Share

Salju Pertama di Incheon
Salju Pertama di Incheon
Penulis: Sendal Jepit

Prolog

Waktu merupakan sebuah kata yang sarat akan makna. Waktu mampu dijadikan patokan untuk mengukur masa. Bagiku, waktu pulalah yang membuatku mampu bertahan dalam ikatan hati ini. Menunggu, mungkin kata ini menjadi momok bagi kalian semua. Namun bagiku, menunggu adalah sebuah kata yang memiliki banyak makna, menunggu adalah caraku mendekatkan diriku padamu wahai pemilik rasa.

Kang Ji Won, itulah aku. Nama itu diberikan oleh kedua orang tuaku agar aku mampu menjadi pribadi yang teguh dan tak mudah menyerah. Aku pernah bertanya mengapa kedua orang tuaku memberiku nama yang memiliki arti yang luar biasa? Agar aku menjadi anak yang mampu berdiri kokoh mesti tanpa mereka begitulah jawaban dari Appa ku.

Sedari kecil aku tak pernah kekurangan kasih sayang, appa selalu menyayangiku melebihi menyayangi nyawanya sendiri. Sejak kepergian Omma untuk selamanya, hanya Appa lah sandaran untukku. Tinggal bertiga dengannya serta Kang Sung Woo adikku di sebuah kota kecil bernama Incheon, setelah Seol dan Busan membuat kami nyaman, meski kota Incheon tak sesibuk kedua saudaranya namun Incheon memiliki kenangan baik untuk kami. Di kota inilah sebuah kenangan indah pernah kami toreh. Kebersamaan dengan Omma lah salah satu memori indah yang masih melekat di sanubari ku.

Namun, tak hanya Omma lah yang menjadi satu-satunya alasan aku masih bergeming dari kota kelahiranku. Seseorang yang aku tunggu menjadi salah satu alasan penting lainnya mengapa aku mampu bertahan di sini.

Menjadi kota Metropolitan dan kota pelabuhan membuat Incheon banyak dikunjungi olah para pelancong baik dari Korea ataupun daerah lain.

Incheon adalah kota penting yang berfungsi sebagai kota pelabuhan dan transportasi di Asia Timur Laut. Bandar Udara Internasional Incheon dibuka pada tahun 2001 dan telah menjadi salah satu bandar udara terbaik di dunia.

Aku sangat bersyukur lahir dan dibesarkan di kota ini, dan dari kota inilah aku bertemu dengan anak lelaki yang selama ini menjadi penghuni kalbuku.

Dahulu, ketika aku masih berumur 7 tahun tepatnya di sebuah jembatan paling indah di kota Incheon dan menjadi icon kota ini. Aku bertemu dengan seorang anak lelaki yang sedang menangis. Badannya yang kurus terlihat buruk ketika musim dingin seperti ini.

Masih ‘ku simpan di benakku, saat turun salju pertama kali di kota ini. Kami bertemu untuk pertama kalinya di Incheon Bridge, ku hampiri anak lelaki itu meski kami belum mengenal satu sama lain.

Ketika ia menoleh, aku merasa anak lelaki itu bukan berasal dari negara yang sama denganku. Hidung yang mancung, mata bulat dan kulit kecokelatan membuat ia terlihat eksotis bagiku. Aku yakin dia bukan penduduk asli Incheon.

“Hai, aku Kang Ji Won! Siapa namamu?” sapaku menggunakan bahasa Banmal, karena perbedaan umur kami tak jauh. Aku lebih senang memakai bahasa Banmal bila berbicara dengan teman sebayaku.

“Abigail ...” jawabnya singkat. Lalu ia menerima jabat tangan dariku. Aku rasa dia mampu berbahasa Korea, meski aku yakin ia bukan berasal dari Korea.

“Senang bertemu denganmu Abigail, mengapa kamu terlihat murung?” aku mencoba menghibur Abigail. Karena sejak tadi ku lihat ia terlihat tak bersemangat.

Ia menjelaskan bahwa ini adalah pertama kalinya ia datang ke Korea. Ia dan keluarganya berasal dari Indonesia, negara yang sangat jauh dari Korea. Aku belum pernah mendengar negara tersebut dan Abigail menjelaskannya padaku.

