Jika ingin menantangku dalam lomba kesetiaan, aku pasti akan memasang badan untuk daftar pertama kali.
Dan bila kalian ingin menantangku dalam lomba penantian? Aku pun akan maju di barusan paling depan, karena hingga detik ini aku masih menunggunya hadir dalam kenyataan ataupun hanya dalam mimpi.
Dari kejadian malam itu, aku menanamkan sikap waspada pada diriku. Karena penguntit itulah aku lebih berhati-hati lagi. Aku takut karena penguntit itu telah menjadikan diriku sebagai sasarannya. Entah apa motifnya, yang jelas orang itu telah mengawasi aku saat ini.
Sudah dua hari berlalu, seperti biasa pagi ini aku sedang menunggu bis yang akan membawaku ke tempat kerja. Halte bis yang biasanya dipenuhi oleh calon penumpang, kini terlihat lenggang. Padahal ini adalah hari Senin, seharusnya banyak pekerja yang berdesak-desakan untuk menunggu bis.
Kulihat penghitung waktu yang melingkar di tanganku. Ku pikir sudah telat, namun jarum pendek pada arlojiku masih menunjukkan pukul tujuh pagi. Ini masih pagi, namun tumben sekali tak banyak calon penumpang bis yang datang. Tak berselang lama, bis yang aku tunggu akhirnya datang. Aku mengambil tempat duduk yang berada di samping jendela. Lagi-lagi penumpang yang berada di dalam bis tak banyak. Karena perasaan parno lah yang membuatku untuk pertama kalinya mengamati wajah-wajah penumpang lainnya. Tak satu pun dari mereka yang menunjukkan raut mencurigakan, hal tersebut membuat aku lega dan mampu menikmati perjalanan ke kantor dengan aman dan nyaman.
*
“Ji Won-ah ...” ku lihat sosok Seo Jin berjalan mendekatiku setelah ia menyebut namaku. Wanita itu terlihat santai tanpa beban. Dan aku tak ingin membuatnya khawatir dengan menceritakan kejadian malam itu padanya. Apalagi menceritakan bagaimana Pak Kwon datang ke rumahku.
“Kau terlihat lebih segar Eonnie, apa kau baru saja suntik botox?” Aku menggodanya guna menyingkirkan perasaan khawatir yang masih menyelimuti diriku.
“Yang benar saja, aku belum melakukan dalam bulan ini! Kau pun akan melakukan hal yang sama saat umurmu di atas 30 tahun,” Seo Jin tak marah pada gurauanku. Kami memang sering seperti ini. Lalu aku dan Seo Jin berjalan bersama masuk ke dalam kantor kami yakni Never Webtoon.
Kami berdua berjalan mendekati lift yang akan membawaku dan Seo Jin ke lantai 5. Karena asyik mengobral hingga tak sadar Kwon Yu Bin berada dalam di lift yang akan kami naiki. Aku masih memendam perasaan kesal padanya, maka ku putuskan untuk memilih tangga darurat yang akan ku gunakan untuk mencapai tempat kerjaku. “Ji Won-ah ... !” panggil Seo Jin, aku tahu Pak Kwon juga menahan pintu lift agar tidak tertutup. Dia menunggu kami berdua untuk masuk. Namun aku lebih memilih menghindarinya.
“Apa kau sakit jiwa Ji-Won?” protes Seo Jin di belakangku saat aku mulai menaiki tangga pertama.
“Eonnie bisa menggunakan lift bila keberatan, aku ingin berolahraga!” jawabku seenaknya sambil menaiki beberapa anak tangga menuju lantai lima. Kegiatan ini ku lakukan karena aku masih enggan melihat wajah kepala editorku. Masih terlintas di kepalaku ia mengatakan hal yang menyakitkan padaku.
Pada akhirnya aku dan Seo Jin berhasil menembus lantai 5 dengan tangga darurat. Kulihat Seo Jin mulai mengatur napasnya kembali setelah kelelahan mengikuti aku menaiki anak tangga. Ia menggerutu tak jelas dan aku hanya tersenyum menggodanya.
Aku merasa bersalah padanya, karena aku lah yang membuat wanita yang selalu baik padaku ini menderita seperti ini.
