Share

Ayah dan Bunda

Setelah itu, pelajaran di sekolah hari itu berjalan dengan baik dan seperti biasanya. Pulang sekolah aku dijemput oleh bunda dan adik-adik.

“Gimana kak? Lancar gak sekolahnya?” Tanya bunda seperti biasanya.

Seperti biasanya, bunda menjemputku dengan mata yang sembab dan suaranya bergetar. Adik yang biasanya selalu ceria menyapaku, mengajakku bercanda juga diam tidak berkutik di kursi sebelah bunda. Dalam hati aku sudah mengetahui mengapa ini terjadi, pasti karena ayah.

Sesampainya di rumah aku langsung beberes dan bersih diri lalu istirahat. Baru saja tertidur, ayah datang dengan membanting pintu depan.

“Bodoh banget si jadi orang? Udah tau galon abis kenapa ga pesen-pesen si?” Ucapnya sambil membentak abunda.

Saiki, lapo meneng ae?” (sekarang, kenapa diam aja?)

Aku yang mendengarkan langsung keluar kamar dan jelas, ayah melihatku dan ikut memakiku juga.

Deloken. Ibumu goblok! Ojok sampe kon goblok sisan!” (lihat! Ibumu bodoh! Jangan sampai kamu bodoh juga.) Sambil jarinya menunjuk-nunjuk di dekat mataku dan hampir saja mengenai mataku.

Setelah itu papa pergi keluar entah kemana. Aku dan adikku langsung menghampiri bunda dan memeluknya. Lalu bunda menjelaskan bahwa tadi ia sudah memesan tetapi tidak kunjung datang juga. Aku langsung pergi ke toko itu dan memintanya agar lebih cepat. Pergawai toko tersebut langsung dengan sigap mengantar ke rumah.

“LAH TERUS DARITADI KENAPA GA DIKIRIM MAS?” Tanyaku sambil sedikit membentak kepadanya.

 “Maaf mbak, saya lupa.” Sambil pergi mengambil galon.

Sesampainya di rumah, aku langsung membantu bunda untuk menjaga adik dan aku membiarkan bunda untuk beristirahat sejenak sambil menenangkan perasaannya. Ya, begitulah ayah. Sedari dulu, tidak pernah berubah. Namun, pernah selama dua tahun tidak berbuat tindakan-tindakan agresif kepadaku dan bunda. Hal tersebut tidak bertahan lama karena ternyata bunda mengandung anak kembar dan keduanya perempuan. Sedari dulu, ayah menginginkan anak lelaki dan bukan anak perempuan, sehingga ketika mendengarr hal tersebut ayah langsung pergi dan berubah menjadi sosok yang menakutkan kembali bagiku. Ayah adalah seseorang yang ketika marah tidak akan pernah menganggapku dan adik-adikku bagian dari anak-anaknya. Hanya anak bunda, begitu katanya.

Kata bunda, ayah sepertinya ke kantor kembali dan berkata bahwa akan pulang lebih malam dari biasanya. Aku dan adik yang mendengarkan mengangguk-angguk setuju dan meraas sedikit tenang untuk melakukan aktivitas kami. Ketika ada ayah dirumah, kami berempat tidak bisa melakukan aktivitas dengan normal, berusaa melakukan aktivitas tanpa bising dan tentunya tanpa mengganggu ketenangannya di rumah. Sebenarnya, aku merasa tidak nyaman dan tidak aman akan hal tersebut.

Malam harinya, ayah memang pulang lebih lama dari biasanya. Ia pulanag dengan wajah yang sumringah dan berbeda dengan tadi sore ketika marah kepadaku dan bunda. Memang begitu, ketika selesai marah ia memutuskan untuk keluar dan ketika kembali ia bertingkah laku seolah tidak terjadi apapun sebelumnya. Ia hanya menganggap semua itu sudah selesai, padahal kami masih saja merasa ketakutan.

“Makanku bun, cepetan.” Katanya sambil bermain handphone di ruang tamu.

Bunda membawakan makanannya dan tak lama, pyaaaar. Piring itu dibuang begitu saja dan untungnya tidak mengenai bunda.

Isok masak gak se? Mosok mangan ngene ae aku. Segoe kakean, iwake gak pas, krupuk ga digowokno. Yaopo se kon iku. Pirang taun mbek aku kok gak apal-apal hah!” (bisa masak gaksih? Masa aku makan ginian aja? Nasinya kebanyakan, lauknya gak sesuai, krupuk ga dibawakan. Gimana si kamu?) Aku yang mendengar perrtengkarannya langsung pergi ke dapur untuk menyiapkan piring lain, mengambil sapu dan mengambil kantong plastik untuk membersihkan pecahan piring. Setelah itu, menyuruh adek yang sebelumnya ada di ruang televisi untuk masuk ke kamarnya sambil aku membawakan kerupuk untuk ayah.

Iki sisan goblok koyo ibue. Lapo ga ket maeng gowokno nggon krupuk. Otak iku digawe ta!” (Ini juga bodoh kaya ibunya. Kenapa ga daritadi bawakan tempat kerupuk. Otak itu dipakai!)

Aku yang mendengarkan kata-katanya hanya tertunduk dan berusaha menahan nangis. Ayah yang tahu aku menahan nangis langsung menendang mukaku yang tentunya membuatku terjatuh.

“Ayah! Gausa kaya gitu lah! Ngapain gitu ke kakak!” ucap bunda kepada ayah sambil memohon untuk tidak melakukannya lagi.

