Share

Benar-Benar Usai

Ketika hari lebaran tiba, ayah masih saja membuat masalah dengan memaksakan nenek dan bibi untuk harus pergi ke desa ayah terlebih dahulu. Namun, nenek menolak dan tetap ingin segera bertemu saudara yang berasal dari kakek.

Sepanjang perjalanan, bunda dan ayah hanya diam dan tidak berbicara. Namun, nenek dan bibi yang tidak tahu apa yang sedang terjadi tetap bercengkrama kepadaku dan adik-adik. Ketika sampai di sana, ayah langsung mengasingkan diri dan tidak mau bertemu dengan saudara kakek. Padahal, saudara dari kakek mencarinya dan bunda beralasan bahwa ayah sedang berada di kamar mandi.

Seperti tahun-tahun sebelumnya, kami sore langsung pulang dan mengantarkan nenek serta bibi ke rumah. Seolah mengerti apa yang akan terjadi, adik langsung menangis dan tidak ingin membiarkan nenek dan bibi pulang.

Benar saja, diperjalanan menuju desa ayah, ayah tidak ada henti-hentinya mengomel kepada bunda. Mulai dari mengapa bunda tidak bisa membujuk nenek untuk mau ke desa ayah sebentar, mengapa bunda tidak bisa menjadi istri yang baik, bunda yang baik dan pengertian, mengapa nilaiku jelek dan banyak hal lainnya. Apa yang dikatakan ayah benar-benar seperjalanan nontstop. Aku yang tidur saja sudah tidak sanggup mendengarkannya lagi. Serasa perjalanan ini sangat jauh.

Sesampainya di sana, keluarga ayah menyambut kita seperti raja. Oleh karena itu, sebelum kami semua kesana rumah yang sebetulnya sangat-sangat kotor dibersihkan sangat cepat. Aku mendengarnya dari percakapan om dan pamanku. Kami disana sangat lama, dar yang sebelumnya hanya dua hari semalam berubah menjadi seminggu.

Suasana disana sangat tidak menyenangkan, sehingga aku dan adikku lebih sering tidur daripada bermain dengan sepupu. Keluarga dari ayah sangatlah toxic. Terlalu banyak permasalahan diantara mereka, salah satunya adalah masalah warisan yang tidak kunjung selesai.

Bunda menjelaskan kepadaku bahwa sebenarnya akung bapak adalah orang yang sangat keras hampir seperti ayah, yangti juga tidak bisa mengendalikan akung dan hanya pasrah setiap akung memukulnya. Bunda mengatakan hal tersebut ketika bunda masih tinggal dengan keluarga ayah. Anak-anak dari akung kala itu ketika melihat yangti dipukul dan disiksa oleh akung juga diam dan melihat yang kemudian hari ditirukan mereka semua dalam berkeluarga.

“Adekkkk, bibi kangennn. Kamu pulang kapannn? Main kesini ya kalo uda pulang.” Kata bibi melalui sambungan telepon.

“Iya bibiiiii. Adek disini juga...” Mulut adik langsung ditutup oleh bunda karena ditakutkan akan mengatakan hal-hal yang membahayakan kami semua.

Selama disana, ayah hanya bercengkrama dengan saudaranya dan tidak memedulikan kami berempat. Ayah makan dan pergi sesukanya tanpa memberitahu akan kemana. Kami sebenarnya biasa saja dengan keadaan itu, tetapi ini di desa gitu loh? Mana bisa dikit-dikit pake ojol.

Dari percakapan yang sedikit terdengar, ayah kesana karena pamanku, adik yang pas setelah ayah memintanya untuk menyelesaikan warisan yang dianggap oleh kakak ayah itu semua miliknya. Semua saudara ayah tidak ada yang menempun pendidikan tinggi dan berpenghasilan tetap. Oleh karena itu, mereka selalu mengagungkan ayah agar tetap uang tetap dikirim ke mereka.

Entah apa yang terjadi selanjutnya, ayah mengajak kami pulang. Akhirnyaaaa, terbebas dari keluarga ini dan akan kembali ke keluarga bunda. Sepanjang perjalanan pulang, bunda dan ayah berbincang banyak, terkadang diselingi banyak tawa yang dibuat oleh ayah. Namun, bunda menanggapinya dengan sangat dingin karena sepertinya sudah muak dengan kelakuan ayah.

Seminggu setelah lebaran, pendaftaran SMA Negeri dibuka. Kala itu aku sangat percaya diri memilih SMA yang berada di pusat kota dan jaga-jaga di pinggir kota yang masih dekat dengan rumah nenek. Pendaftaran itu hanya berlangsung selama tiga hari dan menggunakan sistem online.

