Share

Aku Seorang Kartunis

Pada senja yang membawamu pergi.

Kini taman-taman menjadi kenangan.

Mengulas satu per satu pertemuan.

Di sebuah padang ilalang,

Yang berhasil kujadikan puisi

Lalu, kuhadiahkan padamu.

Dan aku kembali.

Ketanah-tanah yang pernah kita pijak.

Bahkan, tanah-tanah yang mendekatkan kita.

Hingga menjadi lekat.

Sebelum akhirnya pergi jauh.

Kini tak ada temu kita yang menjadi tamu.

Kita adalah kata-kata dari cerita yang usai.

*

Sudah kulihat penunjuk waktu yang berada tak jauh dari tempat dudukku. Pukul 22.00 sudah lebih dari 6jam ku habiskan waktuku dengan memandangi layar sebuah MacBook di depanku. Layar tersebut masih terlihat kosong, sama seperti ketika aku menghidupkannya tadi.

Pikiranku cukup kacau, ide yang biasanya muncul dengan mudahnya saat ku inginkan, kini ia mendadak tak mau menemui ku. Entah sudah berapa kali ku coba menggambar di Wacom yang berada di depanku. Papan digital itu sudah bertahun-tahun menemaniku. Bersamanya telah ‘ku gantungkan sebuah harapan dan penghidupan.

Sebagai seorang kartunis, aku dituntut oleh perusahaan yang menaungi hasil karyaku. Aku pun telah berteman dengan deadline serta hal yang berkaitan dengan webtoon Apalagi saat ini aku sedang menggarap komik on going. Editor akan dengan senang hati menekankan pekerjaanku tiap hari, itu sudah menjadi hal umum. Bahkan beberapa menit yang lalu Seo Jin, editor komik ku baru saja menelepon agar aku menyelesaikan naskah untuk tayangan besok.

Ide, saat ini entah mengapa isi kepalaku benar-benar kosong. Aku bahkan belum membuat rancangan ataupun sketsa gambar  sama sekali. Pikiranku kacau setelah pulang dari Incheon Bridge. Hatiku mulai berkecamuk lagi, hal ini sering terjadi saat salju turun untuk pertama kali ke tanah Incheon. Kepulangan Abigail untuk kembali ke negaranya, membuatku larut dalam kepedihan. Hingga membutuhkan bertahun-tahun untuk memulihkan perasaan ini.

Dalam lamunanku, aku teringat sebuah kutipan nasehat dari novel romantis yang menyayat hati yang berjudul Hijrah itu Cinta. Sang penulis menyebutkan bahwa untuk menggapai jodoh ada 3 cara jitu, yakni 3M : mengikhlaskan hati, memantaskan diri dan meyakinkan diri bahwa Allah tau waktu yg tepat.

Novel karya penulis Abay Aditya itu diberikan oleh Seo Jin sebagai kenang-kenangan ketika ia mengunjungi negara khatulistiwa tersebut pada tahun 2018 lalu. Saat itu aku berharap bisa menemaninya dalam sebuah perjalanan dinas, namun pekerjaanku lah yang menggagalkan rencana ku. Mungkin suatu hari nanti aku bisa mengunjungi negeri seribu candi tersebut.

Liburan bukan menjadi alasan ku, namun ingin bersua dengan Abigail lah yang menjadi alasan mendasar dari rencanaku mengunjungi negeri tropis tersebut. Kerinduan yang mendalam menjadikan niatku kian menggebu untuk bertatap muka dengan Abigail. Namun ada hal yang selama ini menjadi momok bagiku, yaitu masih ingatkah ia dengan aku? Masih ingatkah ia dengan gadis kecil di ujung jembatan Incheon? Masih ingatkah ia dengan janji saat turun salju?

‘Ku pejamkan mata, lebih dalam aku menyelami keadaan ini. Haruskah aku mengalah pada takdir ini? Takdir yang memisahkan kami.

Segera ‘ku tepis ragu yang mulai menjalar masuk ke hatiku. Aku mulai menggambar beberapa adegan komik ku. Pekerjaan ini sungguh menjanjikan, aku mampu menambah pundi-pundi Won untuk Appa. Iya, aku harus membantu Appa dengan memberi penghidupan yang layak untuk Appa dan Kang Sung Woo adik lelakiku. Sebagai Nuna yang baik, aku tak ingin Sung Woo menjalani hidup yang menderita.

