Camilla Jacobson, gadis cantik bermata abu-abu dengan rambut pirang keemasan, adalah primadona fakultas teknik. Senyumnya yang menawan, karakternya yang ramah dan riang, menawan hati siapa saja yang melihatnya, termasuk seorang Brandon Gallagher.
Siang itu, jam makan siang. Brandon sudah memesan beberapa menu makanan dan membawanya dalam nampan bersama Liam. Mereka sedikit kebingungan saat hendak duduk. Pasalnya, seluruh meja kafetaria sudah terisi.
Liam berjalan sambil mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan seluas lapangan voli itu. Sementara Brandon hanya bersiul dan melangkah tak teratur mengelilingi meja-meja.
"Right here, Brandon!"
Brandon menghentikan langkahnya dan menoleh ke arah suara yang baru saja memanggil namanya. Dia membelalak tak percaya, ternyata gadis itu yang memanggil namanya. Gadis populer yang kecantikannya tak tertandingi di kampus. Liam pun ikut melongo melihatnya.
"How did she know your name? (Bagaimana dia bisa tahu namamu)" tanya Liam keheranan.
Brandon mengendikkan bahu, lalu menghampiri gadis itu. Liam berlari kecil mengikutinya ke arah meja Camilla Jacobson. Mereka meletakkan nampan pelan lalu duduk di depan Camilla yang tampak mengembangkan senyum, menampilkan deretan gigi putihnya.
"How are you, Brandon?" sapanya manis.
"You know me?" Brandon balik bertanya.
"Sejak hari pertama kamu masuk kesini, aku sudah memperhatikanmu," kerling Camilla.
"How?" sahut Liam, masih tak percaya akan apa yang tengah terjadi.
"Well, siapa yang tidak mau memperhatikan muka imut bermata biru?" jawab Camilla, sorot matanya tak lepas dari wajah Brandon.
"Tapi, aku juga tampan," timpal Liam tak mau kalah.
"Brandon is different, I guess. Sedikit misterius. Aku suka.."
'Aku suka! Aku suka!' Kalimat terakhir Camilla berputar di dalam benak Brandon. "Aku juga suka!" seru Brandon spontan. Lalu terpaku saat menyadari kesalahan dalam bicaranya. "Ehm, maksudku, aku suka kalau kau suka. Jadi ya, begitulah. Whatever. Lupakan apa yang kukatakan barusan, ehmm.." Salah tingkah, Brandon mengambil sandwich tuna dan memakannya tanpa jeda, membuat Camilla tertawa geli.
Liam mengusap wajahnya kasar sembari berdecak iri, kemudian mengulurkan tangannya pada Camilla, "I'm Liam, by the way!"
"Hai, Liam. Nice to meet you," Camilla membalas uluran tangan Liam.
Perkenalan pertama yang mengesankan menurut Brandon, sebab dia tak pernah dekat dengan gadis manapun seumur hidupnya, kecuali kakak perempuan yang umurnya hanya selisih dua tahun saja dari usianya. Meskipun menurut Brandon, Jean tak bisa dikategorikan sebagai perempuan karena tingkahnya yang terlalu bar-bar.
Pertemuan selanjutnya menjadi lebih intens. Mereka sering menghadiri kuliah bersama. Camilla juga sering mengajak mereka keluar. Awalnya, mereka jalan bertiga. Lama kelamaan, Liam mundur karena memiliki proyek baru bersama sang ayah yang juga seorang arsitek.
Seperti sabtu sore di musim panas itu, Camilla mengajak Brandon berkencan dan menyatakan cintanya. Tentu saja Brandon tak menolak. Dia menerima cinta Camilla dan mendapatkan ciuman pertamanya kala itu.
"This is my first kiss," ucap Brandon jujur sesaat setelah bibir ranum itu melepaskan pagutannya dari bibir Brandon.
