"Kamu lahir dari kesalahan, Nak," Hendra mencoba mendekati Daisy. Melihat Daisy diam tanpa penolakan, dia lalu mengusap pipi gadis itu pelan. "Kamu dulu sering dititipkan oleh ibumu pada Maria, adik kandungnya, yang saat itu masih belum menjadi istriku. Maria kuliah semester akhir. Dia juga tidak begitu menyukaimu, sama seperti ibumu yang membencimu," lanjut Hendra dengan intonasi pelan dan hati-hati. "Ibu? Membenciku?" ulang Daisy tak percaya. "Zi. Mungkin ada baiknya kamu tidak perlu mengingat masa lalumu," Raja mulai bersikap ragu-ragu. "I want to know," desaknya. "And you, uncle Hendra. Kakak perempuan Brandon mengatakan kalau aku menyewa pengacara untuk menuntutmu atas kematian ibuku. Di berita acara disebutkan bahwa andalah yang menyebabkan ibuku meninggal." "Anggap saja begitu," timpal Hendra lembut. "Aku akan bertanggung jawab untuk semuanya," tegasnya. Terdengar hembusan napas kuat dari Raja. Dia terlihat sangat kalut, lalu menyugar rambutnya. "Maafkan Raja, Om. Seandainy
"Nak Raja, apa-apaan?" wajah Maria mendadak pucat pasi. "Saya punya buktinya, Sir!" Raja terus merangsek ke arah kedua polisi yang mencekal lengan Hendra, tanpa mempedulikan teriakan Maria. "Jangan bercanda dengan kami, young man! Kalau memang anda yakin anda bersalah, anda juga harus ikut kami ke markas sekarang juga," ujar salah satu polisi dengan nada tinggi. "Saya bersedia," sahut Raja tegas seraya menatap sendu ke arah Daisy. Gadis itu membeku. Tatapan Raja seakan menusuk jantungnya. Rasa sakit, pedih dan cemas bercampur menjadi satu, membuat dada gadis itu terasa sesak. Kepalanya mulai berdenyut. Bayangan-bayangan kelam masa lalu mulai datang menembus pikiran. Kepingan-kepingan teka-teki bermunculan dan menyatu, membentuk sebuah gambaran mengerikan tentang dirinya. Daisy limbung. Tulang kakinya seakan tak mampu menyangga tubuh. Dia kesulitan bernapas. Satu-satunya cara untuk meraup oksigen dari udara, hanyalah dengan membuka mulutnya lebar-lebar. Matanya berair, jemarinya e
Dengan tergesa, Liam memasuki penthouse Brandon. Bertahun-tahun Liam mengenalnya, di saat kalut seperti ini, biasanya Brandon sedikit kehilangan akal sehatnya. Benar saja, Liam melihat penampakan tiga botol Brandy, dua di antaranya sudah tandas, sementara satu botol hanya tersisa separuh. Brandon sudah hendak menenggaknya lagi saat tangan Liam menarik botol itu dari tangannya. "Stop it, Mate! Jangan diteruskan,"sergah Liam. "Have you found her?" (Sudahkah kau menemukannya?) "Not yet," jawab Liam setengah putus asa. "Sudah tiga hari, Liam," desah Brandon lemah. Dia mengusap mukanya kasar. Rambutnya acak-acakan. Wajahnya memerah akibat alkohol. Sejak Zivanna menghilang pagi itu, Brandon terlihat gusar. Kemanapun ia mencari, Zivanna tidak dapat ia temukan. Bahkan rumah Hendra pun sudah ia datangi. Akan tetapi, Maria mengaku tak tahu menahu. "Apa mungkin Zivanna menemui Raja?" terka Liam. Brandon tersenyum sinis mendengar pemikiran sahabatnya itu. "Jika Zivanna muncul di ruang tahan
Zivanna berkali-kali mengucapkan terima kasih pada Edward. Tujuh jam perjalanan yang menyenangkan, hingga tak terasa dia sudah tiba di Edinburgh. "Simpan nomorku, ya! Jangan dihapus! Kau bisa menghubungiku kapanpun kau mau," ujar Edward ramah. "I will, Sir! Terima kasih banyak," sahut Zivanna ceria sembari melambaikan tangannya yang menggenggam ponsel. Satu-satunya barang berharga yang dia bawa hanyalah ponselnya. Pria itu balas melambaikan tangannya sebelum melajukan mobilnya pergi meninggalkan Zivanna yang berdiri di tepi jalan. Untuk pertama kali dalam hidupnya, Zivanna benar-benar sendirian. Selama ini, seberat apapun dia menjalani hari-harinya, masih ada satu dua orang yang begitu peduli padanya. Di antaranya adalah Hendra dan juga Raja, meskipun laki-laki itu baru beberapa tahun ini memasuki kehidupannya. Dia mulai melangkahkan kakinya menyusuri jalanan kota. Suhu musim panas di Skotlandia hampir sama dengan musim hujan di dataran tinggi Indonesia. Suhu paling tinggi yang ter
Ragu-ragu, Zivanna turun dari kendaraan Ashley. Sementara, Ashley sudah berdiri di teras depan sebuah rumah khas pedesaan Skotlandia. Dindingnya tersusun dari batu sungai, sedangkan pintu dan jendelanya terbuat dari kayu Oak yang dicat putih. Bunga-bunga hias tampak tumbuh merambat di pot bunga memanjang yang terletak tepat di bawah jendela. "Kemarilah, Zi.. Don't be afraid. Uncle Theo adalah orang yang paling baik dan paling ramah," ajak Ashley lembut. Dengan langkah pelan, Zivanna mendekati Ashley dan berdiri di belakangnya. Ashley mulai mengetuk pintu itu. Beberapa detik kemudian, terdengar seseorang berjalan dan membuka pintunya lebar-lebar. Seorang wanita berambut ikal kecoklatan menyambut Ashley dengan hangat, "Hey, beautiful.. Apa kau hendak memesan kue tart lagi?" "No, Aunt Olive.. Aku kesini hanya untuk mengantarnya," Ashley mengarahkan tangannya pada Zivanna, membuat Zivanna salah tingkah. "H-hai," sapanya sedikit gugup. "Hai, do I know you?" wanita itu menautkan alisnya.