“Nuna, besok hari terakhir membayar uang ujian kenaikan tingkat!” katanya di sela-sela aku menggambar. Sung Woo-ya adalah murid berprestasi di sekolahnya. Aku sangat bangga pada adik lelakiku itu. Terlahir dari keluarga yang sederhana tak menyurutkan langkahnya untuk meraih prestasi.

Satu papan adegan sudah selesai ku gambar, kini tinggal proses finishing, yakni  memberikan sentuhan kehidupan dengan melengkapinya menggunakan warna yang cerah untuk menarik perhatian. Aku memang sedang mengerjakan komik remaja, sudah sebulan ini aku mengerjai serial komik yang berjudul My Love is a Star. Produser dan kepala editor memberiku tanggung jawab penuh sebagai komikus utama pada serial ini. Dan Seo Jin lah yang mendampingi ku mengerjakan serial ini. Sebagai editorku, wanita pekerja keras itu tak lelah setiap hari menyemangati diriku.

Sungguh sejak lama telah ku nantikan sebuah rasa, rasa yang selalu bersemayam dalam dada. Hanya pada dirinya lah hatiku bermuara, meski gelisah selalu datang melanda namun aku masih menunggunya jua.

*

Langit di Incheon pagi ini cukup Sendu, setelah kemarin turun salju kini jalanan dari rumah yang ku sewa menuju kantor ku dipenuhi oleh lapisan putih tersebut. Karena cuaca semakin dingin, aku membentengi diriku agar tak jatuh sakit dengan coat selutut dengan warna coklat agar senada dengan tas yang ada di bahuku.

Selesai aku mengirim uang untuk Sung Woo aku bergegas ke kantor sebelum Seo Jin mulai meneriaki ku dengan sumpah serapahnya bila aku terlambat. Ah Seo Jin sudah seperti ibu tiri saat dia marah. Wanita yang berumur lebih dari 30 tahun itu seperti kakak kandungku sendiri.

“Kenapa matamu Ji Won-ah?” Seo Jin menarik paksa kaca mata hitam yang kupakai untuk menutupi mata panda ku. Aku sengaja menutupi kantung mataku dengan kaca mata ala bintang haliyu. Cukup sulit memang untuk menyembunyikan rasa kantukku, karena aku tak tidur sedetik pun. Aku harus mengerjakan naskah yang akan terbit hari ini, karena ini adalah salah satu bentuk tanggungjawab ku pada pembaca komik yang aku buat.

“Kau nenek lampir, ini semua gara-gara ulahmu! Setiap jam kau selalu menelepon takut aku akan kabur. Eonnie kau sungguh kejam!” aku mencibir Seo Jin dengan kesal. Kami berdua memang seperti itu, bila dekat kami akan saling ejek satu sama lain. Namun, bila kami berjauhan kami akan sibuk memonitor satu sama lain.

Bukanya marah, atasanku itu malah mencubit kedua pipiku karena gemas. Ia sering melakukan itu padaku. Apalagi bila aku membuatnya kesal, ia tak segan akan melakukan hal yang lebih parah dari sekedar mencubit pipiku.

“Sudah kukatakan padamu Ji Won, lupakan dia! Lupakan masa lalu mu! Belum tentu ia mengingat dirimu,” Seo Jin mengambil map yang berisi kontrak kerja yang baru saja ku tandatangani semalam. Lalu wanita itu berlalu begitu saja tanpa memikirkan akibat dari kalimat yang baru saja ia ucapkan.

“Kang Ji Won ...” sapa seseorang dari arah belakang tempat kerjaku. Dari suaranya aku sudah hafal dialah kepala editorku. Kwon Yu Bin, dia adalah lelaki yang jarang terlihat mengakrabkan diri bersama dengan karyawan lain. Pak Kwon, begitulah kami sering memanggilnya. Tampang tanpa senyum sedikit pun membuatnya banyak ditakuti oleh karyawan lain termasuk aku.

Aku menoleh kemudian menatap matanya, berusaha bersikap sebaik mungkin untuk memberikan kesan pegawai teladan. Karena aku tahu watak Pak Kwon seperti apa bila ia sudah marah.

“Iya Pak Kwon, apa naskahku ada masalah?”

“Bisakah kita bicara sebentar di ruanganku Ji Won-ya?”

