langsung memukul dirinya begitu saja. Sontak membuatnya terkejut dan membaalas pukulan itu sehingga menyebabkan pertengkaran itu.
Tak lama, Rehan menghampiriku dan membawakan tas dan barangku yang lain. Kemudian ia menuruni tangga dan pulang mungkin? Entahlah. Aku hanya berfokus pada Ryan terlebih dahulu. Berusaha meminta penjelasan apa yang terjadi ketika aku melihatnya dengan perempuan lain di kantin tadi.
“Maaf Ra, sebenarnya handphoneku tuh ga rusak. Aku bosen aja sama kamu, terus aku pake handphone ayahku yang lama dan.. ya gitulah, maaf Ra.” Katanya sambil tertunduk. Lalu aku menanyakan keadaan kita sekarang bagaimana, apakah masih bersama atau lebih baik disudahi saja?
“Keputusannya di kamu, Ra. Aku gabisa mutusin karena aku sadar aku jahat banget. Jadi kamu aja yang mau gimana, mau putus atau mau lanjut.” Aku yang mendnegar jawabannya hanya tersenyum sinis dan memutuskan untuk selesai saja karena, untuk apa mempertahankan seseorang yang hatinya tidak seutuhnya untukku? Lalu ia pun mengiyakan permintaanku.
Ketika aku menuruni anak tangga, Rehan ada di sebelah tangga paling bawah dan meminta maaf pula karena suda memukul Ryan. Ia menjelaskan mengapa ia melakukan itu, ia merasa sangat marah mengapa bisa-bisanya seperti itu kepadaku. Lalu aku mengatakan bahwa semuanya sudah slesai sekarang dan mengucapakan terima kasih karena sudah memberikan support yang menurutku sangat luar biasa. Sesampainya di rumah, jujur aku tidak merasa sedih karena putus dengan Ryan.
Beberapa minggu lagi ujian tengah semester dimulai, aku langsung memberikan kabar kepada bunda tentunya. Aku berusaha tenang agar tidak panik ketika belajar dan berusaha memahami seluruh materi, bukan menghafal. Ketika memaksakan untuk hafal, beberapa hari setelah ujian akan hilang begitu saja. Kata bunda sih, bukan kataku. HAHAHA!
Aku, Rehan, Icha dan Iman, kekasih dari Icha tidak sekelas ketika ujian semester berjalan. Aku berpencar dengan mereka bertiga karena aku ada di absen awal. Ujian tengah semester berjalan dengan baik kecuali pada mata pelajaran matematika yang memaksaku harus berpikir lebih keras daripada mata pelajaran yang lain. Saat itu aku ketakutan, apakah aku bisa mendapatkan nilai yang baik pada mata pelajaran itu atau tidak.
Rehan, teman lelaki yang duduk di sebelah bangkuku dan Icha, manusia yang tidak pernah lelah untuk memberiku semangat, memberikan rangkuman hingga memberikan penjelasan kepadaku terhadap mata pelajaran atau materi yang tidak kupahami. Ia menjelaskannya dengan semudah dan sesingat mungkin agar aku bisa memahaminya dengan baik. Selain peduli dengan ujianku, ia juga sangat peduli dengan kesehatan fisik dan mentalku. Ia juga mengetahui bahwa aku sangat mudah lelah, sehingga ia selalu mengingatkan apabila sudah pukul sepuluh dan ia memaksaku untuk beristirahat agar aku tidak mudah kelelahan. Namun, perlu diketahui bahwa aku dan Rehan tidak ada hubungan apapun. Ia juga memiiki “crush” lain yang sering ia ceritakan padaku.
Ketika aku akan tidur, tiba-tiba aku mendapatkan notifikasi bahwa Ryan baru saja mengirimkann pesan kepadaku. Hah? Dia ngapain? Rasa dalam hati ingin membukanya, tetapi rasa lelah lebih mendominasi, sehingga aku memutuskan untuk membukanya besok setelah pulang les.
Kemudian aku tertidur, di mimpi itu aku sedang melaksanakan ujian dan ayah mengawasi aku di kanan, kiri, atas bawah dan sekelilingku ada ayah, yang selanjutnya aku teriak dengan sangat kencang. Lalu bunda menghampiriku dan menenangkanku dan bsa membuatku tidur kembali.
Ketika menghadapi ujian terakhir, sepertinya mimpiku merupakan pertanda bahwa penjaga hari ini sangat kejam. Dia selalu mengawasi gerak-gerik kami tanpa meninggalkan pandangannya terhadap kami dengan melakukan aktivitas yang lain. Selain itu, ia berjalan berkeliling kelas dan membuatku merasa terintimidasi padahal aku tidak mencontek siapapun. Hanya merasa tidak nyaman saja.
