Zivanna berkali-kali mengucapkan terima kasih pada Edward. Tujuh jam perjalanan yang menyenangkan, hingga tak terasa dia sudah tiba di Edinburgh. "Simpan nomorku, ya! Jangan dihapus! Kau bisa menghubungiku kapanpun kau mau," ujar Edward ramah. "I will, Sir! Terima kasih banyak," sahut Zivanna ceria sembari melambaikan tangannya yang menggenggam ponsel. Satu-satunya barang berharga yang dia bawa hanyalah ponselnya. Pria itu balas melambaikan tangannya sebelum melajukan mobilnya pergi meninggalkan Zivanna yang berdiri di tepi jalan. Untuk pertama kali dalam hidupnya, Zivanna benar-benar sendirian. Selama ini, seberat apapun dia menjalani hari-harinya, masih ada satu dua orang yang begitu peduli padanya. Di antaranya adalah Hendra dan juga Raja, meskipun laki-laki itu baru beberapa tahun ini memasuki kehidupannya. Dia mulai melangkahkan kakinya menyusuri jalanan kota. Suhu musim panas di Skotlandia hampir sama dengan musim hujan di dataran tinggi Indonesia. Suhu paling tinggi yang ter
Ragu-ragu, Zivanna turun dari kendaraan Ashley. Sementara, Ashley sudah berdiri di teras depan sebuah rumah khas pedesaan Skotlandia. Dindingnya tersusun dari batu sungai, sedangkan pintu dan jendelanya terbuat dari kayu Oak yang dicat putih. Bunga-bunga hias tampak tumbuh merambat di pot bunga memanjang yang terletak tepat di bawah jendela. "Kemarilah, Zi.. Don't be afraid. Uncle Theo adalah orang yang paling baik dan paling ramah," ajak Ashley lembut. Dengan langkah pelan, Zivanna mendekati Ashley dan berdiri di belakangnya. Ashley mulai mengetuk pintu itu. Beberapa detik kemudian, terdengar seseorang berjalan dan membuka pintunya lebar-lebar. Seorang wanita berambut ikal kecoklatan menyambut Ashley dengan hangat, "Hey, beautiful.. Apa kau hendak memesan kue tart lagi?" "No, Aunt Olive.. Aku kesini hanya untuk mengantarnya," Ashley mengarahkan tangannya pada Zivanna, membuat Zivanna salah tingkah. "H-hai," sapanya sedikit gugup. "Hai, do I know you?" wanita itu menautkan alisnya.
"Sekarang kami mendapat karmanya.. Akibat Theodore membuangmu, sampai sekarang kami tidak bisa memiliki anak," tutur wanita itu dengan raut murung. Sedangkan Ashley yang sedari tadi menyandarkan dirinya ke tembok, hanya mendengarkan dengan seksama."Aku.. ehm.. aku.." ucap Zivanna ragu. "Bolehkah aku tinggal disini?" Tanyanya.Olive belum sempat menjawab ketika pintu depan terbuka. Menampakkan sosok pria paruh baya yang tinggi, tegap dan terlihat begitu tampan dan berkharisma."Oh, kita kedatangan tamu, Ol?" Pria itu berkata dengan suara baritonnya yang terdengar begitu maskulin.Zivanna pun memberanikan diri menoleh dan tersenyum.Pria itu membeku melihat wajah Zivanna. Dia terlihat shock, apalagi saat gadis itu berkali-kali memamerkan senyumnya."She's your daughter," ujar Olive memecah keheningan.Pria itu menjatuhkan kotak perkakas yang sedari tadi dibawanya lalu berjalan menghampiri Zivanna. "You.. You're still alive?" Tanyanya tak percaya. Dipegangnya pipi halus gadis itu. Diusa
"Tell me everything about you," pinta Theo. "Aku sudah kehilangan momen tumbuh kembangmu sejak... berapa tahun lamanya?" "I'm twenty one now, Papa.." ucap Zivanna sambil tersenyum simpul. "Aku kehilangan waktu bersamamu selama dua puluh satu tahun lamanya," sesal Theo. "Apa ibumu memperlakukanmu dengan baik?" Zivanna menggeleng pelan. Rautnya terlihat sayu. "Mama membenciku. Dia menyalahkanku atas semua yang terjadi dalam hidupnya," kekehnya pelan. Theo meletakkan sendok makannya. Tiba-tiba saja makanan yang tersaji di atas meja makan tak lagi menggugah seleranya. Sementara, Olivia Jenson, istrinya, selalu tahu apa yang harus dilakukan. Dia mengusap lembut punggung tangan Theo dan menenangkannya. "Jangan salahkan dirimu, Theo. Selain percuma, semua juga sudah berlalu. Fokuslah pada putrimu," hibur Olive. "Apa dia menyakitimu secara fisik?" cecar Theo. "Fisik dan verbal," desah Zivanna pilu. Theo yang duduk di samping Zivanna segera merengkuh tangan gadis itu dan menggenggamnya
