Zivanna melangkahkan kakinya ringan, mengikuti Olivia dari belakang. Seumur hidupnya, baru kali ini dia bisa tidur nyenyak dan nyaman hingga pagi menjelang. Apalagi kata-kata Olive yang memintanya supaya memanggil Olive dengan sebutan 'Ibu', begitu menggetarkan hati Zivanna. "Apakah tokonya jauh dari sini, Mum?" Tanyanya beberapa saat kemudian. "Oh, tidak. Hanya 500 meter di depan," jawab Olive ramah. "Kau suka dengan suasana di sini?" Wanita itu balik bertanya pada Zivanna. Zivanna mengangguk cepat. "Aku baru kali ini merasa sangat disayangi," jawabnya. Suasana di sekitarnya mendadak hening. Olive terenyuh mendengar pengakuan gadis belia itu. Dulu di usianya yang ke-21 tahun, Olivia mendapatkan segalanya dari kedua orang tua dan kakak-kakaknya, cinta, kasih sayang dan kehangatan dari sebuah keluarga. Sangat berbeda jauh dengan yang dialami oleh Zivanna. Olivia menghentikan langkahnya dan memeluk Zivanna tiba-tiba. "Ada aku dan Theo di sini. Selalu ada kami untukmu," bisiknya pilu.
"What do you mean?" Ashley menautkan alisnya dan menatap intens pada Zivanna. Saat itulah Zivanna tersadar dengan apa yang baru saja ia ucapkan. "Ah, eh, nothing! I have to go home. Tiba-tiba saja kepalaku pusing," dalih Zivanna seraya melepas apron dan melipatnya. Dengan lemah, dia meletakkan apron itu ke loker penyimpanan. "What happen, Zi? Wajahmu mendadak pucat," nada Ashley begitu khawatir sembari memperhatikan gerak Zivanna. "Aku pulang dulu, ya. Ma'af aku tidak bisa menemanimu sampai toko tutup," pamit Zivanna lesu. "No, no, it's fine! Take your time. Istirahatlah," sahut Ashley lembut. Zivanna mengangguk, merapikan sweaternya, lalu melambaikan tangan pada Ashley dan beranjak keluar ruangan dapur. Dengan langkah tergesa, Zivanna melewati meja kasir dan beberapa etalase kue. Dia juga sempat tersenyum pada seorang pegawai Ashley sebelum membuka pintu tokonya dan melangkah pergi. Akan tetapi, Zivanna tidak berniat pulang ke rumah Theo dan Olive. Dia sudah bertekad kuat, jauh
Sudah ketiga kalinya Raja duduk di kursi pesakitan ini. Raut wajahnya masih tetap terlihat tenang dan datar. Dia sama sekali tak menyangkal dengan bukti-bukti yang ditunjukkan oleh pihak kepolisian. bahkan dia sendiri yang menyerahkan bukti-bukti itu. Tampak wajah ayahnya yang beberapa kali menghela napas panjang, sedang berusaha menghibur ibunya yang sangat terpukul, hingga tak henti-hentinya mengeluarkan air mata. Dalam hati, Raja bertanya-tanya, benarkah yang ia lakukan? Mengorbankan dirinya sendiri demi Zivanna. Namun tanpa sadar, dirinya juga mengorbankan kebahagiaan kedua orang tuanya. Raja menarik napas panjang. Penuntut masih terus membeberkan bukti-bukti. Beberapa saat yang lalu, penuntut juga menawarkan Raja untuk menghadirkan saksi yang bisa membelanya, tapi Raja tak memiliki saksi. Dia juga tak berminat membela diri, sampai terdengar keributan yang berasal dari luar ruang sidang. Beberapa petugas keamanan di dalam gedung segera membuka pintunya lebar-lebar. Raja terpana
Zivanna menatap satu persatu wajah-wajah yang menghadiri persidangan. Dia menangkap sosok kedua orang tua Raja yang tampak kebingungan. Di sudut lain, dia juga melihat adik kandung ibunya, Maria, tengah memandang nanar ke arahnya. Zivanna tersenyum samar. Sebentar lagi dia akan mengungkapkan segalanya. Dia hanya berharap bahwa Brandon tak hadir di tempat ini, sehingga dia tak perlu mendengarkan kenyataan tentang dirinya secara langsung. Gadis itu tak akan sanggup jika harus melihat wajah Brandon yang mungkin akan sangat kecewa padanya."Silakan, Nona. Utarakan penjelasan anda," suruh seorang jaksa penuntut umum yang mulai tak sabar menunggunya berbicara."Alright," Zivanna menarik napas panjang, kemudian membuangnya perlahan. "Saya harap Yang Mulia bersedia melepaskan Raja, dia tak bersalah. Karena sayalah yang telah membunuh ibu kandung saya sendiri," tegasnya, membuat suasana di dalam ruang pengadilan menjadi gaduh."Lanjutkan, Nona," pinta jaksa penuntut umum itu lagi.Zivanna terd