"Sekarang kami mendapat karmanya.. Akibat Theodore membuangmu, sampai sekarang kami tidak bisa memiliki anak," tutur wanita itu dengan raut murung. Sedangkan Ashley yang sedari tadi menyandarkan dirinya ke tembok, hanya mendengarkan dengan seksama."Aku.. ehm.. aku.." ucap Zivanna ragu. "Bolehkah aku tinggal disini?" Tanyanya.Olive belum sempat menjawab ketika pintu depan terbuka. Menampakkan sosok pria paruh baya yang tinggi, tegap dan terlihat begitu tampan dan berkharisma."Oh, kita kedatangan tamu, Ol?" Pria itu berkata dengan suara baritonnya yang terdengar begitu maskulin.Zivanna pun memberanikan diri menoleh dan tersenyum.Pria itu membeku melihat wajah Zivanna. Dia terlihat shock, apalagi saat gadis itu berkali-kali memamerkan senyumnya."She's your daughter," ujar Olive memecah keheningan.Pria itu menjatuhkan kotak perkakas yang sedari tadi dibawanya lalu berjalan menghampiri Zivanna. "You.. You're still alive?" Tanyanya tak percaya. Dipegangnya pipi halus gadis itu. Diusa
"Tell me everything about you," pinta Theo. "Aku sudah kehilangan momen tumbuh kembangmu sejak... berapa tahun lamanya?" "I'm twenty one now, Papa.." ucap Zivanna sambil tersenyum simpul. "Aku kehilangan waktu bersamamu selama dua puluh satu tahun lamanya," sesal Theo. "Apa ibumu memperlakukanmu dengan baik?" Zivanna menggeleng pelan. Rautnya terlihat sayu. "Mama membenciku. Dia menyalahkanku atas semua yang terjadi dalam hidupnya," kekehnya pelan. Theo meletakkan sendok makannya. Tiba-tiba saja makanan yang tersaji di atas meja makan tak lagi menggugah seleranya. Sementara, Olivia Jenson, istrinya, selalu tahu apa yang harus dilakukan. Dia mengusap lembut punggung tangan Theo dan menenangkannya. "Jangan salahkan dirimu, Theo. Selain percuma, semua juga sudah berlalu. Fokuslah pada putrimu," hibur Olive. "Apa dia menyakitimu secara fisik?" cecar Theo. "Fisik dan verbal," desah Zivanna pilu. Theo yang duduk di samping Zivanna segera merengkuh tangan gadis itu dan menggenggamnya
"Who is he?" Tanya Theo, Olive dan Ashley serempak. "A guy. Kind and handsome," jawab Zivanna seraya tersipu. "And?" "What's his name?" "He is not a bad boy, isn't he?" Ashley, Olive dan Theo berturut-turut mengajukan pertanyaan secara bersamaan. Zivanna kebingungan dibuatnya. "Slow down, everybody," Zivanna terkikik geli sambil memposisikan kedua tangannya di depan dada dengan telapak mengarah kepada mereka bertiga. "His name is Brandon Gallagher. He is 27 years old and live in London," terang Zivanna. "Brandon Gallagher? Aku seperti pernah mendengar namanya," gumam Ashley sembari mengusap dagunya. "Dari namanya sudah terlihat kalau dia pria yang sangat tampan. Bagaimana menurutmu, Theo?" "Ingatlah, usiamu sudah tidak muda lagi, Olive," tegur Theo, membuat Olive terbahak mendengarnya. "Sudah tua masih juga cemburuan. Apa kau tidak ingat bagaimana masa mudamu dulu? Berkali-kali kau mematahkan hatiku," sungut Olive. "Ketemu!" Pekik Ashley dengan mata membulat tertuju pada