Roda mobil bertipe mini truck dengan bak terbuka berputar menginjak rerumputan di area pemancingan di tepi sungai Avon yang mengalir membelah kota Bristol di Inggris. Kota Bristol sendiri adalah kota pelabuhan, karena letaknya tepat di ujung teluk, berbatasan dengan Laut Keltik.
Seorang pria berparas tampan, turun dari mini trucknya dengan gagah. Sneakers hitam putihnya menjejak tanah. Mata biru cerahnya seperti warna langit, melenakan siapapun yang memandangnya. Alis dan rambut kecoklatannya tampak berkilau terkena cahaya matahari di awal musim semi ini.
Pria itu lalu melangkah ke bagian belakang mobil, membuka terpal yang menutupi bak truk dan menurunkan sekotak besar peralatan pancing.
"Hari yang indah," gumamnya dambil mengedarkan pandangan ke sekeliling. Hanya ada dia seorang di tempat ini. "Perfect!" ujarnya lagi.
Menyendiri memang sudah menjadi kesukaannya sekarang. Menjauh dari hiruk pikuk manusia dengan segala permasalahannya. Terlebih saat ia harus kehilangan kedua orang tuanya dalam waktu bersamaan, membuatnya semakin menutup diri dari dunia luar. Trauma kehilangan dan rasa sakit, cukup menjadikan pengingat agar dia tak terlalu akrab dengan siapapun.
Laki-laki itu kemudian membuka kotak dan hendak merakit peralatan pancing. Lalu pandangannya teralihkan oleh sesuatu yang mengapung di depan sana. Dia memicingkan matanya. Iris mata birunya berusaha menangkap dan mengirimkan sinyal ke otak. Otak pria itu merespons dan menyampaikan bahwa sesuatu itu adalah manusia. Seorang wanita lebih tepatnya. Laki-laki itu menajamkan penglihatannya sekali lagi. Sosok itu tampak bergerak, tangannya menggapai sesuatu, sebelum akhirnya terdiam dan mulai tenggelam.
Tanpa pikir panjang, laki-laki itu melepas jaket dan sneakersnya, kemudian melompat ke dalam sungai dengsn masih memakai T-shirt dan celana jeans. Yang dipikirkan olehnya hanya satu, menyelamatkan sosok yang hampir tenggelam itu.
Air sungai terasa begitu dingin menggigit kulit, namun ia tak berhenti. Tangannya masih mengayuh hingga tiba di dekat tubuh yang hampir tenggelam itu. "A girl?" desisnya. Dengan sigap dan cekatan, pria itu menangkap sesosok tubuh yang ternyata adalah seorang wanita. Susah payah dia menarik tubuh gadis itu ke tepian, melawan dinginnya suhu air dan udara saat ini.
Gadis itu masih sadar. Terlihat dia masih berusaha menggapai rerumputan liar di tepi sungai meskipun lemah. Laki-laki bermata biru itu membantunya naik ke permukaan. Dia menarik tubuh ramping gadis itu dan menggendongnya. Dia membaringkan si gadis di rerumputan di samping mobilnya.
Tubuh gadis itu mulai menggigil karena kondisinya yang basah kuyup. Satu-satunya hal yang ada di kepala laki-laki itu saat ini adalah melepas pakaian gadis itu dan menggantinya dengan kain yang kering. Dengan terpaksa, ia membuka kancing jaket jeans si gadis, satu persatu hingga terbuka seluruhnya. Berlanjut dengan membuka kemejanya.
Dia sempat berhenti saat si gadis mengucapkan sesuatu. Suatu kata asing yang tidak pernah ia dengar sebelumnya. Setelah berhasil melepas sepatu gadis itu. Dia segera berlari ke dalam mobil untuk mengambil selimut yang selalu siap, teronggok di kursi penumpang.
Laki-laki itu kembali pada si gadis dan menyelimuti tubuh indahnya. Sejenak, dia terpesona dengan gadis itu. Wajahnya berbentuk oval, hidungnya mungil dan mancung. Bibirnya penuh, berwarna merah merekah. Rambutnya berwarna hitam legam dan terlihat begitu halus. Kulitnya bersih, mulus kuning langsat. "Are you okay?" tanyanya pada gadis itu.
