Kegiatan baru Brandon selama seminggu ini adalah mengunjungi rumah sakit tiap pagi dan pulang di sore harinya. Akan tetapi, hari ini berbeda. Brandon terlihat sibuk mengemas barang yang kebanyakan berasal darinya, seperti kotak kue, termos dan camilan ringan.
Dokter Marshall, dokter yang menangani gadis asing itu menyatakan pada Brandon bahwa luka robek di belakang kepala si gadis telah sembuh dan mengering. Gadis itu sudah diperbolehkan pulang dan harus menjalani kontrol tiap minggu. Tak ada gangguan kesehatan serius meskipun memori si gadis belum kembali.
"Aku akan pulang kemana?" tanya gadis itu dengan sorot mata polos. Mengingatkan Brandon akan Kirk, bajing kecil yang ia rawat selama dua bulan terakhir.
"Sementara kau akan tinggal di rumah orang tuaku," sahut Brandon menahan tawa.
"Apa mereka tidak keberatan?" Gadis itu mengusap hidungnya yang memerah.
"Seperti boneka," gumam Brandon tanpa sadar.
"Apa?"
"Nothing. Ayo!" Brandon buru-buru meraih kursi roda yang sudah disediakan perawat beberapa saat lalu. Dia membantu gadis itu turun dari ranjang sambil memalingkan muka, untuk menutupi wajahnya yang memerah.
"Apa rumah orang tuamu jauh dari sini?" tanya gadis itu sesaat setelah mereka sampai di sebuah mobil mini cooper keluaran lama di tempat parkir.
"Sekitar setengah jam perjalanan. Masuklah," Brandon menuntun gadis itu dan mendudukkannya di bangku depan.
Brandon memutari mobil dan membuka pintu pengemudi. Dia memasukkan kunci mobil dan menyalakan mesinnya.
"Kakakmu cantik sekali, ya. Bagaikan model, tapi aku selalu gagal mengingat namanya," celoteh gadis itu. Brandon mengulum senyum. Tak disangka, gadis di sampingnya ini cerewet juga rupanya.
"Namanya Brittany. Brittany Jean Gallagher. Tapi aku selalu memanggilnya Jean, terasa lebih mudah diucapkan."
"Aku suka nama belakang kalian, Gal-la-gher," gadis itu mengeja sembari tangannya membentuk tulisan di udara. Lalu tangannya berhenti bergerak dan membeku.
Brandon tergelak. Gadis yang aneh dan lucu. Kemampuan bahasa Inggrisnya juga mengagumkan. Gadis itu seakan sudah tinggal lama di negara ini.
"Teman-temanku juga banyak yang menganggap bahwa Gallagher adalah nama yang keren," ujarnya sambil melirik si gadis yang ternyata juga sedang menatapnya intens.
Mereka memalingkan muka secara bersamaan. Tak menyangka pandangan mereka akan saling beradu satu sama lain.
Demi menghilangkan rasa canggung, Brandon memutar radio, mencari lagu favoritnya. Pilihannya jatuh pada suara unik Cindy Lauper yang menyanyikan lagu legendarisnya, 'Time After Time'. Lantunan merdu itu mengiringi perjalanan mereka di Sabtu pagi yang cerah di minggu pertama musim semi, hingga mobil tua itu tiba di sebuah jalan setapak yang berakhir di sebuah pagar kayu setinggi badan manusia dewasa.
Brandon turun dari kendaraan, mendorong pagar itu sampai terbuka, lalu kembali ke dalam mobil dan melajukannya ke depan halaman rumah khas pedesaan Inggris.
Gadis itu melongok setengah menunduk ke kaca depan mobil. "Rumah yang indah dan asri," pujinya.
Brandon tersenyum, mematikan mesin dan keluar dari mobil, lalu membukakan pintu untuk gadis asing itu. "Come in!" ajaknya. Gadis itu menerima uluran tangan Brandon dan menggandengnya. Mereka masuk ke dalam rumah bersamaan setelah Brandon membuka kunci.
"Where is everybody?" tanya gadis itu saat tak melihat siapapun di dalam rumah.
"Jean sedang lembur. Dia bekerja di firma hukum prestisius di London," terang David.
"Lalu, orang tuamu?"
"Itu," Brandon mengarahkan telunjuknya ke deretan foto berbingkai di atas perapian.
