Sesuai yang telah dijanjikan, Gladys membantu Zivanna untuk meretas ponsel Rosanna demi mencari petunjuk tentang keberadaan ayah kandungnya. Sepulang sekolah, Gladys bersama Zivanna berjalan kaki menuju rumah yang tak begitu jauh jaraknya dari tempat mereka menimba ilmu. "Apa yang ibumu lakukan di jam seperti ini?" tanya Gladys sesaat setelah mereka memasuki halaman rumah Zivanna."Mengunci diri di ruang kerjanya sampai sore atau bahkan malam. Entah apa yang dia lakukan di dalam sana," jawab Zivanna seraya membuka pintu. "Ayo," gadis itu segera mengajak sahabatnya memasuki kamar."Lalu, ponselnya? Di mana ibumu menyimpannya?" tanya Gladys, begitu dia menutup rapat pintu kamar Zivanna."Ponsel itu tidak pernah lepas dari genggaman ibu, ke manapun. Bahkan ke kamar mandipun ibu selalu membawa ponselnya. Seakan-akan ada banyak rahasia di dalam sana yang tidak boleh diketahui oleh orang lain," jelas Zivanna."Misterius sekali," Gladys mengusap dagu sambil berjalan mondar-mandir. "Lalu, apa
"Di mana sopan santunmu, Zizi? Sudah berapa kali aku bilang, kau tidak boleh masuk ke ruangan ini jika tidak diijinkan?" dingin suara pria itu dengan sorot mata tajam yang dia tujukan pada Zivanna. Kakinya melangkah pelan, semakin mendekat pada dua gadis remaja itu. "Apa yang sedang kalian lakukan di sini?" berat dan dalam intonasi pria tersebut, penuh dengan penekanan. "A-aku hanya berusaha meminta uang pada mama. Besok, sekolah kami akan mengadakan acara penggalangan dana, Pa," kilah Zivanna terbata. "Hm," pria itu mencondongkan wajahnya pada Gladys. "Apa ibumu tidak mengajari caranya meminta ijin untuk memakai barang seseorang Nak?" sindirnya. Menyadari kesalahannya, Gladys buru-buru meletakkan ponsel Rosanna kembali ke atas meja. "I'm ... I'm sorry, Sir. Aku hanya mengagumi ponsel keluaran terbaru ini. Bagus sekali," dalihnya seraya tersenyum lebar. Alasan apapun akan dia kemukakan, asal tak ketahuan. "Berapa yang kau butuhkan?" tanya laki-laki itu, sama sekali tanpa senyum. "
"Apa yang telah Mama lakukan? Darah siapa itu?" Zivanna mundur perlahan. Sementara Rosanna terus maju dengan langkah sempoyongan. Kini Zivanna dapat melihat dengan jelas, betapa bercak darah itu tidak hanya mengotori tangan beserta baju, namun juga rambut dan ujung kaki Rosanna. "Mama, jangan," Zivanna tahu benar jika Rosanna tengah mabuk. Satu tangan wanita itu memegang sebuah tongkat besi yang biasa digunakan di perapian ruang tengah. "Ada apa ini?" Zivanna mulai terisak dan jatuh terduduk ketika betis bagian belakangnya menabrak tepian ranjang. Rosanna berdiri tegak dengan mata melotot. tatapannya menghujam ke arah Gladys seraya mengangkat tongkat besi itu tinggi-tinggi. "Mama, berhenti!" teriak Zivanna. Entah kekuatan dari mana, gadis itu tiba-tiba berdiri dan menghalau gerakan Rosanna sekuat tenaga. Zivanna mendorongnya hingga Rosanna jatuh tersungkur. Tongkat besi yang tadi tergenggam di tangan, lepas dan terpelanting ke lantai. Buru-buru Zivanna merebut tongkat besi itu dan m
Rosanna bergerak maju dengan langkah kaku. Bagi Zivanna, ibunya itu terlihat mirip zombie. Sementara Gladys semakin beringsut hingga punggungnya menempel di kepala ranjang. Gadis itu menggeleng pelan dan ketakutan. "Please, don't hurt me, Mrs. Rosanna," ucapnya lirih."Of course I'm not going to hurt you, Sweet Heart. Aku hanya ingin meminta tolong padamu," Rosanna menyeringai, lalu mengulurkan tangannya pada Gladys. Zivanna hanya terpana akan adegan yang tengah berlangsung di hadapannya itu. Namun, buru-buru dia tersadar dan menguasai diri. "Gladys, jangan," cegahnya. Akan tetapi, sahabatnya itu seperti jauh lebih takut pada Rosanna."Aku tidak ingin mati, Zi," bisiknya tepat di telinga Zivanna saat Gladys turun dari ranjang dan menghampiri wanita berlumuran darah tersebut. Gadis itu melewati Zivanna begitu saja demi membalas uluran tangan Rosanna."Kau juga sebaiknya membantu Mama, Sayang. Kau tentu tak ingin jika dituduh sebagai pembunuh ayahmu dan harus mendekam di penjara, bukan?