"Kenapa kau bisa tenggelam?" dia kembali bertanya saat pertanyaan pertama tak mendapatkan jawaban. Gadis itu meringis menahan sakit, lalu sedikit merosot dari pelukannya. Tubuhnya melemah.
"Hey, you have to stay awake!" serunya sambil menepuk pipi si gadis pelan. Lagi-lagi pria tampan itu terpana. Pipi gadis itu sehalus pualam. Jiwa kelelakiannya perlahan muncul. 'Cantik sekali', batinnya.
Seketika logikanya kembali. Dia harus menelepon layanan gawat darurat secepatnya. Diraihnya telepon dari saku celana. Laki-laki itu hanya berharap ponselnya masih bisa digunakan setelah beberapa saat lalu ikut menemaninya berenang.
Dia menghela napas lega mendengar nada panggilan di ponsel. "Hello, 999!"
Respon cepat yang ia dapatkan membuatnya merasa lebih ringan.
"Bertahanlah, sebentar lagi ambulans akan segera tiba," ujarnya menyemangati. Namun sepertinya si gadis tak mendengar. "Kau kesakitan, ya?" Laki-laki itu memandang si gadis penuh rasa iba. Semakin ia eratkan pelukannya untuk kemudian ia menyadari ada sesuatu yang basah dan hangat mengalir di belakang kepala gadis asing itu.
Pria itu menarik tangannya dan melihat noda merah yang ia yakini sebagai darah, membasahi telapaknya. "Oh, my God! You're bleeding!"
Darah, mengingatkannya pada kejadian di masa lampau, membuatnya gemetar dan cemas. "Tidak, jangan! Jangan lagi ada kematian. Ya Tuhan," rapalnya. Kembali dia memeluk tubuh gadis itu erat. "Bertahanlah!" ucap pria itu, berusaha memberikan kekuatan.
Tak berapa lama, bunyi sirine samar terdengar, pertanda kendaraan medis sudah dekat. "Mereka sudah datang!" ujarnya penuh semangat. Namun gadis itu tak merespon.
Pria itu menatap si gadis nanar. Segera ia meraba pergelangan tangan gadis itu dan mencari titik nadinya. Dia mengucap syukur saat masih menemukan denyut nadi. "Bertahanlah, kumohon! Aku akan menemanimu sampai kau sembuh!" bisiknya di telinga si gadis.
Pria itu menghampiri dua orang polisi yang berdiri di depan pintu ruang gawat darurat. "Bagaimana, Sir? Apa anda sudah menemukan identitasnya?""Belum. Kami kesulitan mencari latar belakangnya. Sepertinya dia bukan berasal dari daerah sini," jawab salah seorang polisi. "Andakah yang membantu gadis itu tadi?" tanya polisi lainnya.Pria itu mengangguk dan mengulurkan tangannya, "I'm Brandon! Brandon Abraham Gallagher."Kedua polisi itu membalas jabatan tangan si pria sambil saling berpandangan, kemudian berpaling menatap Brandon lekat."You are Brandon Gallagher? The Brandon Gallagher?"(Brandon Gallagher yang itu?)Pria itu terkekeh, menampakkan lesung pipit di pipi kanannya, "Yes, it's me."Salah satu mata polisi itu membola. Ia kembali menyalami Brandon. "Whooaa, I can't believe we can meet here!" ujarnya antusias."Terima kasih atas sumbangan anda yang tak terkira pada komunitas penegak hukum," sahut polisi lainnya sembari menepuk lengan Brandon."Don't mention it," timpal Brandon m