Gadis itu penasaran, menghampiri perapian dan mengamati satu demi satu foto yang terpampang di depannya. Ternyata wajah tampan itu Brandon dapatkan dari sang ayah. Sedangkan mata biru dan rambut coklat berasal dari ibunya. "Ibumu cantik sekali dan ayahmu sangat tampan, persis dirimu. Ups!" si gadis menutup mulutnya, sadar kalau ia telah kelepasan bicara.
Brandon terkekeh pelan. Gadis di depannya ini begitu menggemaskan, "Jadi menurutmu aku tampan?"
"Well, yes. Aku ingin berkenalan dengan orang tuamu." Gadis itu berjalan menelusuri ruangan, menutupi rasa malu.
"Mereka sudah meninggal. Dua tahun lalu, dalam kecelakaan mobil parah."
Kalimat Brandon menghentikan langkah gadis itu, membuatnya diam terpaku. "A-aku minta maaf ... Aku tidak tahu."
"It's okay. Semua sudah berlalu. Aku tidak apa-apa. Ayo, kukenalkan pada Kirk!" Brandon menarik lengan gadis itu. Mengajaknya melintasi dapur yang temboknya terbuat dari susunan batu bata berwarna-warni dengan pilar putih melengkung di atas kitchen set. Brandon membuka pintu dapur dan menunjukkan pada gadis itu halaman belakang yang luas. Banyak tanaman hias dan pepohonan rindang tumbuh di sana.
"Itu dia Kirk!" Brandon setengah berlari menuju rumah kecil yang terletak di bawah pohon.
Gadis itu kebingungan. Entah siapa Kirk yang dimaksud. Pertanyaannya pun terjawab saat seekor bajing keluar dari rumah kecil yang ternyata kandang, lalu melompat ke telapak tangan Brandon.
"Hey, Kirk! Are you okay, little man? Aku punya teman baru untukmu. Namanya ..." Brandon menoleh ke arah si gadis dengan wajah penuh tanda tanya. "Aku tidak tahu siapa namamu," sambungnya.
"Aku juga," timpal gadis itu. Kesedihan terpancar dari matanya.
Mereka sempat saling terdiam sejenak sebelum Brandon menjentikkan jarinya. "Aku punya nama yang bagus untukmu!"
"Apa itu?"
"Daisy!"
"Daisy?" ulang gadis itu.
"Ya, bunga cantik yang memancarkan kesegaran, kebahagiaan, dan kepolosan. Persis menggambarkan dirimu!"
Gadis itu terpesona mendengarnya. Sepertinya baru pertama kali ini seorang laki-laki memujinya setinggi itu. Atau mungkin saja tidak. Entahlah, gadis itu masih belum dapat mengingat apapun tentang dirinya.
"Aku suka. Daisy. Panggil saja Daisy!" gadis itu menyalami Brandon, mengulangi perkenalan mereka kembali.
"Baiklah, Daisy! Salam kenal! Aku Brandon."
Mereka pun tertawa di bawah pohon Beech, pohon rindang dengan daun rimbun, bersama Kirk yang ikut bercicit.
Dari ambang pintu dapur, sesosok wanita jelita dengan tubuh tinggi semampai, melihat pemandangan itu dengan raut penuh keharuan. "Will she be the one, little brother?" bisiknya.