"Apa yang kau lakukan, Rosanna?" Maria terbelalak tak percaya saat melihat kakak iparnya tergeletak bersimbah darah di depan pintu ruang kerja. "Aku harus melakukan ini untuk membungkam mulut cerewetnya, Maria! Sekarang bantu aku untuk membuatnya seolah-olah meninggal karena serangan jantung!" paksa Rosanna. Sorot matanya menunjukkan bahwa wanita itu tak menerima penolakan. Sambil meneteskan air mata, Maria berjongkok dan memeriksa mayat yang masih hangat dan lemas itu. Dia kemudian berdiri dan mengambil sarung tangan mahal kesayangannya, lalu buru-buru memakai sarung tangan itu. Maria berjongkok kembali dan memeriksa bagian dada yang penuh dengan noda darah. Dia terdiam dan tertegun saat merasakan lubang yang menganga sebesar ibu jari. "Kau tembak dengan apa dia?" tanyanya gemetar. "Pistol koleksinya," jawab Rosanna. Wanita itu terlihat begitu tenang, seakan tak sedang melakukan kejahatan apapun. Padahal, dia baru saja menghilangkan sebuah nyawa. Terlebih itu adalah nyawa suaminya.
Maria dan Rosanna masuk tatkala Zivanna selesai membersihkan jenazah ayah tirinya. Wajah pria itu terlihat begitu tampan dan tenang. Diam-diam, Zivanna mengusap pipi Sena lembut sebelum menoleh ke arah Rosanna yang tengah menatapnya tajam. "Di mana temanmu tadi?" tanya wanita itu. "Pulang" jawab Zivanna singkat. Tak seperti biasanya, kali ini dia membalas tatapan ibunya tak kalah tajam. "Bagus! Kalau seandainya dia melaporkan kejahatanku, maka aku pasti akan ikut menyeretmu!" tuding Rosanna. Telunjuknya mengarah tepat ke pucuk hidung Zivanna. "Kalau itu terjadi, aku harap kita bisa berada di sel yang berbeda, Ma. Itu lebih baik," timpal Zivanna dengan mata coklat yang menyala. Satu hal yang dia sadari kini, ibunya bukanlah perempuan waras. Ada yang timpang dalam jiwanya dan itu yang membuat Zivanna tak tahan. Cepat atau lambat, dia harus mengumpulkan kekuatan untuk memberontak. "Kau!" Rosanna sudah mengayunkan tangan, hendak menyasar pipi mulus putrinya, tapi Maria lebih dulu mence
Pagi kelam itu adalah hari di mana seharusnya dia akan menjalani interview di sebuah perusahaan properti terkenal di London. Namun, sang ibu dengan berbagai alasan, terus menahannya untuk pergi. "Bilang saja kalau kau ingin kencan dengan Raja! Pakai ada alasan interview segala!" oceh Rosanna. "Aku tidak pernah berbohong dalam hal apapun, Ma. Justru akulah yang seringkali menutupi kebohonganmu," timpal Zivanna dengan santainya sambil memasukkan berkas-berkas ke dalam map. "Anak kurang ajar!" tangan kanan Rosanna melayang begitu saja, menampar pipi mulus Zivanna. Tamparan yang begitu keras, sampai-sampai sudut bibir gadis itu meneteskan darah. "Seharusnya dulu kamu mati!" umpatnya. "Mungkin lebih baik aku mati daripada menderita begini," Zivanna menyahut lirih sambil kakinya melangkah ke arah dapur. "Akan kumasakkan sarapan, supaya mama tidak mudah emosi," ujarnya setengah menyindir. Tak dipedulikannya sumpah serapah Rosanna yang membuat telinga dan hatinya memanas. Zivanna malah men
Gemetaran seluruh tubuh Zivanna. Dia sama sekali tak menyangka jika dirinya akan berbuat sekeji itu pada Rosanna. "Ma," bisiknya lirih seraya mengamati telapak tangannya yang berlumuran. Beberapa saat lamanya gadis itu membolak-balikkan tangan yan kini berwarna merah. Energi Zivanna seakan menguap, menghilang hingga membuatnya jatuh bersimpuh di depan tubuh Rosanna yang sudah tergeletak tak berdaya. "Ma, apa yang sudah kulakukan?" isakan pelan segera berubah menjadi tangisan kencang. "Ma'af, Ma. Ma'af," racaunya. Pikiran Zivanna kosong saat itu. Dia sudah tak bisa lagi melihat masa depannya. Segalanya gelap sampai dia mendengar ponselnya berdering. "Raja," desisnya tiba-tiba. Nama itu tiba-tiba terlontar begitu saja. Dengan tangan berlumuran darah, dia kembali ke ruang tengah dan merogoh ke dalam tas ransel. Noda darah itu akhirnya tersebar dan menempel di mana-mana, termasuk ke layar ponsel yang sedang menyala. Layar itu penuh dengan wajah Raja. Buru-buru Zivanna menekan tombol hij