Saat detik-detik terakhir menuju 00.00, namaku tiba-tiba tergeser dari SMA pusat kota yang aku pilih dan terlempar ke SMA pinggiran tadi. Namun, rasa sedih dan kecewaku langsung sirna ketika bunda langsung memeluk bangga kepadaku. Berbeda dengan ayah yang masuk ke kamar dan memukulku sangat kerass.

“Bodoh! Kok bisa sekolah disana? Anak temen papa ketrima disana. Kok kamu ngga? Padahal uda les, uda ngeluarin uang lebih banyak daripada temen papa. Kok kamu tetep kalah?” Katanya sambil memukul kepalaku.

Spontan saja aku langsung menangis dan bunda langsung menenangkanku.

“Kak, gapapa kok. Kamu dimana aja, bunda tetep bangga sama kamu. Kakak pinter kok. Rezeki orang tuh gaada yang tau kak. Gapapa banget kok kak.”

Dua hari setelah pengumuman itu, kami langsung daftar ulang disana dan bertemu dengan orang-orang lain. Bunda dan adik-adik mengurus administrasi, sedangkan aku melakukan tes untuk menentukan ipa atau ips. Aku yang saat itu belum tahu mau memilih yang mana hanya pasrah dengan hasilnya nanti.

Setelah mengurus semua berkas, aku dan bunda tidak pulang ke rumah lagi. Melainkan ke rumah nenek untuk selamanya. Dengan kata lain, ayah dan bunda akan berpisah secara bertahap. Aku menyambutnya dengan baik.

Bunda sudah meminta Mbak Jar di rumah untuk mengemasi sebagian pakaian yang nantinya akan dibantu oleh bunda dan juga aku. Setelah menitipkan adik ke rumah nenek, aku dan bunda langsung bergegas mengambil pakaian yang sudah sebagian disiapkan oleh Mbak Jar.

Mbak Jar mengemasi pakaian adik, bunda menyelesaikan barang-barang yang harus dibawa selain pakaian dan aku mengemasi barang-barang yang sekiranya diperlukan untuk ospek dan lainnya.

Kami bergerak sangat cepat karena takut ayah tahu. Setelah semua sudah beres, kami memasukkan barang-barang ke dalam mobil dan pergi menuju ke rumah nenek. Mbak Jar juga ikut ke rumah nenek untuk membantu pekerjaan rumah disana yang pastinya akan lebih banyak lagi.

Ayah yang masih belum bisa mencerna apa yang terjadi hanya menganggap kami menginap disana dan akan kembali beberapa hari kemudian. Namun tidak dengan bunda yang segera bergerak cepat mengurus surat perceraian.

Karena ayah adalah seorang pegawai negeri, maka bunda harus mengurus ke kantor ayah yang ditemani olehku. Namun, kepala bidangnya tidak langsung mengiyakan begitu saja. Menanyakan apa alasan bunda sehingga ingin menceraikan ayah.

Kemudian bunda menjelaskan bahwa sebenarnya dulu sempat akan dibatalkan pernikahan keduanya setelah kakek dan nenek tau kelakuan ayah kepada bunda setelah lamaran. Ayah tiba-tiba menjadi protektif dan memukul bunda ketika ada salah. Namun, orang tua dari ayah memohon-mohon hingga sujud di kaki kakek dan nenek agar pernikahan tetap dilaksanakan. Kakek dan nenek juga mau tidak mau tetap melakukan karena undangan sudah terlanjur tersebar.

Kakek dan nenek sudah meminta maaf dan sudah mengkonsultasikan ke psikiater berulang kali, tetapi hasilnya nihil karena ayah tidak sungguh-sungguh mengikuti dan mengatakan bahwa dirinya baik-baik saja. Padahal, menurut hasil pemeriksaan ayah yang terakhir, ayah menderita DID atau bahasa umumnya adalah kepribadian ganda. Seharusnya ayah menerima perawatan, tetapi ayah tidak pernah mau mengikuti karena gengsi.

Bunda menceritakan itu semua dengan menangis dan bunda mengatakan bahwa bunda sudah tidak tahan lagi dengan perlakuan ayah kepada bunda selama 16 tahun itu. Untungnya, kepada bidang ayah langsung mengiyakan dan kemudian proses perceraian berjalan dengan baik. Meskipun, ayah tidak pernah menghadiri sidang itu. Namun, jangan salah sangka, meskipun ayah sudah tidak bersama bunda, ayah tetap saja meneror bunda dan aku.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status