Sudah sebulan lebih ia belajar bahasa Korea sebelum ia pindah ke Negara Ginseng ini. Ia mengaku bahwa ia dan keluarganya pindah karena Ayah (panggilan untuk menyebut Appa) nya berpindah tugas. Ia sedih karena tak memiliki teman di daerah ini.

Dari ujung jembatan Incheon inilah untuk pertama kalinya kami bersua, Abigail adalah lelaki pertama yang mampu membuat hatiku tersentuh. Abigail lah yang menjadi pengobat kesedihan ketika Omma ku pergi untuk selamanya dari hidupku.

“Ippeusi neyo,” artinya kamu cantik, kata-katanya membuatku merona karena tersipu. Untuk pertama kalinya ada seorang anak yang mengatakan hal itu untukku.

Saat itu juga, untuk pertama kalinya aku memiliki teman dari daerah yang sangat jauh dan belum pernah ku ketahui. Meski umur kami tak jauh berselang, aku masih sangat menghargainya karena Abigail lebih tua beberapa tahun dariku. Dia anak yang sopan dan manis ketika ia tersenyum.

Sejak pertemuan itu, kami berdua semakin akrab satu sama lain. Kami sering menghabiskan waktu bersama sepulang sekolah. Kadang aku menjadi Tour Guide gratis untuk Abi, panggilan sapaannya. Abi juga tak mau kalah, ia mengajariku beberapa kebudayaan dan kesenian dari negara asalnya. Kami berdua melakukan hal itu secara tulus tanpa ada imbalan. Aku senang memiliki teman seperti Abi.

*

Kini sudah 20 tahun aku di sini menunggunya.

Tepat di Jembatan Incheon, tempat pertama kali kami bertemu. Bukankah ini hal bodoh yang pernah ku lakukan? Aku bahkan tak tahu apakah ia akan kembali lagi ke tempat ini untuk kedua kalinya. Namun aku percaya, Abigail akan kembali ke tempat di mana kita bertemu untuk pertama kali.

Karena aku yakin pada sebuah ramalan bila kita berjanji pada saat turunnya salju untuk pertama kali, keinginan kita akan menjadi kenyataan. Itulah sebabnya aku masih menunggu setiap turun salju untuk pertama kalinya.

“Aku akan datang kemari saat salju turun pertama kali di Incheon Ji Won, jadi tunggu aku!” itulah kalimat terakhir yang ku dengar ketika ia akan pergi lagi dan meninggalkan aku seorang diri.

Aku sadar aku tak mampu mencegah kepergian teman kecilku pulang ke negaranya, yang bisa kulakukan adalah menunggu. Menunggu ia datang kembali dan bermain bersamaku.

“Setiap salju pertama kali turun, aku akan menunggumu di tempat ini Abi,” itulah janjiku pada Abi.

**

Menunggu adalah caraku untuk dapat meluangkan waktu sejenak, mempersiapkan rangkaian kosa kata di gerbong kepala untuk ku ceritakan kepada seseorang.

Menunggu adalah jawaban doaku, di mana seseorang yang aku tunggu mampu melewati berbagai rintangan untuk bertemu.

Menunggu adalah kesepakatan yang dibuat, tentang bagaimana aku akan menepatinya.

Menunggu adalah kenangan manis, saat di mana aku akan memutar balik waktu, ketika bersama orang tersebut dan ketika itu pikiranku sepenuhnya olehnya saja.

Menunggu adalah panggung pertunjukan, sebagaimana aku bermain peran dan meyakinkan para penonton tentang setiap kata yang ku ucapkan.

Menunggu adalah pekerjaan terhebat yang aku lakukan, pekerjaan yang penuh komitmen dan kesungguhan. Pekerjaan yang menggunakan hati bukan energi.

Menunggu bukan berarti aku diam, sejatinya aku sedang bergerak melewati waktu itu sendiri.

Kemudian aku bertanya, adakah seseorang menungguku?

Seperti musim gugur yang setia menunggu kedatangan musim dingin, ia kan selalu mengharapkan sebuah rasa dingin dan rasa sepi. Begitulah hakikatnya sebuah kehidupan.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status