Gemetaran seluruh tubuh Zivanna. Dia sama sekali tak menyangka jika dirinya akan berbuat sekeji itu pada Rosanna. "Ma," bisiknya lirih seraya mengamati telapak tangannya yang berlumuran. Beberapa saat lamanya gadis itu membolak-balikkan tangan yan kini berwarna merah. Energi Zivanna seakan menguap, menghilang hingga membuatnya jatuh bersimpuh di depan tubuh Rosanna yang sudah tergeletak tak berdaya. "Ma, apa yang sudah kulakukan?" isakan pelan segera berubah menjadi tangisan kencang. "Ma'af, Ma. Ma'af," racaunya. Pikiran Zivanna kosong saat itu. Dia sudah tak bisa lagi melihat masa depannya. Segalanya gelap sampai dia mendengar ponselnya berdering. "Raja," desisnya tiba-tiba. Nama itu tiba-tiba terlontar begitu saja. Dengan tangan berlumuran darah, dia kembali ke ruang tengah dan merogoh ke dalam tas ransel. Noda darah itu akhirnya tersebar dan menempel di mana-mana, termasuk ke layar ponsel yang sedang menyala. Layar itu penuh dengan wajah Raja. Buru-buru Zivanna menekan tombol hij
"Kalian pergi saja dari sini! Biar aku yang membereskan semua," ujar Hendra yang tiba-tiba sudah berdiri di belakang Raja.Zivanna sudah terlihat rapi saat itu. Bajunya yang penuh oleh darah sudah dia cuci bersih. Tinggal kekacauan di lantai dapur yang dia tinggalkan."Aku yang akan membersihkan tempat ini. Kau pergilah," paksa Hendra yang seakan dapat menebak jalan pikiran Zivanna."Kau ikut denganku saja, Zi. Kita ke Indonesia. Rencananya setelah janji bertemu denganmu hari ini, aku akan langsung bertolak ke Indonesia nanti malam," tutur Raja sambil mengusap pipi kekasihnya."Akan kusiapkan tiketnya. Kau punya paspor dan visa, kan?" lanjut Raja. Dibalas oleh gelengan pelan Zivanna. "Kau tidak punya paspor dan visa?" "Mama melarangku mengurus itu semua. Dia berniat menyekapku seumur hidupnya. Aku tidak boleh ke mana-mana," Zivanna menunduk dalam-dalam sambil sesekali mengusap pipi yang basah oleh air mata."Astaga," Raja meraup wajahnya kasar. "Lalu, bagaimana? Aku harus pulang ke In
"Masuklah," titah Raja sraya mengecup punggung tangan Zivanna. "Temani aku, please," pinta Zivanna memelas. "Apa tantemu juga jahat padamu, seperti halnya mamamu, Zi?" setitik rasa khawatir mulai tampak di wajah tampan Raja. Zivanna menggeleng pelan, "Aku tidak tahu sifat dia sebenarnya. Yang jelas, dia selalu bersikap dingin padaku." Raja menatap kekasihnya lekat-lekat. Begitu berat masalah hidup yang harus dihadapi gadis belia di hadapannya ini. Wajah cantiknya terlihat begitu lelah. Bibir polosnya tanpa polesan lipstik bergetar pelan. Sisa-sisa ketakutan atas kejadian besar yang baru saja dia alami, masih menguasai dirinya. Lembut, Raja mencium bibir Zivanna. Kedua matanya terpejam merasakan betapa nikmat dan hangatnya bibir ranum itu. Begitu pula Zivanna yang harus menahan debaran jantungnya yang menggila saat wajah tampan itu tak berjarak dengan wajahnya. "Aku cinta kamu, Zi. Setelah semuanya selesai, ikutlah denganku ke Indonesia. Kita akan menikah di sana," pinta Raja. S
Zivanna menempati kamar atas, tempat di mana dia sering menginap jika berkunjung ke rumah Maria dan Hendra. Dia terpekur di sana, merenungi semua hal yang telah terjadi beberapa jam yang lalu. Sementara Hendra belum juga pulang dari rumah Rosanna. Entah apa yang om-nya lakukan di sana dan entah bagaimana caraya pria itu tiba-tiba berada di rumahnya. "Kenapa Hendra tidak bisa kuhubungi? Ada masalah apa lagi dengan ibumu?" tanya Maria tiba-tiba yang telah membuka pintu kamar tanpa permisi. "O-om He-Hendra ..." Zivanna terbata. Dia begitu gugup saat itu. Ingin rasanya dia menceritakan bahwa sang ibu telah mati di tangannya. Akan tetapi, Zivanna segera teringat akan pesan Hendra agar tidak memberitahukan apapun pada Maria. "Om Hendra sedang berbincang serius tadi dengan mama. Jadi, mereka menyuruh Zizi untuk datang lebih dulu kemari," tuturnya. "Apa ibumu mencoba menggoda suamiku?" tebak Maria dengan nada bicara yang tak mengenakkan. "Te-tentu tidak, Tante! Om Hendra adalah oang yang b