Tidak lama ayah berdiri dari tempat duduknya dan menjambak rambutku sambil menyeretku ke kamar. Bunda langsung mencegah agar tidak melakukan di hadapan adikku. Bunda hanya bisa menangis dan tidak bisa melawan fisik. Lalu aku dibuang begitu saja, dan ayah langsung pergi meninggalkan rumah setelah membuat kekacauan di rumah.

“Maafin bunda ya, kak. Maaf banget.” Katanya sambil memelukku.

“Gapapa bunda, kakak sayang bunda. Maaf terlambat ke bundanya.” Kataku sambil terisak.

Lalu bunda langsung merapikan rambutku yang berantakan dan kami membersihkan pecahan dan makanan yang terbuang tadi. Tidak lama, adikku keluar dari kamar dan memeluk kami berdua. Setelah itu, kami bermain dan bercanda lagi. Aku dan bunda berusaha menyembunyikan rasa sakit kami agar adik tidak merasakan apa yang kami rasakan.

Sepulangnya entah darimana, ayah langsung bertingkah laku seperti tidak tahu apa yang terjadi sebelumnya. Mengajak adik bermain dan bercanda, tetapi terlihat dari raut wajah adik mereka sangat kebingungan. Namun, mereka tetap melanjutkan permainannya yang walaupun bisa dibilang membosankan.. tetapi setidaknya ada sedikit usaha untuk dekat dengan adik. Tidak sepertiku dahulu.

Setelah puas bermain dengan ayah, bunda langsung mengajak adikku cuci kaki dan berganti pakaian tidur. Namanya anak kecil, tidak selalu bisa mengikuti perintah begitu saja dengan mudah dan tidak lama keduanya menangis dengan kencang. Ayah yang mendengar tangisan langsung memukul-mukul pintu bertujuan untuk mendiamkan mereka. Namun, caranya salah dan semakin membuat mereka menangis. Hingga pada akhirnya ketika emosi ayah sangat memuncak, ia melempar remote televisi ke adik. Aku yang melihatnya langsung memeluk adikku, sehingga remote itu mengenai punggungku.

Lapo seh melok-melok iku? Mau jadi pahlawan?” (kenapa sih ikut-ikut?) Aku yang mendengarnya hanya diam dan berusaha tetap tersenyum di depan adik-adikku. Kemudian aku menyuruh mereka masuk ke kamar mandi untuk segera berganti pakaian. Tak lama, ayah memanggilku ke teras rumah. Perasaanku bercampur aduk karena mendengarkan apa yang dilakukannya tadi dan ppikiranku yang terlalu berlebihan.

Plak. Benar saja apa yang kutakutkan, ayah langsung menaparku dengan keras di pipi kanan dan kiriku. Setelah menampar, ia membiarkanku berdiri sambil menunduk.

“Siapa suruh jadi sok jagoan gitu?” Katanya dengan tatapannya yang sangat menyesakkan hati.

“Ayah mau kasi tau adekmu biar ga berisik, biar mau nurut sama bundamu. Kenapa kamu malah ngehalangin? Terus yang sakit sekarang kamu kan?”

Setelah itu ayah menjambakku hingga mmebuatku duduk di sebelahnya. Ayah melanjutkan tamparannya yang sepertinya tadi belum selesai. Menjambakku dan menyiksaku hingga beberapa bagia di wajahku memar dan bibirku berdarah.

“Tau kan, ayah itu gamau anaknya ada yang jadi sok jagoan, ayah itu maunya ngedidik anaknya ayah itu sama. Kenapa kamu gitu? Harusnya tau diri gitu loh.” Katanya sambil merokok. Aku yang masih tertunduk sudah tidak kuat menahan tangisku. Air mataku tumpah dan langsung ditampar.

“Kenapa nangis sih? Cupu banget sih. Siapa yang ngajarin nangis tuh hah?” Sambil menamparku kembali. Kemudian ayah menjambakku dan menyeretku untuk berdiri. Aku tidak kuasa melawannya. Aku hanya terdiam. Jangan menanyakan peran bunda disaat seperti ini, bunda harus menemani adik yang jika ditinggal akan menangis kencang dan tentunya akan membuat ayah marah lebih hebat lagi. Perlakuan ayah kepadaku terhenti ketika tetangga rumahku mengetuk malam-malam untuk meminjam tangga.

“Pak Yan, permisi....” Kalimatnya terpotong ketika melihat keadaanku dan tangan ayah sedang menjambak rambutku.

“Eh, iya pak. Ada apa,” tangannya langsng melepaskan genggaman rambutku dan menghampirinya. Aku masih tetap terdiam di tempatku ketika tetanggaku datang dan melihatku sangat berantakan. Aku tidak berani untuk bergerak dan masuk ke dalam rumah, sehingga aku hanya terdiam disana hingga ayah memerintahkanku untuk masuk.

“Siapa suruh berdiri disana terus? Masuk!” Sambil menatapku dengan tatapan yang sangat menakutkan. Lalu aku masuk ke dalam rumah dan mencuci muka serta merapikan rambutku yang berantakan. Bunda yang ternyata menungguku di depan kamar mandi terkejut melihat kondisi wajahku yang babak belur. Aku yang melihatnya di depanku langsung memeluk dan menumpahkan segala tangisanku di dalam pelukannya.

Kemudian aku memutuskan untuk tidur, tetapi.. ketika sudah terlelap. Ayah menyeretku ke ruang tamu dan melanjutkan amarahnya.

“Yang nyuruh tidur siapa?  Hah?” katanya sambil menjambak rambutku hngga membuatku menatap matanya.

“Aku cuma nyuruh kamu masuk. Bukan tidur. Telinga ini cuma jadi pajangan aja apa gimana sih?” Katanya sambil menjewer telingaku. Setelah puas menyiksaku, ayah menyuruhku tidur di ruang tamu. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status