"Suka masakan Indonesia?" Tanya Raja saat mereka bingung menentukan tujuan makan siang kali ini."Uhm, aku belum pernah mencoba," Zivanna mengetukkan jarinya di dagu."Bagaimana bisa? Orang tuamu kan asli Indonesia?" Ujar Raja setengah tak percaya."Well, mereka terlalu sibuk. Tidak sempat memasak untukku. Jadi yah, aku memasak sendiri. Aku pilih menu-menu simpel, seperti sereal," Zivanna terbahak menertawakan diri sendiri. Terlihat deretan gifinya yang mungil dan rapi.Lagi-lagi Raja terpana."Okay, kalau begitu, aku ajak ke restoran Indonesia dekat sini," tanpa menunggu persetujuan Zivanna, Raja langsung menggandeng tangan gadis itu. Berjalan kaki, mereka menuju restoran yang Raja maksud. Zivanna melongo memasuki restoran. Matanya tak henti memandang interior dan hiasan tradisional khas budaya Indonesia yang indah dan artistik. Dia sampai tak memperhatikan langkah kakinya hingga terantuk kaki meja. "Aduh!" Pekiknya tertahan. Sambil meringis, dia menarik kursi, lalu duduk dan menguru
Memanfaatkan situasi yang ada, Raja memaksa Zivanna untuk mengajaknya ke kediaman gadis itu. Raja tahu, Zivanna tak mungkin menolak karena ada keluarga Raja di sini. Raja tidak menganggap itu sebagai sifat yang sedikit keterlaluan, karena Zivanna sudah menerima pinangannya. Sekarang hanya tinggal selangkah lagi, yaitu meminta restu pada kedua orang tua Zivanna, sebelum dia pulang ke Indonesia. Seperti perkiraan Raja, Zivanna tak kuasa menolak keinginannya. Dengan berat hati, meskipun senyuman tetap terpampang di wajah cantiknya, dia membawa Raja dan keluarganya ke salah satu kawasan perumahan menengah atas di sekitar kawasan Egham Hill, tak jauh dari kampus. Zivanna mempersilakan semuanya masuk ke halaman sebuah rumah yang lumayan besar berlantai dua. Pagarnya terbuat dari tanaman yang dibentuk rapi menyerupai dinding setinggi pinggang manusia dewasa. Raja terkesima dengan desain interior rumah Zivanna yang anggun dan elegan. Rumah bercat putih dengan jendela-jendela besar itu secan
Raja menghembuskan napasnya kasar. Kepalanya mendadak pening. Mustahil baginya untuk tetap tinggal di Inggris, sementara tanggung jawab besar menantinya di Indonesia. Abram, ayah Raja yang sedari tadi terdiam, turut angkat bicara, "Saya punya dua anak laki-laki. Keduanya saya persiapkan sebaik mungkin untuk meneruskan usaha saya. Bukan tanpa alasan saya menguliahkan Raja di sini. Dia sangat berbakat mengelola perusahaan dan organisasi. Setelah lulus, adalah tanggung jawab Raja untuk pulang ke Indonesia, membantu saya." "Well, saya tidak mau tahu. Yang jelas, Zivanna harus tetap tinggal di sini, bersama saya," timpal Rosanna tegas. Kini semua mata tertuju pada Zivanna yang menunduk, bahunya terlihat bergetar. Gadis itu sedang menahan tangis. Raja langsung memeluk tunangannya itu tanpa sungkan. "It's okay. Aku sudah berjanji untuk selalu melindungi kamu, kan? Jadi jangan takut, aku nggak akan kemana-mana," hibur Raja. Hana dan Dewa menarik napas panjang bersamaan. "Mungkin kami harus
"What happen to you, Zi?" Raja meraba wajah Zivanna lembut. Luka itu tampak masih baru. "Siapa yang melakukan ini padamu?" Zivanna hanya menunduk tak menjawab. "Jawab aku, Zi!" desak Raja. Akan tetapi, gadis itu tetap bergeming. Raja mengusap sudut bibir Zivanna demi menghapus sisa darah yang masih basah. "Boleh aku masuk?" tanyanya lembut. Zivanna pun menarik lengan Raja, melewati ruang tamu, menapaki anak tangga hingga ke lantai dua. Raja pasrah tanpa berkata sepatah kata pun. Zivanna membuka salah satu dari tiga pintu yang ada di lantai itu. "Ini kamarku," tunjuknya. Raja melangkahkan kakinya pelan. Pandangannya menyapu ruangan. Kamar itu terkesan girly. Gordin dan bed cover seluruhnya berwarna pink muda. Bingkai jendela dan ranjang berukuran sedangnya berwarna putih. "Is this your room?" Zivanna mengangguk, lalu duduk di tepi ranjang. "Sit down here, Raja," gadis itu menepuk permukaan ranjang tepat di sisinya. Raja menuruti permintaan gadis itu. "Sebenarnya ada apa, Zi? Who