Camilla terkekeh pelan, jemari lentiknya mengusap rahang Brandon yang terlihat begitu kokoh, "Don't worry, baby. There will be second kiss, third and more and more."
Camilla mendekatkan bibirnya lagi, namun harus terhenti saat dering ponsel Brandon berbunyi. Brandon terkejut dan bergerak mundur, lalu mengangkat telepon. Debar jantungnya belum kembali normal setelah 'serangan' itu. Mukanya bersemu merah. Camilla makin gemas melihatnya.
"Ha..halo," ujar Brandon gugup.
"Mate, kau dimana? Aku ingin bicara!" terdengar suara Liam di seberang sana.
"Aku sedang berada di tribun lapangan football, Liam! Ada apa?" Brandon menunduk geli saat hidung mancung Camilla bermain di pipinya.
"Sedang apa kau di sana? Cepatlah kemari! Aku punya pekerjaan untukmu!" seru Liam.
"Pekerjaan apa?"
"Ayahku membutuhkan seseorang untuk menggambar rancangan penthouse baru. Aku bilang kau ahlinya. Rancanganmu selalu sempurna. Ayahku tertarik padamu," tutur Liam.
Brandon sudah akan melonjak kegirangan jika saja ia tak ingat ada Camilla di sampingnya. Bagaimanapun dia harus menjaga citranya di depan gadis itu. "Baiklah, Liam! Katakan pada ayahmu, aku bersedia. Aku akan memberikan karya terbaikku. I promise i won't let him down (aku janji tak akan mengecewakannya)," ujar Brandon berapi-api, kemudian mengakhiri panggilannya.
"What's going on, baby?" tanya Camilla genit.
"Ayah Liam, dia hendak memakai rancanganku," jawab Brandon antusias. Saat itu dia merasa menjadi manusia paling beruntung di seluruh dunia, mendapatkan cinta sekaligus pekerjaan pertamanya dalam waktu yang bersamaan.
Gelak tawa memenuhi sebuah rumah besar berlantai tiga di Richmond, pinggirin kota London. Pesta yang cukup ramai sedang berlangsung di kediaman keluarga Thompson. Liam tampak bangga berdiri di samping ayahnya, sementara Brandon berdiri mengangkat sekaleng minuman ringan sambil melingkarkan lengan di pundak Liam.Mereka mengadakan perayaan atas lolosnya tender ayah Liam dalam pembangunan gedung pencakar langit baru di pusat kota London. "Aku bangga padamu, Brandon. Kau memiliki bakat yang luar biasa. Aku tak sabar ingin bekerja penuh waktu denganmu saat kau lulus nanti," seru Mr. Thompson, ayah Liam, sembari mendekatkan kepalanya pada Brandon."Dua tahun lagi, Dad! He will be all yours!" Liam mengacungkan dua jari membentuk huruf V yang disambut tawa renyah ayahnya.Di antara gegap gempita itu, Brandon mencari-cari sosok yang selama ini juga ikut mendukungnya, lalu seutas senyum muncul dari bibirnya saat melihat Camilla sedang bersandar di dinding di sudut ruangan yang juga sedang mema
"Kau tahu apa yang baru saja kulihat?" Liam setengah berlari memasuki ruang kerja Brandon tanpa permisi. Laki-laki itu langsung berdiri di depan meja, menatap lurus pada Brandon yang seakan tak peduli. Pria bermata biru itu sibuk mengamati layar laptopnya, mencoba memeriksa kembali kelengkapan presentasi untuk undangan pengajuan tender besok. "Kau mendengarku 'kan, Mate? Jangan pura-pura tuli!" Liam tanpa sungkan mengomel pada Brandon. Sudah beberapa lama, perusahaan ayah Liam yang kini dipercayakan padanya bekerja sama dan menjadi rekanan dengan perusahaan Brandon. "I'm busy right now. Aku tidak mau mendengar apapun," sahut Brandon malas. "Dia berciuman dengan Maxwell! Camilla menggandeng tangan dan mencium Maxwell tepat di hadapanku, Mate! Sepertinya dia sengaja berbuat itu! Dia sepertinya ingin memproklamirkan hubungannya dengan Maxwell ke seluruh dunia!" Ujar Liam menggebu-gebu. "Sudahlah, Liam. I don't want to hear it," desah Brandon, seketika dia merasa sangat lelah. "Samp