Pada senja yang membawamu pergi.

Kini taman-taman menjadi kenangan.

Mengulas satu per satu pertemuan.

Di sebuah padang ilalang,

Yang berhasil kujadikan puisi

Lalu, kuhadiahkan padamu.

Dan aku kembali.

Ketanah-tanah yang pernah kita pijak.

Bahkan, tanah-tanah yang mendekatkan kita.

Hingga menjadi lekat.

Sebelum akhirnya pergi jauh.

Kini tak ada temu kita yang menjadi tamu.

Kita adalah kata-kata dari cerita yang usai.

*

Sudah kulihat penunjuk waktu yang berada tak jauh dari tempat dudukku. Pukul 22.00 sudah lebih dari 6jam ku habiskan waktuku dengan memandangi layar sebuah MacBook di depanku. Layar tersebut masih terlihat kosong, sama seperti ketika aku menghidupkannya tadi.

Pikiranku cukup kacau, ide yang biasanya muncul dengan mudahnya saat ku inginkan, kini ia mendadak tak mau menemui ku. Entah sudah berapa kali ku coba menggambar di Wacom yang berada di depanku. Papan digital itu sudah bertahun-tahun menemaniku. Bersamanya telah ‘ku gantungkan sebuah harapan dan penghidupan.

Sebagai seorang kartunis, aku dituntut oleh perusahaan yang menaungi hasil karyaku. Aku pun telah berteman dengan deadline serta hal yang berkaitan dengan webtoon Apalagi saat ini aku sedang menggarap komik on going. Editor akan dengan senang hati menekankan pekerjaanku tiap hari, itu sudah menjadi hal umum. Bahkan beberapa menit yang lalu Seo Jin, editor komik ku baru saja menelepon agar aku menyelesaikan naskah untuk tayangan besok.

Ide, saat ini entah mengapa isi kepalaku benar-benar kosong. Aku bahkan belum membuat rancangan ataupun sketsa gambar  sama sekali. Pikiranku kacau setelah pulang dari Incheon Bridge. Hatiku mulai berkecamuk lagi, hal ini sering terjadi saat salju turun untuk pertama kali ke tanah Incheon. Kepulangan Abigail untuk kembali ke negaranya, membuatku larut dalam kepedihan. Hingga membutuhkan bertahun-tahun untuk memulihkan perasaan ini.

Dalam lamunanku, aku teringat sebuah kutipan nasehat dari novel romantis yang menyayat hati yang berjudul Hijrah itu Cinta. Sang penulis menyebutkan bahwa untuk menggapai jodoh ada 3 cara jitu, yakni 3M : mengikhlaskan hati, memantaskan diri dan meyakinkan diri bahwa Allah tau waktu yg tepat.

Novel karya penulis Abay Aditya itu diberikan oleh Seo Jin sebagai kenang-kenangan ketika ia mengunjungi negara khatulistiwa tersebut pada tahun 2018 lalu. Saat itu aku berharap bisa menemaninya dalam sebuah perjalanan dinas, namun pekerjaanku lah yang menggagalkan rencana ku. Mungkin suatu hari nanti aku bisa mengunjungi negeri seribu candi tersebut.

Liburan bukan menjadi alasan ku, namun ingin bersua dengan Abigail lah yang menjadi alasan mendasar dari rencanaku mengunjungi negeri tropis tersebut. Kerinduan yang mendalam menjadikan niatku kian menggebu untuk bertatap muka dengan Abigail. Namun ada hal yang selama ini menjadi momok bagiku, yaitu masih ingatkah ia dengan aku? Masih ingatkah ia dengan gadis kecil di ujung jembatan Incheon? Masih ingatkah ia dengan janji saat turun salju?

‘Ku pejamkan mata, lebih dalam aku menyelami keadaan ini. Haruskah aku mengalah pada takdir ini? Takdir yang memisahkan kami.

Segera ‘ku tepis ragu yang mulai menjalar masuk ke hatiku. Aku mulai menggambar beberapa adegan komik ku. Pekerjaan ini sungguh menjanjikan, aku mampu menambah pundi-pundi Won untuk Appa. Iya, aku harus membantu Appa dengan memberi penghidupan yang layak untuk Appa dan Kang Sung Woo adik lelakiku. Sebagai Nuna yang baik, aku tak ingin Sung Woo menjalani hidup yang menderita.