"Apa kamu bilang?" Maria terbelalak tak percaya. "Ka-kamu bercanda, 'kan?" desisnya seraya mendekat ke arah Hendra. Kedua tangannya terulur, mencengkeram kerah kemeja suaminya sedemikian erat. "Sayangnya, itu benar, Maria. Aku telah membunuh kakakmu. Dia mabuk, seperti biasanya dan mulai meracau. Aku hanya mencegahnya agar tidak menyakiti diri sendiri. Akan tetapi, dia tidak terima dan mulai menggila. Rosanna berlari ke dapur. Dia mengambil pisau, lalu menghampiriku. Aku hanya mempertahankan diri, Maria. Itu saja," beber Hendra. "I-itu tidak mungkin," tubuh Maria limbung dan hampir terjatuh ke belakang, jika saja Bimo tak sigap menangkap dan merengkuh tubuh ibunya. "Ma, duduk dulu, Ma," Bimo menuntun Maria untuk duduk di sofa. Sesekali pandangannya terarah ke atas, di mana Zivanna berdiri terpaku di ujung tangga dengan tatap mata yang tak dapat diartikan. "Aku akan menyerahkan diriku ke polisi," ujar Hendra lemah seraya meraih ponselnya. "Jangan!" cegah Maria. "Apa kau gila?" "K
Zivanna merebahkan diri di ranjang kamar tamu, tempat dia biasanya menginap di rumah tantenya. Dia terus saja menangis sambil menggenggam secarik kertas bertuliskan angka di tangannya. Dirasa matanya lelah dan bengkak, Zivanna merogoh ponsel yang selalu tersimpan di saku jaket rajut kesayangan yang selalu dia pakai ke manapun. Malas-malasan Zivanna bangkit dan duduk di tepiaan ranjang. Dipencetnya satu demi satu nomor yang sesuai dengan angka yang tertera di kertas catatan kecil dari Hendra. Belum sempat dirinya memencet tombol panggil, pintu kamarnya terbuka tiba-tiba. Maria muncul di ambang pintu dengan muka merah padam. Tangannya menggenggam sebuah benda pipih yang Zivanna ketahui sebagai sebuah ponsel. Maria mengacungkan ponsel itu ke arah Zivanna. "Jadi, ini penyebabnya," geram wanita itu. "Kenapa, Tante?" Zivanna keheranan melihat sikap Maria yang aneh. "Ini penyebab suamiku membunuh ibumu!" Maria melemparkan ponsel ke arah Zivanna dan tepat mengenai pelipisnya. Zivanna sempat
Zivanna tak berani ke luar kamar ketika terdengar suara pengacara Anthony West mendatangi rumah om-nya. Pria itu ternyata benar-benar menepati janjinya untuk menemui Zivanna. Sementara dirinya terjebak dalam dilema yang begitu besar antara mengakui perbuatannya dengan tetap pada rencana yang sudah diaturkan oleh Hendra. Pada akhirnya Zivanna memilih untuk berpegang pada rencana Hendra, mengingat Maria yang semakin menunjukkan sikap permusuhan padanya. Seperti saat itu, ketika Maria membuka pintu kamarnya begitu saja tanpa permisi dan menatap tajam pada Zivanna dengan raut wajah yang tak bersahabat. "Apa kau yang menelepon pengacara itu?" tanya Maria ketus. Zivanna terdiam beberapa saat. "I-iya, Tante," jawabnya ragu. Maria semakin mendekat ke arah Zivanna yang masih duduk di tepian ranjang. Badannya sedikit membungkuk ketika dia menyejajarkan wajah dengan wajah keponakannya itu. "Bagus! Kau dan ibumu sudah berhasil menghancurkan rumah tanggaku. Aku membenci kalian semua, termasuk H
Zivanna menyelesaikan ceritanya di hadapan hakim. Sesekali mata indahnya melirik ke arah Raja yang memandangnya tak percaya. Raja masih tetap terlihat tampan, walaupun dia harus merasakan beberapa minggu terakhir di dalam penjara. Dia juga sempat memperhatikan semua pasang mata di ruang pengadilan yang luas itu. Mereka semua seperti memandang iba padanya. Zivanna tersenyum getir. Entah apakah pada akhirnya dia bisa mendapatkan keadilan dan hidup dalam ketenangan. "Apa kesaksianmu dapat dipertanggungjawabkan?" tanya hakim itu hati-hati. "Ya, Yang Mulia. Anda bisa memanggil ulang nama-nama yang sudah saya sebutkan tadi sebagai saksi," jawab Zivanna seraya menoleh pada Hendra yang ikut menghadiri persidangan. Pria paruh baya itu tak pernah absen dalam persidangan, walaupun statusnya sebagai tersangka telah dicabut. "Kalau yang kau katakan adalah kebenaran. Maka kami berhak memanggil setiap nama yang berhubungan dengan ceritamu. Sampai mereka berkumpul di tempat ini, maka kau wajib bera