Share

Hampir Usai

Selesai ujian nasional, aku menunggu hasil dengan melakukan berbagai aktivitas bersama bunda dan adik-adik dirumah. Pagi hari aku memandikan adik dan menyiapkan alat sekolah adik. Setelah itu langsung mengantarkan mereka.

Beberapa hari lagi sudah menmasuki bulan puasa! Aku bunda dan adik-adik sangat senang sekali dan mempersiapkan banyak bahan makanan dan membersihkan rumah sebelum Buan Ramadhan tiba. Tahun ini berbeda dari tahun sebelumnya karena sudah tidak ada kakek. Namun, nenek selalu mengatakan bahwa kita tidak boleh sedih terlalu lama karena kakek tetap akan menjaga kita semua dari atas sana.

Pada hari pertama melakukan sahur, mata ini sangat sulit untuk membuka karena belum terbiasa. Mata yang sulit membuka ini langsung bangun ketika aroma masakan bunda masuk ke dalam kamarku. Sumpah, aromanya sangat waww! Aku pun langsung bangun dan pergi menuju dapur.

“Bunda masak apa ini enak banget kayanyaa!”

“Cuci muka dulu kali kak, terus ambil piring.” Aku pun mengikuti perintah bunda dan langsung mengambil makanan tadi.

“Bunda bangunin ayah dulu, abis gitu ikutan sahur sama kamu disini. Okay?” Katanya sambil mencium dahiku dan pergi meninggalkanku.

Ayah pun datang ke dapur dan melihat masakan bunda.

“Mau yang mana yah? Ada....”

Plak.

“Masak opo kon iku? Lapo masak daging? Aku pengen udang malah daging.” (masak apa kamu itu? ngapain masak daging? Aku pingin udang malah daging.

Mangan nak njobo ae aku, nduwe bojo kok gaisok masak ngene. Goblok kok terus.” (makan diluar ajalah aku, punya istri kok gabisa masak gini)

Bunda terlihat sakit hati dengan perkataan ayah barusan, tetapi bunda langsung bersikap bodo amat terhadap pembicaraan ayah dan makan bersamaku.

“Eh, enak ya emang. Padahal gapake resep, ngasal aja. Takut kelamaan keburuh subuh lagi.”

“Emang enakk! Masakan bunda gapernah gagal.” Kemudian aku mencuci piring dan memanggil Mbak Jar untuk sahur dan aku menggantikan Mbak Jar untuk menjaga adik.

Menjelang imsak, ayah pulang dan meminta bunda untuk membuatkannya teh hangat. Setelah bunda membuatkan teh untuknya, sepertinya gelas tersebut jatuh. Entah dilempar oleh ayah atau apa, aku tidak mengerti.

Plak. Plak. Plak. Suara tamparan terdengar keras sekali, Mbak Jar yang ada di dapur langsung menghampiri jendela kamar adik yang kebetulan terhubung dengan dapur.

“Kak, bundamu.”

“Iya, gaberani keluar. Mbak aja pura-pura dari dapur mau ke sini.” Mbak Jar pun mengiyakan dan tak lama ayah sepertinya masuk ke dalam dapur.

Sebelumnya, aku mendengar pembicaraan ayah terhadap bunda.

Iki panas, aku njaluk iku anget. Otakmu error ta saiki? Opo kupingmu seng buntu?” (Ini panas, aku minta itu hangat. Otakmu sekarang error? Apa telingamu yang buntu?)

Ketika itu bunda hanya meminta maaf. Setelah mendengar ayah masuk ke dalam kamar, aku dan Mbak Jar menghampiri bunda dan membantunya membesihkan percahan-pecahan gelas. Mbak Jar pun berbisik kepada bunda dan aku untuk segera kembali ke kamar. Bunda pun memeluk Mbak Jar dan berterima kasih lalu pergi menuju kamar adik. Begitu juga aku yang langsung kembali ke kamarku.

Pagi harinya aku beraktivitas seperti hari-hari sebelumnya, membantu bunda meawat adik, memandikannya dan mengantarkannya sekolah. Setelah itu aku menonton film di kamar atau memasak apapun yang ada di dapur dengan tujuan agar aku tidak menganggur sambil menunggu hasil ujian.