Sepulangnya ujian itu, aku izin kepada bunda untuk pergi ke cafe dekat sekolah untuk beristirahat sejenak dari ujian itu. aku pergi ke cafe bersama-sama temanku, termasuk Rehan dan Iman. Karena jarak cafe dan sekolahku sasngat dekat, kami memutuskan untuk berjalan kaki saja.
Setelah itu, pelajaran di sekolah hari itu berjalan dengan baik dan seperti biasanya. Pulang sekolah aku dijemput oleh bunda dan adik-adik.“Gimana kak? Lancar gak sekolahnya?” Tanya bunda seperti biasanya.Seperti biasanya, bunda menjemputku dengan mata yang sembab dan suaranya bergetar. Adik yang biasanya selalu ceria menyapaku, mengajakku bercanda juga diam tidak berkutik di kursi sebelah bunda. Dalam hati aku sudah mengetahui mengapa ini terjadi, pasti karena ayah.Sesampainya di rumah aku langsung beberes dan bersih diri lalu istirahat. Baru saja tertidur, ayah datang dengan membanting pintu depan.“Bodoh banget si jadi orang? Udah tau galon abis kenapa ga pesen-pesen si?” Ucapnya sambil membentak abunda.“Saiki, lapo meneng ae?” (sekarang, kenapa diam aja?)Aku yang mendengarkan langsung keluar kamar dan jelas, ayah melihatku dan ikut memakiku juga.“Deloken. Ibumu goblok! O
Kriiiing, bel istirahat sudah berbunyi. Tak lama, aku dan teman-temanku bergegas ke kantin, membeli makanan ringan dan beberapa minuman yang sedikit menyegarkan. Tiba-tiba terdengar suara seseorang berlari mengejar kami, dan ternyata itu adalah Ryan. “Apa Yan? Ngapain lari-lari?” tanyaku heran kepadanya. “Kamu belum buka line ku?” “Ngga, belom. Tar aja pulang sekolah. Kenapa? Penting emang?” “Oh, yaudah. Nanti aja kalo kamu uda buka. Maaf ya ganggu kalian.” Katanya langsung meninggalkan kami. “Lah emang pesannya ga kamu buka?” tanya puput kepadaku. “Ngga, dia nge-chat aku waktu aku mau tidur, ya mana sempet akku buka.” “Terus, pagi kenapa ga kamu buka?” saut Anggi. “Pagi sibuk banget, ga nutut lah buat ngebuka hp. Hehe.” Jawabku sambil terkekeh. Sesampainya di cafe itu kami langsung memesan makanan dan minuman favorit kami, bermain kartu, bercanda, membicarakan orang lain dan s
Setiap dua minggu sekali, aku, bunda dan adik-adik selalu mengunjungi rumah kakek dan nenek. Pasti sudah tau kan mengapa tidak bersama ayah? Ya, ahay memang sangat tidak suka berkumpul dengan saudara-saudaranya, termask saudaranya sendiri. ayah lebih suka menyendiri atau bersama teman-temannya, yang jelas bukan keluarganya sendiri. Setaun belakangan ini, kakek memang sakit-sakitan. Namun, penyakitnya itu bukan penyakit yang besar atau bahaya. Jangan sampe lah. Penyakitnya hanya sebatas kelelahan hingga membuatnya tipes atau sendinya yang memang sudah tidak mampu untuk berjalan seperti biasanya. Kakek yang sudah pensiun masih saja beraktivitas seperti ketika ia belum pensiun, bedanya hanya ia tidak bekerja saja. Tiap pagi ia selalu jalan pagi kee pasar bersama nenek, menyiram tanaman, bersih-bersih bersama nenek dan memasak cemilan yang tiapp harinya akan dikirimkan ke rumah kami. Berbeda ketika kami semua ke rumahnya, aktivitasnya akan berbeda. tiap pagi ia akan berm
Kematian kakek meninggalkan luka yang mendalam untukku. Kakek yang selalu membela dan berusaha sekuat mungkin untuk melindungiku dan bunda, pergi meninggalkanku. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana aku selanjutnya. Apakah aku masih bisa bertahan dengan papa atau tidak. Ketika kakek akan dimakamkan, kami semua sangat kerepotan untuk mengurus ini itu. Namun, berbeda dengan ayah yang malah leha-leha sambil merokok dan melihat tamu berlalu lalang. Buyut yang jauh datang dari pulai lain juga tidak dihiraukan oleh ayah. Seminggu setelah kepergian kakek, ayah sudah membuat ulah. Rumah yang saat ini ditempati oleh keluarga kami diam-diam akan dibalik nama oleh ayah. Untung saja pejabat yang mengurus tanah tersebut memihak pada keluarga kami. Pejabat tersebut langsung menghubungi bunda. “Halo mbak, permisi maaf ganggu waktunya. Sebelumnya saya turut berduka cita atas kepergian bapak sampeyan nggih, mbak.” “Oh, iya pak. Terimakasih, ada apa ya pak? K