"Who is he?" Tanya Theo, Olive dan Ashley serempak. "A guy. Kind and handsome," jawab Zivanna seraya tersipu. "And?" "What's his name?" "He is not a bad boy, isn't he?" Ashley, Olive dan Theo berturut-turut mengajukan pertanyaan secara bersamaan. Zivanna kebingungan dibuatnya. "Slow down, everybody," Zivanna terkikik geli sambil memposisikan kedua tangannya di depan dada dengan telapak mengarah kepada mereka bertiga. "His name is Brandon Gallagher. He is 27 years old and live in London," terang Zivanna. "Brandon Gallagher? Aku seperti pernah mendengar namanya," gumam Ashley sembari mengusap dagunya. "Dari namanya sudah terlihat kalau dia pria yang sangat tampan. Bagaimana menurutmu, Theo?" "Ingatlah, usiamu sudah tidak muda lagi, Olive," tegur Theo, membuat Olive terbahak mendengarnya. "Sudah tua masih juga cemburuan. Apa kau tidak ingat bagaimana masa mudamu dulu? Berkali-kali kau mematahkan hatiku," sungut Olive. "Ketemu!" Pekik Ashley dengan mata membulat tertuju pada
Zivanna melangkahkan kakinya ringan, mengikuti Olivia dari belakang. Seumur hidupnya, baru kali ini dia bisa tidur nyenyak dan nyaman hingga pagi menjelang. Apalagi kata-kata Olive yang memintanya supaya memanggil Olive dengan sebutan 'Ibu', begitu menggetarkan hati Zivanna. "Apakah tokonya jauh dari sini, Mum?" Tanyanya beberapa saat kemudian. "Oh, tidak. Hanya 500 meter di depan," jawab Olive ramah. "Kau suka dengan suasana di sini?" Wanita itu balik bertanya pada Zivanna. Zivanna mengangguk cepat. "Aku baru kali ini merasa sangat disayangi," jawabnya. Suasana di sekitarnya mendadak hening. Olive terenyuh mendengar pengakuan gadis belia itu. Dulu di usianya yang ke-21 tahun, Olivia mendapatkan segalanya dari kedua orang tua dan kakak-kakaknya, cinta, kasih sayang dan kehangatan dari sebuah keluarga. Sangat berbeda jauh dengan yang dialami oleh Zivanna. Olivia menghentikan langkahnya dan memeluk Zivanna tiba-tiba. "Ada aku dan Theo di sini. Selalu ada kami untukmu," bisiknya pilu.
"What do you mean?" Ashley menautkan alisnya dan menatap intens pada Zivanna. Saat itulah Zivanna tersadar dengan apa yang baru saja ia ucapkan. "Ah, eh, nothing! I have to go home. Tiba-tiba saja kepalaku pusing," dalih Zivanna seraya melepas apron dan melipatnya. Dengan lemah, dia meletakkan apron itu ke loker penyimpanan. "What happen, Zi? Wajahmu mendadak pucat," nada Ashley begitu khawatir sembari memperhatikan gerak Zivanna. "Aku pulang dulu, ya. Ma'af aku tidak bisa menemanimu sampai toko tutup," pamit Zivanna lesu. "No, no, it's fine! Take your time. Istirahatlah," sahut Ashley lembut. Zivanna mengangguk, merapikan sweaternya, lalu melambaikan tangan pada Ashley dan beranjak keluar ruangan dapur. Dengan langkah tergesa, Zivanna melewati meja kasir dan beberapa etalase kue. Dia juga sempat tersenyum pada seorang pegawai Ashley sebelum membuka pintu tokonya dan melangkah pergi. Akan tetapi, Zivanna tidak berniat pulang ke rumah Theo dan Olive. Dia sudah bertekad kuat, jauh
Sudah ketiga kalinya Raja duduk di kursi pesakitan ini. Raut wajahnya masih tetap terlihat tenang dan datar. Dia sama sekali tak menyangkal dengan bukti-bukti yang ditunjukkan oleh pihak kepolisian. bahkan dia sendiri yang menyerahkan bukti-bukti itu. Tampak wajah ayahnya yang beberapa kali menghela napas panjang, sedang berusaha menghibur ibunya yang sangat terpukul, hingga tak henti-hentinya mengeluarkan air mata. Dalam hati, Raja bertanya-tanya, benarkah yang ia lakukan? Mengorbankan dirinya sendiri demi Zivanna. Namun tanpa sadar, dirinya juga mengorbankan kebahagiaan kedua orang tuanya. Raja menarik napas panjang. Penuntut masih terus membeberkan bukti-bukti. Beberapa saat yang lalu, penuntut juga menawarkan Raja untuk menghadirkan saksi yang bisa membelanya, tapi Raja tak memiliki saksi. Dia juga tak berminat membela diri, sampai terdengar keributan yang berasal dari luar ruang sidang. Beberapa petugas keamanan di dalam gedung segera membuka pintunya lebar-lebar. Raja terpana