Kegiatan baru Brandon selama seminggu ini adalah mengunjungi rumah sakit tiap pagi dan pulang di sore harinya. Akan tetapi, hari ini berbeda. Brandon terlihat sibuk mengemas barang yang kebanyakan berasal darinya, seperti kotak kue, termos dan camilan ringan. Dokter Marshall, dokter yang menangani gadis asing itu menyatakan pada Brandon bahwa luka robek di belakang kepala si gadis telah sembuh dan mengering. Gadis itu sudah diperbolehkan pulang dan harus menjalani kontrol tiap minggu. Tak ada gangguan kesehatan serius meskipun memori si gadis belum kembali. "Aku akan pulang kemana?" tanya gadis itu dengan sorot mata polos. Mengingatkan Brandon akan Kirk, bajing kecil yang ia rawat selama dua bulan terakhir. "Sementara kau akan tinggal di rumah orang tuaku," sahut Brandon menahan tawa. "Apa mereka tidak keberatan?" Gadis itu mengusap hidungnya yang memerah. "Seperti boneka," gumam Brandon tanpa sadar. "Apa?" "Nothing. Ayo!" Brandon buru-buru meraih kursi roda yang sudah disedi
Brandon merasakan seseorang mengusap punggungnya perlahan. Dia menoleh dan mendapati kakaknya sudah berdiri di belakangnya dengan berurai air mata. "Jean? What's wrong?" Brandon memeluk kakaknya erat, berusaha memberikan dukungan. Sementara si gadis yang baru saja memutuskan untuk memberi namanya dirinya sendiri dengan panggilan 'Daisy', beringsut mundur.Baru dua langkah dan telapak tangannya sudah digenggam oleh Jean. Jean menarik tangan gadis itu lalu mengajaknya berpelukan bersama. Aneh dan gemetar, saat lengan Brandon melingkar di pinggangnya, sedang lengan yang lain memeluk kakaknya. "Kami biasa begini, saat orang tua kami masih ada. Kami sering berpelukan bersama," jelas Jean. Setitik rasa nyeri hadir di hati Daisy. Beruntung sekali mereka yang memiliki kenangan. Tak seperti dirinya yang tak mampu mengingat apapun, bahkan dirinya sendiri pun dia tak ingat."Thank you," bisik Jean tepat di telinga Daisy. "For what?" Daisy balas berbisik. "Sudah mengembalikan tawa adikku yan
Brandon dan Daisy duduk berhadapan. Mereka hanya saling memandang tanpa mengucap sepatah kata. Sekali-sekali Brandon memainkan cangkir kopinya sebelum meneguk isinya. Jam di dinding sudah menunjukkan pukul satu malam. Tapi Daisy masih betah mengamati wajah tampan Brandon. "Aku bingung harus memulai cerita dari mana," Brandon mengetuk-ngetuk jari telunjuknya di bibir cangkir. "Mulailah dari awal," sahut Daisy ringan. Brandon mendengus kesal, "Tentu saja dari awal, tapi awal yang mana yang harus kuceritakan lebih dulu?" "I don't know! 'Kan kau yang akan bercerita, Brandon?" nada bicara Daisy meninggi, menunjukkan bahwa dia kehilangan kesabaran. "Well ..." Brandon berhenti sejenak, menarik napas panjang lalu membayangkan sesuatu. Wajahnya sedikit mendongak sedangkan matanya menerawang, penuh kekosongan. "I'm an Architect," ujarnya kemudian. "Yeah, you told me before," Daisy memutar bola matanya. "Arsitek freelance, ya kan?" "Begitulah, Daisy. Aku mengikuti kesukaan ayahku. Belia
Camilla Jacobson, gadis cantik bermata abu-abu dengan rambut pirang keemasan, adalah primadona fakultas teknik. Senyumnya yang menawan, karakternya yang ramah dan riang, menawan hati siapa saja yang melihatnya, termasuk seorang Brandon Gallagher. Siang itu, jam makan siang. Brandon sudah memesan beberapa menu makanan dan membawanya dalam nampan bersama Liam. Mereka sedikit kebingungan saat hendak duduk. Pasalnya, seluruh meja kafetaria sudah terisi. Liam berjalan sambil mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan seluas lapangan voli itu. Sementara Brandon hanya bersiul dan melangkah tak teratur mengelilingi meja-meja. "Right here, Brandon!" Brandon menghentikan langkahnya dan menoleh ke arah suara yang baru saja memanggil namanya. Dia membelalak tak percaya, ternyata gadis itu yang memanggil namanya. Gadis populer yang kecantikannya tak tertandingi di kampus. Liam pun ikut melongo melihatnya. "How did she know your name? (Bagaimana dia bisa tahu namamu)" tanya Liam keheranan. Bran