Di sudut taman, di sebuah bangku panjang melingkar yang terbuat dari kayu, Brandon, Daisy dan Liam duduk dengan tegang, menunggu kedatangan seseorang. Daisy berkali-kali tampak mengibaskan telapak tangannya yang berkeringat, demi mengurangi rasa gugup. Brandon yang mengamati gadis itu sedari tadi, sigap merengkuh telapak tangan itu dan menggenggamnya erat. "It's okay," hiburnya. Daisy menoleh pada Brandon, lalu tertawa lucu. "Tanganku seperti tangan zombie. Pucat dan basah," guraunya seraya meringis. Brandon pun tertawa. Sepertinya meringis sudah menjadi ciri khas Daisy. "He's here," ucapan Liam menghentikan tawa Brandon. Dari kejauhan, terlihat seorang laki-laki yang mereka kenali sebagai Hendra. Pria itu memakai pakaian kasual dan berkacamata hitam. Dia berjalan mendekati mereka. Daisy berubah menjadi sangat tegang. Apalagi ketika ada laki-laki lain yang berjalan dari arah yang berbeda, menghampiri Hendra lalu berjalan beriringan. Daisy mengingat laki-laki asing itu. Laki-laki yan
"Kamu lahir dari kesalahan, Nak," Hendra mencoba mendekati Daisy. Melihat Daisy diam tanpa penolakan, dia lalu mengusap pipi gadis itu pelan. "Kamu dulu sering dititipkan oleh ibumu pada Maria, adik kandungnya, yang saat itu masih belum menjadi istriku. Maria kuliah semester akhir. Dia juga tidak begitu menyukaimu, sama seperti ibumu yang membencimu," lanjut Hendra dengan intonasi pelan dan hati-hati. "Ibu? Membenciku?" ulang Daisy tak percaya. "Zi. Mungkin ada baiknya kamu tidak perlu mengingat masa lalumu," Raja mulai bersikap ragu-ragu. "I want to know," desaknya. "And you, uncle Hendra. Kakak perempuan Brandon mengatakan kalau aku menyewa pengacara untuk menuntutmu atas kematian ibuku. Di berita acara disebutkan bahwa andalah yang menyebabkan ibuku meninggal." "Anggap saja begitu," timpal Hendra lembut. "Aku akan bertanggung jawab untuk semuanya," tegasnya. Terdengar hembusan napas kuat dari Raja. Dia terlihat sangat kalut, lalu menyugar rambutnya. "Maafkan Raja, Om. Seandainy
"Nak Raja, apa-apaan?" wajah Maria mendadak pucat pasi. "Saya punya buktinya, Sir!" Raja terus merangsek ke arah kedua polisi yang mencekal lengan Hendra, tanpa mempedulikan teriakan Maria. "Jangan bercanda dengan kami, young man! Kalau memang anda yakin anda bersalah, anda juga harus ikut kami ke markas sekarang juga," ujar salah satu polisi dengan nada tinggi. "Saya bersedia," sahut Raja tegas seraya menatap sendu ke arah Daisy. Gadis itu membeku. Tatapan Raja seakan menusuk jantungnya. Rasa sakit, pedih dan cemas bercampur menjadi satu, membuat dada gadis itu terasa sesak. Kepalanya mulai berdenyut. Bayangan-bayangan kelam masa lalu mulai datang menembus pikiran. Kepingan-kepingan teka-teki bermunculan dan menyatu, membentuk sebuah gambaran mengerikan tentang dirinya. Daisy limbung. Tulang kakinya seakan tak mampu menyangga tubuh. Dia kesulitan bernapas. Satu-satunya cara untuk meraup oksigen dari udara, hanyalah dengan membuka mulutnya lebar-lebar. Matanya berair, jemarinya e
Dengan tergesa, Liam memasuki penthouse Brandon. Bertahun-tahun Liam mengenalnya, di saat kalut seperti ini, biasanya Brandon sedikit kehilangan akal sehatnya. Benar saja, Liam melihat penampakan tiga botol Brandy, dua di antaranya sudah tandas, sementara satu botol hanya tersisa separuh. Brandon sudah hendak menenggaknya lagi saat tangan Liam menarik botol itu dari tangannya. "Stop it, Mate! Jangan diteruskan,"sergah Liam. "Have you found her?" (Sudahkah kau menemukannya?) "Not yet," jawab Liam setengah putus asa. "Sudah tiga hari, Liam," desah Brandon lemah. Dia mengusap mukanya kasar. Rambutnya acak-acakan. Wajahnya memerah akibat alkohol. Sejak Zivanna menghilang pagi itu, Brandon terlihat gusar. Kemanapun ia mencari, Zivanna tidak dapat ia temukan. Bahkan rumah Hendra pun sudah ia datangi. Akan tetapi, Maria mengaku tak tahu menahu. "Apa mungkin Zivanna menemui Raja?" terka Liam. Brandon tersenyum sinis mendengar pemikiran sahabatnya itu. "Jika Zivanna muncul di ruang tahan