Brandon merasakan seseorang mengusap punggungnya perlahan. Dia menoleh dan mendapati kakaknya sudah berdiri di belakangnya dengan berurai air mata. "Jean? What's wrong?" Brandon memeluk kakaknya erat, berusaha memberikan dukungan. Sementara si gadis yang baru saja memutuskan untuk memberi namanya dirinya sendiri dengan panggilan 'Daisy', beringsut mundur.Baru dua langkah dan telapak tangannya sudah digenggam oleh Jean. Jean menarik tangan gadis itu lalu mengajaknya berpelukan bersama. Aneh dan gemetar, saat lengan Brandon melingkar di pinggangnya, sedang lengan yang lain memeluk kakaknya. "Kami biasa begini, saat orang tua kami masih ada. Kami sering berpelukan bersama," jelas Jean. Setitik rasa nyeri hadir di hati Daisy. Beruntung sekali mereka yang memiliki kenangan. Tak seperti dirinya yang tak mampu mengingat apapun, bahkan dirinya sendiri pun dia tak ingat."Thank you," bisik Jean tepat di telinga Daisy. "For what?" Daisy balas berbisik. "Sudah mengembalikan tawa adikku yan
Brandon dan Daisy duduk berhadapan. Mereka hanya saling memandang tanpa mengucap sepatah kata. Sekali-sekali Brandon memainkan cangkir kopinya sebelum meneguk isinya. Jam di dinding sudah menunjukkan pukul satu malam. Tapi Daisy masih betah mengamati wajah tampan Brandon. "Aku bingung harus memulai cerita dari mana," Brandon mengetuk-ngetuk jari telunjuknya di bibir cangkir. "Mulailah dari awal," sahut Daisy ringan. Brandon mendengus kesal, "Tentu saja dari awal, tapi awal yang mana yang harus kuceritakan lebih dulu?" "I don't know! 'Kan kau yang akan bercerita, Brandon?" nada bicara Daisy meninggi, menunjukkan bahwa dia kehilangan kesabaran. "Well ..." Brandon berhenti sejenak, menarik napas panjang lalu membayangkan sesuatu. Wajahnya sedikit mendongak sedangkan matanya menerawang, penuh kekosongan. "I'm an Architect," ujarnya kemudian. "Yeah, you told me before," Daisy memutar bola matanya. "Arsitek freelance, ya kan?" "Begitulah, Daisy. Aku mengikuti kesukaan ayahku. Belia
Camilla Jacobson, gadis cantik bermata abu-abu dengan rambut pirang keemasan, adalah primadona fakultas teknik. Senyumnya yang menawan, karakternya yang ramah dan riang, menawan hati siapa saja yang melihatnya, termasuk seorang Brandon Gallagher. Siang itu, jam makan siang. Brandon sudah memesan beberapa menu makanan dan membawanya dalam nampan bersama Liam. Mereka sedikit kebingungan saat hendak duduk. Pasalnya, seluruh meja kafetaria sudah terisi. Liam berjalan sambil mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan seluas lapangan voli itu. Sementara Brandon hanya bersiul dan melangkah tak teratur mengelilingi meja-meja. "Right here, Brandon!" Brandon menghentikan langkahnya dan menoleh ke arah suara yang baru saja memanggil namanya. Dia membelalak tak percaya, ternyata gadis itu yang memanggil namanya. Gadis populer yang kecantikannya tak tertandingi di kampus. Liam pun ikut melongo melihatnya. "How did she know your name? (Bagaimana dia bisa tahu namamu)" tanya Liam keheranan. Bran
Gelak tawa memenuhi sebuah rumah besar berlantai tiga di Richmond, pinggirin kota London. Pesta yang cukup ramai sedang berlangsung di kediaman keluarga Thompson. Liam tampak bangga berdiri di samping ayahnya, sementara Brandon berdiri mengangkat sekaleng minuman ringan sambil melingkarkan lengan di pundak Liam.Mereka mengadakan perayaan atas lolosnya tender ayah Liam dalam pembangunan gedung pencakar langit baru di pusat kota London. "Aku bangga padamu, Brandon. Kau memiliki bakat yang luar biasa. Aku tak sabar ingin bekerja penuh waktu denganmu saat kau lulus nanti," seru Mr. Thompson, ayah Liam, sembari mendekatkan kepalanya pada Brandon."Dua tahun lagi, Dad! He will be all yours!" Liam mengacungkan dua jari membentuk huruf V yang disambut tawa renyah ayahnya.Di antara gegap gempita itu, Brandon mencari-cari sosok yang selama ini juga ikut mendukungnya, lalu seutas senyum muncul dari bibirnya saat melihat Camilla sedang bersandar di dinding di sudut ruangan yang juga sedang mema