Gelak tawa memenuhi sebuah rumah besar berlantai tiga di Richmond, pinggirin kota London. Pesta yang cukup ramai sedang berlangsung di kediaman keluarga Thompson. Liam tampak bangga berdiri di samping ayahnya, sementara Brandon berdiri mengangkat sekaleng minuman ringan sambil melingkarkan lengan di pundak Liam.Mereka mengadakan perayaan atas lolosnya tender ayah Liam dalam pembangunan gedung pencakar langit baru di pusat kota London. "Aku bangga padamu, Brandon. Kau memiliki bakat yang luar biasa. Aku tak sabar ingin bekerja penuh waktu denganmu saat kau lulus nanti," seru Mr. Thompson, ayah Liam, sembari mendekatkan kepalanya pada Brandon."Dua tahun lagi, Dad! He will be all yours!" Liam mengacungkan dua jari membentuk huruf V yang disambut tawa renyah ayahnya.Di antara gegap gempita itu, Brandon mencari-cari sosok yang selama ini juga ikut mendukungnya, lalu seutas senyum muncul dari bibirnya saat melihat Camilla sedang bersandar di dinding di sudut ruangan yang juga sedang mema
"Kau tahu apa yang baru saja kulihat?" Liam setengah berlari memasuki ruang kerja Brandon tanpa permisi. Laki-laki itu langsung berdiri di depan meja, menatap lurus pada Brandon yang seakan tak peduli. Pria bermata biru itu sibuk mengamati layar laptopnya, mencoba memeriksa kembali kelengkapan presentasi untuk undangan pengajuan tender besok. "Kau mendengarku 'kan, Mate? Jangan pura-pura tuli!" Liam tanpa sungkan mengomel pada Brandon. Sudah beberapa lama, perusahaan ayah Liam yang kini dipercayakan padanya bekerja sama dan menjadi rekanan dengan perusahaan Brandon. "I'm busy right now. Aku tidak mau mendengar apapun," sahut Brandon malas. "Dia berciuman dengan Maxwell! Camilla menggandeng tangan dan mencium Maxwell tepat di hadapanku, Mate! Sepertinya dia sengaja berbuat itu! Dia sepertinya ingin memproklamirkan hubungannya dengan Maxwell ke seluruh dunia!" Ujar Liam menggebu-gebu. "Sudahlah, Liam. I don't want to hear it," desah Brandon, seketika dia merasa sangat lelah. "Samp
Brandon dan Camilla duduk berhadapan di sebuah restoran bintang lima favorit mereka berdua. Tak sekalipun Camilla menghadapkan wajahnya pada Brandon. "Tell me what to do," ujar pria itu menghiba. "Aku sudah lelah dengan semuanya, jangan paksa aku lagi," ucap Camilla pelan. "Apa kau sudah mengkhianatiku, Baby?" nada suara Brandon melembut. "Katakan sejujurnya, aku tak akan marah." Pelan-pelan, Camilla menoleh pada Brandon. Bulir-bulir air mata mengalir deras di pipinya. "Dia memberikan semua yang tak pernah kau berikan padaku," isaknya. "Apakah itu?" tanya Brandon tenang. "Perhatian," jawab Camilla singkat lalu kembali menunduk, menghindari tatapan teduh Brandon. Pria tampan itu hanya tersenyum masam. Alasan klise baginya. Akan tetapi karena rasa cintanya yang teramat besar untuk Camilla, Brandon memilih untuk menerima alasan itu. "Baiklah, aku akan memberi seluruh perhatianku untukmu, mulai detik ini, aku akan meninggalkan pekerjaanku!" "Brandon, please stop! Aku tidak mau, ok