Sudah ku putuskan, aku akan menghindari kontak apa pun dengan Yu Bin. Aku masih kesal terhadap kepala editor ku tersebut. Bahkan kalau bisa memilih, aku tak ingin melihat wajah menyebalkan itu sampai kapan pun. Namun aku tak memiliki kuasa untuk melakukan hal seperti itu. Aku hanya karyawan biasa yang tak boleh seenaknya dalam bekerja.
Karena dia adalah atasanku, mau tak mau aku harus pura-pura bersikap baik seperti dirinya. Nyatanya memang seperti itu adanya. Aku harus menahan rasa kesal ku pada rapat seperti saat ini. Rapat kali ini kami akan membahas progres untuk bulan depan. Aku dan karyawan lain mendengar perintahnya dengan saksama. Namun jangan ditanya, aku tak akan menunjukkan wajah baikku padanya.
“Kau baik-baik saja Ji-won? Apa kau sakit?” tanya Seo Jin setengah berbisik agar tak mengganggu jalannya rapat. Dia pasti mengamati wajahku yang sedari tadi datar dan tak bersemangat.
Sebagai jawabanku, aku hanya menggeleng pada Seo Jin. Wanita itu pasti sudah paham atas jawabanku. Aku benar-benar kesal pada Yu Bin. Meski ia berbaik hati ingin meminta maaf padaku, aku tak akan mengubah keputusanku.
Rapat kini berakhir, kurang lebih satu jam kami harus berjibaku dengan deretan list yang harus kami kerjakan demi tujuan di bulan depan. Dan selama itu pula aku harus menahan egoku untuk bertemu dengan Pak Kwon. Setelah notulen menutup rapat tersebut hatiku cukup plong. Segera aku bergegas meninggalkan ruangan tersebut. Aku yakin Kwon Yu Bin menyadari perubahan pada sikapku. Tapi aku memilih tak peduli.
Aku berjalan mendekati meja kerjaku. Begitu mendekati meja yang selama ini bersamaku, aku terperangah melihat segelas kopi bermerek di atas mejaku. Mungkin Seo Jin lah yang memberiku kejutan. Seo Jin sering memberiku hadiah bila komik ku berhasil masuk rangking. Kalau bukan Seo Jin siapa lagi orang yang mengetahui bahwa Latte adalah kopi favorit ku.
“Gomawo Eonnie ...” ucapku pada Seo Jin ketika ia mendudukkan tubuhnya di sebelah tempat kerjaku.
“Untuk apa Ji Won-ah?” spontan ia tercengang dengan ucapan terima kasih dariku.
Lalu aku mengangkat gelas kopi yang sudah ku minum dan menggoyang gelas tersebut pelan ke arah Seo Jin. Namun apa yang kulihat? Wajah Seo Jin seolah bertanya apa yang sedang terjadi. Aku makin bingung dengan sikap Seo Jin. Kenapa dia malah tak tahu dengan kopi ini.
Segera saja ku hempaskan gelas kopi tersebut ke dalam tepat sampah yang tersedia di pojok ruangan yang berada tak jauh dari tempat dudukku. Aku takut ini perbuatan si penguntit itu. Dan yang paling aku takutkan adalah penguntit itu memasukkan sesuatu ke dalam minuman itu. Jangan-jangan ia berniat membunuhku?
Tak berselang lama, ponselku berdering. Kulihat nomor Bu Park Na Ra yang tertera di layar alat komunikasi milikku tersebut. Tak ingin membuatnya menunggu terlalu lama, segara saja ku geser tombol berwarna hijau yang tersedia di layar ponselku. Ku atur napas ku yang masih memburu karena kopi itu. Aku tak ingin mengecewakan Bu Park dari GM Entertainment.
See you ....