Tiiiiin. Terdengar suara klakson motor yang amat bising di depan rumah. Kami semua mengira bahwa itu adalah tetangga dan tidak terpikirkan bahwa itu ayah yang ingin dibukakan pager. Klakson tersebut terus berbunyi hingga akhirnya aku pun memastikan sebenarnya apa yang terjadi. Ternyata itu adalah ayah. Aku pun langsung membukakan pagar untuknya.

Ayah langsung memasukkan motornya dan sengaja menabrakku dan ketika aku jatuh ayah langsung menyuruhku minggir dan kemudian ayah sengaja menginjak badanku yang masih berada di pinggir teras. Ya, aku masih merasa tidak mampu untuk berdiri, sehingga aku memutuskan untuk di pinggir dulu. Namun ternyata diinjak oleh ayah yang masih menggunakan sepatu boots untuk proyek. Rasanya sangat menyakitkan sehingga membuatku berteriak dan kemudian bunda menyusulku ke depan.

“Astaghfirullah ayah! Ngapain!”

LEK ONOK WONG NGEBEL IKU DIBUKAK. AKU MOLEH IKU PAGER BUKANO. MOSOK KUDU DIKANDANI SEK HAH!” (kalau ada orang ngebel tuh dibuka. aku pulang it pagar bukain. masa harus dikasih tau dulu, hah?)Katanya sambil mendekatkan wajah ke bunda dan menyebabkan bunda ketakutan

Kemudian bunda membopongku untuk masuk ke kamar dan menyuruhku untuk istirahat sambil menunggu adzan maghrib.

Buko opo saiki?” (buka apa sekarang)

Arek-arek wes tuku. Sampeyan gelem opo, timbangane ngkok salah neh.” (anak-anak sudah beli. kamu mau apa, daripada nanti salah lagi)

Kemudian bunda pergi ke pasar dadakan di gang sebelah yang hanya ada di bulan Ramadhan saja, untuk membelikan buka untuk ayah. Lalu tidak lama setelah bunda berpamitan kepadaku, ayah langsung masuk ke kamarku dan kemudian menjambakku.

“Jadi anak jangan sok jadi jagoan. Gausa sok jadi raja, yang jadi raja itu cuma ayah. Kamu gausa semena-mena. Masa bukain pager aja gamau? Sok banget.”

“Gausa sok lemah, bangun. Ke dapur, bersih-bersih.”

Aku pun langsung turun dari kasur dan pergi ke dapur sambil menahan sakit di bagian perut. Padahal, sebelumnya ayah tidak pernah dibukakan pagarnya dan memang selalu membuka sendiri tanpa meng-klakson seperti tadi. Sebenarnya ayah hanya mencari-cari masalah.

Hari pengumuman hasil ujian nasional pun tiba, kala itu aku merasa risau dan tidak tenang. Namun, bunda selalu menguatkanku dan mengatakan bahwa semua akan berjalan dengan baik. Benar saja, aku mendapatkan nilai yang menurutku sangat memuaskan dan bisa digunakan untuk mendaftar SMA favorit di kota. Bunda pun langsung memberi kabar kepada ayah dan ayah sangat gembira kala itu.

Sesampainya di rumah, ayah langsung menghajarku habis-habisan. Aku yang sedang senang dengan hasil yang kuperoleh dibuat heran dengan perilaku ayah. Ternyata, anak teman dari ayah mendapatkan nilai yang lebih tinggi di atasku. Sebenarnya tidak terlalu jauh, tetapi ayah tetap saja tidak terima kalah dengan temannya.

Hampir sebulan puasa, kira-kira kurang tiga hari menuju lebaran, bunda menangis di setiap sholatnya. Aku pun tidak akan bertanya apa alasannya menangis. Ayah selama satu bulan itu sudah bertindak kejauhan, satu bulan tidak henti-hentinya menyakitiku dan bunda lebih parah dari sebelum kakek meninggal.

“Kakak, kalau bunda cerai sama ayah, gapapa ya? Bunda sudah gakuat lagi, kasian adik sama kakak juga kalau bunda terus maksain terlihat kuat sama ayah, padahal nyatanya ngga sebegitu kuat.”

“Iya bunda, gapapa. Selama bunda seneng, kakak juga seneng kok.” Kemudian aku memeluk bunda sangat kencang.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status