Setelah dirawat beberapa hari di rumah sakit, bunda akhirnya diperbolehkan pulang. Padahal, sebaiknya bunda dioperasi terlebih dahulu karena tulang hidungnya bengkok dan nantinya akan menyebabkan gangguan lain. Namun, bunda tidak mau karena takut terlalu lama dan ayah akan semakin menjadi-jadi. Sesampainya di rumah, kami ditemani oleh nenek beberapa hari karena nenek masih khawatir dengan kondisi bunda. Ayah yang sudah menunggu di teras dan seperti bersiap untuk menghajar bunda mengurungkan niatnya dan pergi keluar setelah melihat nenek ikut pulang ke rumah. Lalu kami beraktivitas seperti biasanya. Perbedaannya hanya pada ayah yang tidak marah-marah seperti biasanya dan cenderung diam. Di rumah hanya makan dan tidur tidak seperti biasanya yang ditambah dengan adegan kekerasan. Setidaknya selama seminggu kami sangat tenang dan bahagia. Kemudian nenek harus kembali ke rumahnya karena tidak mungkin bibi hanya sendiri di rumah. Namun, sebelum nenek kembali,
Selesai ujian nasional, aku menunggu hasil dengan melakukan berbagai aktivitas bersama bunda dan adik-adik dirumah. Pagi hari aku memandikan adik dan menyiapkan alat sekolah adik. Setelah itu langsung mengantarkan mereka. Beberapa hari lagi sudah menmasuki bulan puasa! Aku bunda dan adik-adik sangat senang sekali dan mempersiapkan banyak bahan makanan dan membersihkan rumah sebelum Buan Ramadhan tiba. Tahun ini berbeda dari tahun sebelumnya karena sudah tidak ada kakek. Namun, nenek selalu mengatakan bahwa kita tidak boleh sedih terlalu lama karena kakek tetap akan menjaga kita semua dari atas sana. Pada hari pertama melakukan sahur, mata ini sangat sulit untuk membuka karena belum terbiasa. Mata yang sulit membuka ini langsung bangun ketika aroma masakan bunda masuk ke dalam kamarku. Sumpah, aromanya sangat waww! Aku pun langsung bangun dan pergi menuju dapur. “Bunda masak apa ini enak banget kayanyaa!” “Cuci muka dulu kali kak, terus ambil piring.”
Ketika hari lebaran tiba, ayah masih saja membuat masalah dengan memaksakan nenek dan bibi untuk harus pergi ke desa ayah terlebih dahulu. Namun, nenek menolak dan tetap ingin segera bertemu saudara yang berasal dari kakek. Sepanjang perjalanan, bunda dan ayah hanya diam dan tidak berbicara. Namun, nenek dan bibi yang tidak tahu apa yang sedang terjadi tetap bercengkrama kepadaku dan adik-adik. Ketika sampai di sana, ayah langsung mengasingkan diri dan tidak mau bertemu dengan saudara kakek. Padahal, saudara dari kakek mencarinya dan bunda beralasan bahwa ayah sedang berada di kamar mandi. Seperti tahun-tahun sebelumnya, kami sore langsung pulang dan mengantarkan nenek serta bibi ke rumah. Seolah mengerti apa yang akan terjadi, adik langsung menangis dan tidak ingin membiarkan nenek dan bibi pulang. Benar saja, diperjalanan menuju desa ayah, ayah tidak ada henti-hentinya mengomel kepada bunda. Mulai dari mengapa bunda tidak bisa membujuk nenek untuk mau ke de
Setelah aku, bunda dan adik-adik pindah ke rumah nenek, kami merasa lebih bebas dan lebih merasa hidup. Aku yang sudah lama terkungkung di rumah langsung keluar rumah terus menerus. Selama tujuh belas tahun hidup, baru kali ini aku benar-benar merasakan bebas.Ketika tahun ajaran baru segera dimulai, aku dan bunda berbelanja alat tulis untuk keperluan sekolah, menjahit seragam baru dan peralatan sekolah lainnya.Bunda kala itu juga merasa sangat bebas, kami berempat bisa makan di luar dengan tenang, bisa berbicara dan bercanda tanpa takut dimarah oleh siapapun. “Kakak, mau apa lagi abis gini?”“Mau makan pizza gak?”“Mauuu!”Setelah itu, kami pergi ke restoran pizza terdekat, dan menikmati berbagai makanan yang telah dipesan oleh bunda.“Kak, adik, bunda abis gini kerja lagi ya. Gabisa temenin seharian full kaya sebelumnya.”“Loh, nda boleee.” Kata adik sambil m