Hal yang paling sulit untuk ku lalui adalah bekerja sama dengan kenyataan” – BSS*Bu Park menghubungi aku karena ada suatu hal yang ingin beliau sampaikan. Orang yang memegang peranan penting di GM Entertainment tersebut memintaku untuk hadir dalam survei lokasi (Recce) yang akan digunakan untuk proses shooting film yang diangkat dari komik yang ku buat.Recce (dibaca reki) adalah suatu proses mengunjungi lokasi (Survey Lokasi). Setelah produser pelaksana / produser / manajer lokasi menemukan lokasi yang sesuai dengan kebutuhan cerita, dan telah disetujui oleh sutradara, maka para kru lain yang memiliki kepentingan atau tanggung jawab saat pengambilan gambar akan datang mengunjungi lokasi tersebut.Recce berguna untuk menentukan hal teknis di lapangan. Dari sisi kreatif tentu apa yang ditulis di naskah tidak sepenuhnya sesuai dengan kondisi di lapangan. Oleh karena itu tim kreatif perlu
Suwon merupakan kota kecil di Korea Selatan,Kota yang menjadi pusat dari perusahaan handphone merek Samsung ini berada 30 km di selatan Kota Seoul, ibu kota Korea Selatan. Terkenal akan keberadaan bentengnya, Suwon Hwaseong Fortress, dan istananya, Hwaseong Haenggung Palace.Di tempat yang menjadi lokasi Recce adalah Istana Hwaseong Haenggung. Istana yang ku tuju bersama Kwon Yu Bin pernah digunakan dalam drama yang ditayangkan tahun 2003 yakni “Dae Jang Geum”, banyak adegan dalam serial tersebut yang shootingnya dilakukan di Hwaseong Haenggung Palace di Kota Suwon.Meski ini bukan kali Pertamanya mengunjungi Istana tersebut, tak menyurutkan langkah Ji Won untuk mengagumi keindahan tempat bersejarah tersebut.“Kalau perlu bantuan katakan saja Ji Won!” ucap Pak Kwon sebelum kami berdua keluar dari mobilnya dan menuju tempat yang sudah di bagikan oleh Bu Park. Ku lihat tatapan manik lelaki itu mampu mened
Sebelum aku meninggalkan restoran Galbi yang baru saja memanjakan perutku, aku ingin sedikit merapikan penampilan diriku yang kurasa sedikit berantakan. Sebagai seorang wanita memoles ulang riasan di wajah menjadi hal umum dilakukan. Tak jarang beberapa alat make up menjadi penghuni tetap di dalam tas yang selalu ku bawa.Beberapa saat setelah aku menambah polesan di bibir ini dengan lip balm favoritku, ku telusuri jalan yang menghubungkan kamar mandi hingga ke tempat makan yang kami pesan tadi. Namun aku menyadari ada sepasang mata sedang mengawasi ke arahku. Ku coba menatapnya balik, namun orang yang ku yakini pria itu berbalik arah dan berlari untuk melarikan diri. Aku sangat yakin orang tersebut adalah orang yang sama yakni penguntit yang selama ini membuntuti dirinya.Dengan sekuat tenaga aku berlari menyusul pria yang mengenakan pakaian tebal serta topi yang menutupi kepalanya. Sayang sekali ini malam hari, aku sedikit kesulitan meliha
Ku telusuri jalanan menuju salah satu ruangan serba putih yang masih berada di dalam kawasan salah satu rumah sakit besar di kota Jakarta. Aku tak sendiri, aku ditemani oleh seorang dokter sekaligus teman yang selama ini menemaniku. Dengan bantuan kursi roda yang ia dorong meski aku dengan keras menolaknya.Diana, wanita berjilbab yang tampak anggun tersebut sudah ku kenal saat kami berdua bertemu di salah satu Masjid di kawasan Menteng Jakarta Pusat selepas Shalat tarawih dua tahun lalu.Kala itu aku melihat seorang wanita yang kesulitan dalam mencari sandalnya. Berawal dari membantunya untuk menemukan sandalnya akhirnya kami berkenalan dan saling menyimpan nomor masing-masing.Banyak yang mengatakan bahwa aku dan Diana sangat cocok bila menjalin suatu hubungan yang serius, bahkan kedua orang tuaku juga tak keberatan bila aku memilih Diana menjadi pendampingku.“Umurmu sudah di atas kepala tiga Bi, gadis ma