"Kau tahu apa yang baru saja kulihat?" Liam setengah berlari memasuki ruang kerja Brandon tanpa permisi. Laki-laki itu langsung berdiri di depan meja, menatap lurus pada Brandon yang seakan tak peduli. Pria bermata biru itu sibuk mengamati layar laptopnya, mencoba memeriksa kembali kelengkapan presentasi untuk undangan pengajuan tender besok. "Kau mendengarku 'kan, Mate? Jangan pura-pura tuli!" Liam tanpa sungkan mengomel pada Brandon. Sudah beberapa lama, perusahaan ayah Liam yang kini dipercayakan padanya bekerja sama dan menjadi rekanan dengan perusahaan Brandon. "I'm busy right now. Aku tidak mau mendengar apapun," sahut Brandon malas. "Dia berciuman dengan Maxwell! Camilla menggandeng tangan dan mencium Maxwell tepat di hadapanku, Mate! Sepertinya dia sengaja berbuat itu! Dia sepertinya ingin memproklamirkan hubungannya dengan Maxwell ke seluruh dunia!" Ujar Liam menggebu-gebu. "Sudahlah, Liam. I don't want to hear it," desah Brandon, seketika dia merasa sangat lelah. "Samp
Brandon dan Camilla duduk berhadapan di sebuah restoran bintang lima favorit mereka berdua. Tak sekalipun Camilla menghadapkan wajahnya pada Brandon. "Tell me what to do," ujar pria itu menghiba. "Aku sudah lelah dengan semuanya, jangan paksa aku lagi," ucap Camilla pelan. "Apa kau sudah mengkhianatiku, Baby?" nada suara Brandon melembut. "Katakan sejujurnya, aku tak akan marah." Pelan-pelan, Camilla menoleh pada Brandon. Bulir-bulir air mata mengalir deras di pipinya. "Dia memberikan semua yang tak pernah kau berikan padaku," isaknya. "Apakah itu?" tanya Brandon tenang. "Perhatian," jawab Camilla singkat lalu kembali menunduk, menghindari tatapan teduh Brandon. Pria tampan itu hanya tersenyum masam. Alasan klise baginya. Akan tetapi karena rasa cintanya yang teramat besar untuk Camilla, Brandon memilih untuk menerima alasan itu. "Baiklah, aku akan memberi seluruh perhatianku untukmu, mulai detik ini, aku akan meninggalkan pekerjaanku!" "Brandon, please stop! Aku tidak mau, ok
"Aku masih mengingat saat peti mati mereka diturunkan perlahan ke liang lahat. Ingin sekali aku melupakan tiap detil kejadian, namun selalu saja gagal. Bayangan wajah orang tuaku di saat terakhir mereka, masih saja berputar di kepala. Aku yang bersalah, Daisy. Aku yang telah membunuh mereka," Brandon terisak. Laki-laki tinggi besar itu menangis hingga bahunya berguncang. Ia menutupi mukanya dengan kedua telapak tangan. Daisy mungkin sedang mengalami amnesia. Namun, satu hal yang ia tahu. Hatinya rapuh dan lembut. Hanya dengan melihat kesedihan yang mendalam di diri Brandon saja sudah membuatnya merasa hancur. Maka, Daisy berdiri mendekati Brandon yang masih tertunduk menutupi muka dengan siku yang bertumpu di atas meja. Daisy memberanikan diri memeluknya. Memeluk Brandon erat. Dia tak peduli meskipun baru mengenal pria itu. Dia juga tak peduli meskipun jantungnya kini berdetak puluhan kali lebih cepat. Dia hanya ingin menenangkan Brandon. "Sedang apa kalian?" tiba-tiba Jean sudah ber
"Aku harap kau sudah sarapan, karena Jean hanya menyiapkan makanan untuk kami berdua dan aku tidak mau membagi sarapanku denganmu," ujar Brandon, masih dengan nada santai.Liam masih berdiri terpaku melihat dua orang anak manusia di depannya ini. Gadis cantik bagaikan boneka, berambut hitam legam dengan rambut acak-acakan dan piyama yang kusut sedang duduk berduaan dengan Brandon yang tak memakai baju. Angan Liam sudah melanglang buana, membayangkan apa yang mungkin sudah terjadi di antara dua anak manusia berbeda jenis itu."Jangan berpikiran macam-macam! Duduklah!" titah Brandon.Bagaikan kerbau yang dicocok hidungnya, Liam berjalan seperti robot dan mengambil tempat duduk di samping Daisy, lalu memperhatikan gadis itu lekat-lekat.Merasa diperhatikan oleh Liam, Daisy tersenyum dan memperkenalkan diri, "Hai, I'm Daisy. Sembilan hari yang lalu aku tenggelam di sungai dan Brandon menyelamatkanku. Aku menginap di rumahnya untuk sementara sampai ingatanku kembali. Kau tahu? Aku mengalami