"Kita pikirkan itu nanti, Zi. Sekarang yang terpenting adalah bagaimana caranya supaya kamu bebas," tutur Raja dalam bahasa Indonesia. Tak ada seorang pun di sana yang mengerti kecuali Zivanna. Ingin rasanya Brandon memrotes dan menimpali perkataan gadis itu sebelumnya. Namun, sebelum hal itu terjadi, Jean lebih dulu memegang lengan adiknya, seolah menhannya untuk tidak bereaksi. "Tunggulah sampai semua mereda," bisik Jean lirih. Brandon tak mempunyai pilihan lain selain mengangguk dan menurut. Dia terdiam hingga seorang petugas polisi memasuki ruangan khusus berisi sel-sel yang berderet. "Maaf, jam menjenguk sudah habis. Kami akan menutup ruang sel ini sampai besok pagi," ucap polisi itu. Theo yang tak tega melihat putrinya sendirian di sana, egera berbalik dan memohon pada polisi tadi. "Tidak bisakah statusnya diganti menjadi tahanan rumah?" tanyanya seraya menangkupkan kedua tangan. "Maaf, Sir. Ini semua adalah keputusan dari pengadilan. Putri anda harus menghadapi peradilan leb
Zivanna melangkah masuk ke ruang persidangan dengan tangan terborgol awalnya. Baru setelah dia duduk di kursi terdakwa, borgol itu dilepaskan. Wajahnya masih terlihat cantik meskipun tanpa make up dan hanya memakai baju tahanan. Dua orang pengacara telah menunggunya, yaitu Anthony West dan Jean. Zivanna sempat mengedarkan pandangan ke arah pengunjung. Mata indahnya mendapati Brandon turut hadir di sana dan duduk di bangku terdepan. Pria itu telah ditolak oleh Zivanna. Akan tetapi, dia masih menunjukkan simpati dan dukungan tak terbatas. Di sudut ruangan lain, Raja juga datang bersama kedua orang tuanya. Dia tersenyum begitu manis seraya melambaikan tangan pada Zivanna. Gadis itu mengangguk, lalu membalas dengan senyuman tipis. Dia lalu kembali menghadapkan dirinya ke depan, ketika hakim dan para jaksa penuntut tiba di ruangan. Semua aparat hukum tersebut, mulai dari hakim, jaksa dan pengacara memakai rambut palsu berwarna putih, yang disebut dengan Peruke. Di Inggris, Peruke ini w
"Memangnya apa yang tidak saya ketahui tentang Zizi, Om? Apa dia mempunyai saudara? Terus terang saja, bagi saya, keluarganya terasa begitu misterius," Raja tampak begitu resah. Sesekali ekor matanya melirik pada Zivanna yang lebih banyak diam dan menyembunyikan wajahnya di balaik tubuh tegap Raja.Sementara, ruang persidangan sudah mulai sepi. Bahkan hakim pun terlihat sudah meninggalkan kursi kebesarannya."Kita lanjutkan bicara di luar saja," ajak Hendra. Mau tak mau, semua orang mengikuti. Tak terkecuali Jean dan Brandon yang sebetulnya tidak paham dengan apa yang dibicarakan. Hendra lebih banyak menggunakan bahasa Indonesia.Pengacara Raja sendiri memutuskan untuk mendekat pada kedua orang tua Raja yang sibuk menerima telepon.Hendra memilihkan sebuah kafetaria yang terletak di seberang gedung pengadilan. Meja paling pojok menjadi spot paling tepat bagi pria paruh baya tersebut. Terlebih, mejanya berukuran paling besar dibandingkan meja lainnya di tempat itu."Nona Jean, kuharap
"Gangguan jiwa?" Zivanna yang sedari tadi terdiam, ikut menimpali. "Maksudku ... em, bukan seperti orang gila pada umumnya, tapi ... ." Hendra menjeda perkataannya sejenak, lalu mengempaskan napas perlahan. "Maria seolah memiliki kepribadian ganda. Terkadang, dia adalah wanita yang kalem, lemah lembut dan penurut. Namun, tak jarang dirinya berubah menjadi beringas dan tak terkendali. Dia juga pintar memanipulasi." "Lalu, atas alasan apa Tante Maria ingin membunuhku?" tanya Zivanna lagi. "Sudah jelas jika dirinya marah karena kakaknya mati. Maria begitu terobsesi untuk menjadi seperti Rosanna," terang Hendra. "Tapi, Om. Aku tak sengaja melakukan itu. aku hanya membela diri," sanggah Zivanna. "Ya, semuanya juga tahu. Raja juga sangat paham akan hal itu. Namun, pemikiran Maria bukanlah pemikiran orang yang waras," Hendra menggelengkan kepalanya pelan. "Jadi, bagaimana?" sela Brandon. "Menurutku, di sinipun, Daisy ... ehm, maksudku, Zivanna ... dia juga tidak aman berada di kota ini,