“Nuna, besok hari terakhir membayar uang ujian kenaikan tingkat!” katanya di sela-sela aku menggambar. Sung Woo-ya adalah murid berprestasi di sekolahnya. Aku sangat bangga pada adik lelakiku itu. Terlahir dari keluarga yang sederhana tak menyurutkan langkahnya untuk meraih prestasi.

Satu papan adegan sudah selesai ku gambar, kini tinggal proses finishing, yakni  memberikan sentuhan kehidupan dengan melengkapinya menggunakan warna yang cerah untuk menarik perhatian. Aku memang sedang mengerjakan komik remaja, sudah sebulan ini aku mengerjai serial komik yang berjudul My Love is a Star. Produser dan kepala editor memberiku tanggung jawab penuh sebagai komikus utama pada serial ini. Dan Seo Jin lah yang mendampingi ku mengerjakan serial ini. Sebagai editorku, wanita pekerja keras itu tak lelah setiap hari menyemangati diriku.

Sungguh sejak lama telah ku nantikan sebuah rasa, rasa yang selalu bersemayam dalam dada. Hanya pada dirinya lah hatiku bermuara, meski gelisah selalu datang melanda namun aku masih menunggunya jua.

*

Langit di Incheon pagi ini cukup Sendu, setelah kemarin turun salju kini jalanan dari rumah yang ku sewa menuju kantor ku dipenuhi oleh lapisan putih tersebut. Karena cuaca semakin dingin, aku membentengi diriku agar tak jatuh sakit dengan coat selutut dengan warna coklat agar senada dengan tas yang ada di bahuku.

Selesai aku mengirim uang untuk Sung Woo aku bergegas ke kantor sebelum Seo Jin mulai meneriaki ku dengan sumpah serapahnya bila aku terlambat. Ah Seo Jin sudah seperti ibu tiri saat dia marah. Wanita yang berumur lebih dari 30 tahun itu seperti kakak kandungku sendiri.

“Kenapa matamu Ji Won-ah?” Seo Jin menarik paksa kaca mata hitam yang kupakai untuk menutupi mata panda ku. Aku sengaja menutupi kantung mataku dengan kaca mata ala bintang haliyu. Cukup sulit memang untuk menyembunyikan rasa kantukku, karena aku tak tidur sedetik pun. Aku harus mengerjakan naskah yang akan terbit hari ini, karena ini adalah salah satu bentuk tanggungjawab ku pada pembaca komik yang aku buat.

“Kau nenek lampir, ini semua gara-gara ulahmu! Setiap jam kau selalu menelepon takut aku akan kabur. Eonnie kau sungguh kejam!” aku mencibir Seo Jin dengan kesal. Kami berdua memang seperti itu, bila dekat kami akan saling ejek satu sama lain. Namun, bila kami berjauhan kami akan sibuk memonitor satu sama lain.

Bukanya marah, atasanku itu malah mencubit kedua pipiku karena gemas. Ia sering melakukan itu padaku. Apalagi bila aku membuatnya kesal, ia tak segan akan melakukan hal yang lebih parah dari sekedar mencubit pipiku.

“Sudah kukatakan padamu Ji Won, lupakan dia! Lupakan masa lalu mu! Belum tentu ia mengingat dirimu,” Seo Jin mengambil map yang berisi kontrak kerja yang baru saja ku tandatangani semalam. Lalu wanita itu berlalu begitu saja tanpa memikirkan akibat dari kalimat yang baru saja ia ucapkan.

“Kang Ji Won ...” sapa seseorang dari arah belakang tempat kerjaku. Dari suaranya aku sudah hafal dialah kepala editorku. Kwon Yu Bin, dia adalah lelaki yang jarang terlihat mengakrabkan diri bersama dengan karyawan lain. Pak Kwon, begitulah kami sering memanggilnya. Tampang tanpa senyum sedikit pun membuatnya banyak ditakuti oleh karyawan lain termasuk aku.

Aku menoleh kemudian menatap matanya, berusaha bersikap sebaik mungkin untuk memberikan kesan pegawai teladan. Karena aku tahu watak Pak Kwon seperti apa bila ia sudah marah.

“Iya Pak Kwon, apa naskahku ada masalah?”

“Bisakah kita bicara sebentar di ruanganku Ji Won-ya?”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status