Brandon dan Camilla duduk berhadapan di sebuah restoran bintang lima favorit mereka berdua. Tak sekalipun Camilla menghadapkan wajahnya pada Brandon. "Tell me what to do," ujar pria itu menghiba. "Aku sudah lelah dengan semuanya, jangan paksa aku lagi," ucap Camilla pelan. "Apa kau sudah mengkhianatiku, Baby?" nada suara Brandon melembut. "Katakan sejujurnya, aku tak akan marah." Pelan-pelan, Camilla menoleh pada Brandon. Bulir-bulir air mata mengalir deras di pipinya. "Dia memberikan semua yang tak pernah kau berikan padaku," isaknya. "Apakah itu?" tanya Brandon tenang. "Perhatian," jawab Camilla singkat lalu kembali menunduk, menghindari tatapan teduh Brandon. Pria tampan itu hanya tersenyum masam. Alasan klise baginya. Akan tetapi karena rasa cintanya yang teramat besar untuk Camilla, Brandon memilih untuk menerima alasan itu. "Baiklah, aku akan memberi seluruh perhatianku untukmu, mulai detik ini, aku akan meninggalkan pekerjaanku!" "Brandon, please stop! Aku tidak mau, ok
"Aku masih mengingat saat peti mati mereka diturunkan perlahan ke liang lahat. Ingin sekali aku melupakan tiap detil kejadian, namun selalu saja gagal. Bayangan wajah orang tuaku di saat terakhir mereka, masih saja berputar di kepala. Aku yang bersalah, Daisy. Aku yang telah membunuh mereka," Brandon terisak. Laki-laki tinggi besar itu menangis hingga bahunya berguncang. Ia menutupi mukanya dengan kedua telapak tangan. Daisy mungkin sedang mengalami amnesia. Namun, satu hal yang ia tahu. Hatinya rapuh dan lembut. Hanya dengan melihat kesedihan yang mendalam di diri Brandon saja sudah membuatnya merasa hancur. Maka, Daisy berdiri mendekati Brandon yang masih tertunduk menutupi muka dengan siku yang bertumpu di atas meja. Daisy memberanikan diri memeluknya. Memeluk Brandon erat. Dia tak peduli meskipun baru mengenal pria itu. Dia juga tak peduli meskipun jantungnya kini berdetak puluhan kali lebih cepat. Dia hanya ingin menenangkan Brandon. "Sedang apa kalian?" tiba-tiba Jean sudah ber
"Aku harap kau sudah sarapan, karena Jean hanya menyiapkan makanan untuk kami berdua dan aku tidak mau membagi sarapanku denganmu," ujar Brandon, masih dengan nada santai.Liam masih berdiri terpaku melihat dua orang anak manusia di depannya ini. Gadis cantik bagaikan boneka, berambut hitam legam dengan rambut acak-acakan dan piyama yang kusut sedang duduk berduaan dengan Brandon yang tak memakai baju. Angan Liam sudah melanglang buana, membayangkan apa yang mungkin sudah terjadi di antara dua anak manusia berbeda jenis itu."Jangan berpikiran macam-macam! Duduklah!" titah Brandon.Bagaikan kerbau yang dicocok hidungnya, Liam berjalan seperti robot dan mengambil tempat duduk di samping Daisy, lalu memperhatikan gadis itu lekat-lekat.Merasa diperhatikan oleh Liam, Daisy tersenyum dan memperkenalkan diri, "Hai, I'm Daisy. Sembilan hari yang lalu aku tenggelam di sungai dan Brandon menyelamatkanku. Aku menginap di rumahnya untuk sementara sampai ingatanku kembali. Kau tahu? Aku mengalami