"Zizi? Dari mana saja? Kau sudah tidak masuk sekolah lebih dari tiga hari!" mata hazel Gladys membulat. Buru-buru dia menarik Zivanna masuk ke dalam rumahnya. "Ayo ke kamarku!" "Ta-tapi aku belum menyapa Nyonya Lorna," sergah ZIvanna. "Ibuku sudah terlelap. Besok pagi saja!" Gladys terus menyeret sahabatnya itu sampai ke dalam kamar. Gadis berambut pirang tersebut kemudian mendudukkan Zivanna di tepi ranjang, lalu duduk di sampingnya. "Bagaimana? Apa yang bisa kubantu?" tanyanya sembari mendekatkan wajah kepada Zivanna. "Aku ingin mncari ayah kandungku," tegas Zivanna, membuat Gladys terbelalak. Dia lagi-lagi terkejut oleh ulah teman akrabnya itu. "Aku tidak mengerti. Bukankah ayah kandungmu ada di rumah? Kenapa harus dicari? Jangan bilang kalau kau memiliki masalah gangguan ingatan akibat ibumu yang terus-terusan memukuli dirimu!" terka Gladys dengan nada tak suka. Sejak dulu gadis itu sudah berkeinginan untuk melaporkan ibu Zivanna ke polisi. Hanya saja, Zivanna selalu melarang d
Sesuai yang telah dijanjikan, Gladys membantu Zivanna untuk meretas ponsel Rosanna demi mencari petunjuk tentang keberadaan ayah kandungnya. Sepulang sekolah, Gladys bersama Zivanna berjalan kaki menuju rumah yang tak begitu jauh jaraknya dari tempat mereka menimba ilmu. "Apa yang ibumu lakukan di jam seperti ini?" tanya Gladys sesaat setelah mereka memasuki halaman rumah Zivanna."Mengunci diri di ruang kerjanya sampai sore atau bahkan malam. Entah apa yang dia lakukan di dalam sana," jawab Zivanna seraya membuka pintu. "Ayo," gadis itu segera mengajak sahabatnya memasuki kamar."Lalu, ponselnya? Di mana ibumu menyimpannya?" tanya Gladys, begitu dia menutup rapat pintu kamar Zivanna."Ponsel itu tidak pernah lepas dari genggaman ibu, ke manapun. Bahkan ke kamar mandipun ibu selalu membawa ponselnya. Seakan-akan ada banyak rahasia di dalam sana yang tidak boleh diketahui oleh orang lain," jelas Zivanna."Misterius sekali," Gladys mengusap dagu sambil berjalan mondar-mandir. "Lalu, apa
"Di mana sopan santunmu, Zizi? Sudah berapa kali aku bilang, kau tidak boleh masuk ke ruangan ini jika tidak diijinkan?" dingin suara pria itu dengan sorot mata tajam yang dia tujukan pada Zivanna. Kakinya melangkah pelan, semakin mendekat pada dua gadis remaja itu. "Apa yang sedang kalian lakukan di sini?" berat dan dalam intonasi pria tersebut, penuh dengan penekanan. "A-aku hanya berusaha meminta uang pada mama. Besok, sekolah kami akan mengadakan acara penggalangan dana, Pa," kilah Zivanna terbata. "Hm," pria itu mencondongkan wajahnya pada Gladys. "Apa ibumu tidak mengajari caranya meminta ijin untuk memakai barang seseorang Nak?" sindirnya. Menyadari kesalahannya, Gladys buru-buru meletakkan ponsel Rosanna kembali ke atas meja. "I'm ... I'm sorry, Sir. Aku hanya mengagumi ponsel keluaran terbaru ini. Bagus sekali," dalihnya seraya tersenyum lebar. Alasan apapun akan dia kemukakan, asal tak ketahuan. "Berapa yang kau butuhkan?" tanya laki-laki itu, sama sekali tanpa senyum. "
"Apa yang telah Mama lakukan? Darah siapa itu?" Zivanna mundur perlahan. Sementara Rosanna terus maju dengan langkah sempoyongan. Kini Zivanna dapat melihat dengan jelas, betapa bercak darah itu tidak hanya mengotori tangan beserta baju, namun juga rambut dan ujung kaki Rosanna. "Mama, jangan," Zivanna tahu benar jika Rosanna tengah mabuk. Satu tangan wanita itu memegang sebuah tongkat besi yang biasa digunakan di perapian ruang tengah. "Ada apa ini?" Zivanna mulai terisak dan jatuh terduduk ketika betis bagian belakangnya menabrak tepian ranjang. Rosanna berdiri tegak dengan mata melotot. tatapannya menghujam ke arah Gladys seraya mengangkat tongkat besi itu tinggi-tinggi. "Mama, berhenti!" teriak Zivanna. Entah kekuatan dari mana, gadis itu tiba-tiba berdiri dan menghalau gerakan Rosanna sekuat tenaga. Zivanna mendorongnya hingga Rosanna jatuh tersungkur. Tongkat besi yang tadi tergenggam di tangan, lepas dan terpelanting ke lantai. Buru-buru Zivanna merebut tongkat besi itu dan m