"Brandon, wait!" Jean buru-buru mengikuti sang adik yang tampak begitu gusar, setelah sebelumnya berpamitan pada semua.Zivanna sendiri dapat memahami betapa hancurnya hati Brandon ketika dia memutuskan untuk menikah dengan Raja. Seandainya bisa, ingin sekali Zivanna berlari menyusul, lalu merengkuh pangeran penyelamatnya itu.Namun, apa dikata. Zivanna sudah memutuskan pilihan, dan pilihan itu ada pada Raja. Zivanna hanya melakukan apa yang seharusnya dia lakukan sejak dulu. "Zi," panggil Raja. Calon suami Zivanna itu diam-diam memerhatikan raut wajah cantik di sebelahnya yang tampak murung. Sorot mata indah nan bulat tersebut terlihat pilu mengiringi kepergian Brandon. "Tidak apa-apa kalau kamu ingin mengejar dia," ujar Raja lirih.Mendengar hal itu, Zivanna langsung mendongak dan menatap Raja penuh harap. Akan tetapi, lambat laun, pandangan itu berubah menjadi tatapan sendu. Zivanna lalu menggeleng dan tersenyum. "Tidak, aku sudah memilihmu. Maka, di sinilah aku seharusnya berada,
"Semua surat-surat dan dokumen keberangkatan sudah siap," ujar Raja pada Zivannna yang saat itu tengah termenung menghadap jendela kamar hotel. "Zi?" panggil Raja saat tunangannya itu tak menanggapi. "I-iya?" Zivanna langsung tergagap. Dia menoleh, lalu menghampiri pria yang sebentar lagi akan menjadi suaminya itu. "Jadi, bagaimana? Kita akan menikah di Indonesia?" tanya Zivanna seraya menangkup wajah tampan Raja dengan kedua tangannya. "Rencananya begitu. Kedua orang tuaku menginginkan pesta pernikahan yang meriah," Raja tersenyum lembut, kemudian mencium mesra bibir sang kekasih. Sayang, adegan manis itu harus terjeda saat terdengar ketukan pelan di pintu kamar hotel. "Pasti mama sudah menunggu kita," Raja mengempaskan napas pelan. Dia berbalik menuju pintu dan membukanya lebar-lebar. Benarlah tebakan Raja, sang ayah berdiri di hadapannya sambil menyodorkan dua buah tiket pesawat. "Ayo, kita harus segera ke bandara sekarang, kalau tidak ingin ketinggalan pesawat," ujar Abram. "
"Aku tidak percaya! Zizi harus tetap bersamaku! Kalau dia tidak boleh tinggal di rumah, maka aku akan mencari tempat lain untuk tempat tinggal kami sementara," tegas Raja. "Kamu ...." Dewa mengepalkan tangan dan bersiap hendak memukul adik kandungnya itu. Akan tetapi, Abram lebih dulu mencegah. "Sudah, hentikan!" sentak Abram. "Dewa, kalau kamu tidak ingin Zivanna tinggal bersama kita, maka seperti yang Raja katakan tadi, biar dia mencarikan tempat tinggal sementara untuk Zivanna." "Selama waktu itu, kita bisa berdiskusi dan berkomunikasi dengan Keluarga Prawira," lanjut Abram. "Komunikasi?" ulang Dewa seraya tertawa mengejek. "Asal papa tahu, ya. Mereka memasuki rumah kita tanpa permisi sambil menodongkan pistol ke arahku. Sekarang aku bertanya pada kalian. lebih penting mana, Zivanna atau keutuhan dan keselamatan keluarga ini?" tanyanya dengan tangan terkepal. "Bang, apa benar itu?" suara Hana terdengar begitu lirih. "Untuk apa aku mengada-ada, Ma?" Dewa mendengkus kesal sambil
"Apa kamu suka?" tanya Raja lembut seraya memijit pundak Zivanna. "Suka," Zivanna mengangguk sambil tersenyum samar. Suasana dan desain interior apartemen itu mengingatkannya akan rumah Brandon di desa. Raja bukannya tak tahu perubahan air muka Zivanna, tetapi dia berusaha untuk tidak menghiraukan itu semua. "Memang semuanya membutuhkan proses, Zi. Kamu sudah terbiasa tinggal di Inggris," tuturnya lembut. "Iya," Zivanna memaksakan tawa. "Terima kasih, ya. Kamu pengertian sekali," kedua tangannya terulur, menangkup paras rupawan Raja. "Aku mencintaimu, Zi," Raja mendekatkan wajah, hendak mencium bibir gadis yang telah membuatnya tergila-gila. Namun, dering telepon genggam miliknya lebih dulu menggagalkan niat Raja. "Ah, tunggu sebentar. Ini nada dering khusus milik Papa," ujar pria tampan itu sebelum meraih ponsel dan menerima panggilan. "Ya, halo," sapa Raja dengan raut kalem. Sesaat kemudian, raut wajah kalem itu berubah tegang. Raja diam mendengarkan tanpa mengucapkan sepatah k