Brandon mendengus kesal saat melihat Daisy dan Liam asyik bercanda di sofa ruang tamu. Entah apa yang mereka bicarakan sampai-sampai Daisy tertawa lepas."Bukannya kau sedang banyak pekerjaan, Liam? Kapan kau akan pulang ke London?" sindir Brandon."Oh, sepertinya aku akan menginap malam ini," balasnya ringan, tanpa beban.Brandon menggeram. Baru delapan jam bertemu dengan Daisy saja, Liam sudah berani menempel seperti perangko. Apalagi jika Brandon mengijinkannya menginap? Sejak dulu, Liam selalu lebih berpengalaman dalam hal perempuan. Brandon hanya punya seorang mantan saja selama hidupnya, yaitu Camilla. Sedangkan Liam, dia bahkan tak sanggup menghitung berapa gadis yang sudah pernah menjalin hubungan dengannya."Ayo, ikut aku!" ajak Brandon tiba-tiba sembari menarik pergelangan tangan Daisy."Kemana?" tanya Daisy kebingungan. "Membeli baju!" Jawab Brandon sekenanya."Baju siapa?" Cecar Daisy."Bajumu, Daisy! Selama tiga hari di rumah ini, kau memakai baju-baju kakakku. Terlalu be
Daisy membalas lambaian tangan Liam sebelum pria itu memasuki mobilnya. Liam memutuskan untuk kembali ke London malam ini. Brandon yang berdiri di samping Daisy tak bisa menyembunyikan wajah bahagianya saat mobil milik Liam meninggalkan halaman rumah peninggalan orang tuanya."Aku akan memasak makan malam spesial untuk kita malam ini," Brandon tersenyum manis pada Daisy."Kau akan memasak apa?" tanya Daisy seraya melingkarkan tangannya pada lengan Brandon."Masakan kesukaan ibuku, ayam panggang madu. Kau mau membantuku?" tawar Brandon."Sure!" Mata Daisy berbinar. Baginya aktivitas apapun asalkan bersama Brandon adalah menyenangkan.Dengan hati-hati, Brandon mengeluarkan ayam potong dari dalam kulkas, sementara Daisy mengikuti instruksi Brandon untuk membuat bumbu tabur.Daisy sedikit kesulitan saat memotong paprika yang agak licin, hingga tanpa sengaja pisaunya malah menggores telunjuknya. "Ouch," pekiknya kesakitan."Hey, be careful!" Brandon refleks meraih telunjuk Daisy dan menghi
Daisy mengamati pria itu mulai dari ujung kepala hingga kaki. Mencoba menggali ingatan yang mungkin saja masih tersisa dari masa lalunya. "Aku sama sekali tak bisa mengingatnya," bisik Daisy lirih pada Brandon. "It's okay. Jangan dipaksakan," hibur Brandon sembari mengusap lembut punggung gadis itu. "Maafkan om yang terlambat menjemputmu, Nak," ucap pria asing itu dalam bahasa Indonesia. Rautnya terlihat sedih dan memelas. Brandon menautkan alisnya tak mengerti, "I beg you pardon?" "Sudah berminggu-minggu saya mencari keponakan saya ini," ujar pria itu. "Dia menghilang begitu saja setelah pamit berangkat kerja paruh waktu." Daisy beringsut. Mencengkeram lengan kaos Brandon erat. Ketakutan terpancar dari wajahnya. "Dia terkena amnesia, Sir ..." nada kalimat Brandon menggantung. "Hendra! Hendra Wasesa!" Pria itu mengulurkan tangannya dan menjabat tangan Brandon. Tangan pria itu terasa kasar, seperti telah melakukan pekerjaan berat selama bertahun-tahun. "Silakan masuk. Have a sea