“Jangan sahur sesudah waktunya, jangan berbuka sebelum waktunya”*Aku segera memasuki kamar yang sudah kami pesan tadi di bagian resepsionis. Kamar didesign menyerupai bangunan bersejarah. Hotel yang ku nilai seperti homestay ini memang berarsitektur tradisional. Ku berjalan menuju kamar mandi yang berada di samping tempat tidur yang terbuat dari kayu serta diukir dengan motif bunga.Aku segera membersihkan badanku setelah seharian berjibaku dengan berbagai aktivitas di dalam dan luar ruangan. Berendam dengan air hangat mampu melepaskan penatku dan juga sebagai sarana mengisi ulang energi ku. Air hangat serta wangi dari aromaterapi mampu menenangkan jiwaku.Kurang lebih 30 menit sudah ku habiskan waktu untuk memanjakan diriku dengan aktivitas di dalam kamar mandi tadi. Ah masalah muncul karena aku tak membawa baju ganti. Karena pekerjaan dadakan ini aku tak mempersiapkan pakaian lain. Ya
Kedua pasang manik ini saling beradu pandang. Kami berdua tak ubahnya bagai orang asing yang berada dalam satu ruangan. Begitu aku selesai membalut luka Kwon Yu Bin, tak ada satu kata pun terucap dari masing-masing kami. Kami berdua terlalu malu untuk memulai pembicaraan. Jelas aku tahu, ini memang seperti apa yang selama ini ku tahu. Yu Bin orang yang tak banyak bicara.Akhirnya aku memilih untuk menjalankan kakiku ke luar dari kamarnya. Aku juga merasa tak nyaman bila harus berlama-lama dengan pria dewasa itu. Karena aku wanita, jadi aku harus menjaga harga diriku sendiri di depannya.“Ji Won ah ... ?” aku menoleh, ketika pria itu membuka bibirnya dengan menyebut namaku. Lalu ia bangkit dan mengikuti aku dari belakang, jantungku berdetak lebih kencang dari biasanya. Apa yang akan ia katakan padaku? Apakah ada suatu hal penting yang ingin ia katakan padaku?“Iya Pak Kwon ...” jantun
Hampir tiga puluh menit lamanya aku berada dalam sebuah ruangan yang dikhususkan untuk proses Radioterapi. Terapi radiasi ini merupakan terapi pertama yang ku jalani setelah aku memutuskan untuk menerima pengobatan pada penyakitku. Aku tak merasakan rasa sakit pada terapi yang harus kujalani selama dua kali dalam seminggu ini nantinya. Terapi penyinaran pada bagian luar tubuhku ini memang ditujukan untuk membasmi dan menghambat pertumbuhan sel-sel kanker di dalam otakku.Selama itu pula dokter menyarankan agar aku rileks dan tak memikirkan apa pun. Yang ku tanamkan pada benakku adalah aku ingin sembuh. Aku ingin bertahan di dunia ini, karena aku ingin menjadi lelaki yang berbahagia karena ada seorang gadis yang selalu menungguku.Setelah semua tahapan Radioterapi ku lakukan dengan dibantu Dokter Bayu, Dokter Bayu menjelaskan padaku tentang efek samping yang akan ku alami setelah proses terapi ini.Kulit gatal dan kering, rambut rontok
Malam semakin dekat menyapa tanpa kami sadari berdua, kegiatan yang awalnya hanya mentraktir kopi kini tak ubahnya bagai obrolan dengan teman lama yang baru saja bertemu. Aku baru menyadari bahwa Kwon Yu Bin ternyata pria yang hangat tak seperti yang orang katakan. Nyatanya laki-laki yang kini menemaniku mengobrol adalah lelaki yang memiliki perasaan tulus. Ia bahkan bersedia mendengarkan ceritaku yang tak jelas.Keramahan dan kenyamanan mengobrol dengan kepala editorku tak membuatku hanyut dalam buaian canda. Aku masih memiliki norma dan batasan, oleh karena itu aku segera pamit untuk undur diri ke kamarku. Ku lihat jam sudah menunjukkan waktu untuk segera memejamkan mata. Tak baik bagi wanita bila terus berlama-lama dengan lawan jenis.Yu Bin menanggapi permintaanku untuk segera istirahat karena besok pagi kita harus segera pulang ke Incheon. Tampak sangat terlihat, tubuh lelaki yang ku kenal kalem itu terlalu lelah. Apalagi