Gelak tawa memenuhi sebuah rumah besar berlantai tiga di Richmond, pinggirin kota London. Pesta yang cukup ramai sedang berlangsung di kediaman keluarga Thompson. Liam tampak bangga berdiri di samping ayahnya, sementara Brandon berdiri mengangkat sekaleng minuman ringan sambil melingkarkan lengan di pundak Liam.
Mereka mengadakan perayaan atas lolosnya tender ayah Liam dalam pembangunan gedung pencakar langit baru di pusat kota London.
"Aku bangga padamu, Brandon. Kau memiliki bakat yang luar biasa. Aku tak sabar ingin bekerja penuh waktu denganmu saat kau lulus nanti," seru Mr. Thompson, ayah Liam, sembari mendekatkan kepalanya pada Brandon.
"Dua tahun lagi, Dad! He will be all yours!" Liam mengacungkan dua jari membentuk huruf V yang disambut tawa renyah ayahnya.
Di antara gegap gempita itu, Brandon mencari-cari sosok yang selama ini juga ikut mendukungnya, lalu seutas senyum muncul dari bibirnya saat melihat Camilla sedang bersandar di dinding di sudut ruangan yang juga sedang memandang ke arahnya. Gadis cantik itu melambaikan tangannya bangga. Brandon kemudian turun dari panggung dan menghampirinya.
Kecupan singkat dan pelukan hangat, Brandon berikan untuk kekasihnya. "Terima kasih sudah ikut menemaniku," ucapnya.
"Aku bahagia bisa menjadi bagian dari kesuksesanmu," Camilla balas memeluk Brandon erat. Dua tangannya ia kalungkan ke leher Brandon.
Sebuah pencapaian luar biasa untuk remaja yang baru berusia 16 tahun. Pencapaian pertamanya dan yang jelas bukan yang terakhir. Sebab setelah proyek bersama ayah Liam, Brandon menerima proyek lain yang berasal dari dosennya. Lagi-lagi proyek itu berjalan lancar.
Pekerjaan demi pekerjaan Brandon jalani, tanpa terasa hingga hari terakhirnya di masa perkuliahan. Tabungannya menggelembung, saldo dalam rekeningnya semakin bertambah, memunculkan ide gila dalam kepala briliannya untuk mendirikan sebuah perusahaan kecil-kecilan atas namanya sendiri.
Ide gila yang disambut luar biasa oleh Liam. Bahkan dia orang pertama yang menyetujui serta mendukung keinginan Brandon. "Aku akan membantumu. Apapun yang kau butuhkan, aku selalu siap!" seru Liam.
Brandon tak mau memberi jeda waktu sedikitpun dalam mewujudkan cita-citanya. Sehari setelah wisuda kelulusan, ditemani oleh ayahnya dan juga Liam, Brandon berburu gedung sederhana dengan harga murah untuk disewa. Pilihan pun jatuh pada sebuah gedung tua di pinggiran kota London.
"Are you sure, Son?" Alex, sang ayah, mempertanyakan kesungguhan Brandon, melihat pilihan anaknya jatuh pada gedung yang temboknya tampak lusuh, dengan sedikit retakan di sana-sini.
"Hanya untuk sementara, Dad. Kalau tabunganku terkumpul lagi, aku akan menyewa di pusat kota," jawab Brandon sungguh-sungguh.
Alex yang memperhatikan keseriusan dalam sorot mata putranya, pada akhirnya menyetujui keinginan sang putra. Seorang ayah akan selalu mendukung apapun keputusan putranya, meskipun kadang pilihan yang dibuat oleh sang anak kadang tak sepenuhnya tepat, namun di situlah letak kehebatan orang tua, membersamai di saat-saat terbaiknya dan membantu sang anak berdiri ketika terjatuh.
Hari pertama menempati gedung tua itu dihabiskan dengan membersihkan dan memperbaiki tiap sudut ruangan. Mengecat ulang dan menambahkan ornamen dan dekorasi baru untuk mempercantik tempat kerja barunya, dibantu oleh kedua orang tuanya, kakak, Liam dan juga Camilla. Brandon juga berbelanja peralatan dan furniture kantor serta barang-barang penunjang lainnya, sampai sisa uang di tabungannya hanya tersisa beberapa poundsterling saja.
Akan tetapi, semua lelah itu terbayarkan saat Brandon menerima klien pertamanya. Ditambah kepuasan yang didapatkan oleh sang klien dengan hasil pekerjaan Brandon. Lalu, bergulirlah klien kedua dan berikutnya dan berikutnya lagi. Tabungan Brandon terkumpul kembali dalam waktu kurang dari dua tahun.
Kini, uangnya cukup untuk menyewa dua lantai di pusat perkantoran di sebuah gedung pencakar langit terkenal dan ikonik di London, The Gherkin. Lagi-lagi, Brandon tak menyia-nyiakan waktunya. Seluruh properti dan furnitur yang ia miliki di gedung tua, ia pindahkan seluruhnya ke tempat sewanya yang baru.
Keberuntungan Brandon tak berhenti sampai di situ. Proyek-proyek besar mulai ia tangani. Tender demi tender ia menangkan. Bahkan Brandon mampu membawa perusahaannya, Gallagher and Co., melantai di bursa saham. Brandon menjadi salah satu pengusaha muda yang masuk di deretan 100 nama besar di sebuah majalah bisnis paling prestisius di Inggris, pada usia 25 tahun. Paras menawan Brandon juga tampil berkali-kali di sampul majalah. Namun, ada resiko yang harus ia hadapi di puncak kesuksesannya, yaitu berkurangnya waktu bersama keluarga dan orang-orang terdekatnya.
Hubungannya dengan Camilla kian renggang, seiring sibuknya Brandon dalam pekerjaan. Ditambah dengan persiapannya dalam menghadapi undangan pengajuan tender yang akan diadakan bulan depan, membuatnya harus benar-benar mempersiapkan segalanya secara matang.
Saat itu Brandon berpikir, dia bisa mendekati Camilla kembali setelah semua pekerjaannya selesai. Namun, tidak demikian halnya dengan Camilla. Tanpa Brandon sadari, Camilla telah menjauh pada jarak yang tak bisa tergapai. Camilla juga telah menyiapkan suatu hal besar untuk 'membalas' Brandon.
"Kau tahu apa yang baru saja kulihat?" Liam setengah berlari memasuki ruang kerja Brandon tanpa permisi. Laki-laki itu langsung berdiri di depan meja, menatap lurus pada Brandon yang seakan tak peduli. Pria bermata biru itu sibuk mengamati layar laptopnya, mencoba memeriksa kembali kelengkapan presentasi untuk undangan pengajuan tender besok. "Kau mendengarku 'kan, Mate? Jangan pura-pura tuli!" Liam tanpa sungkan mengomel pada Brandon. Sudah beberapa lama, perusahaan ayah Liam yang kini dipercayakan padanya bekerja sama dan menjadi rekanan dengan perusahaan Brandon. "I'm busy right now. Aku tidak mau mendengar apapun," sahut Brandon malas. "Dia berciuman dengan Maxwell! Camilla menggandeng tangan dan mencium Maxwell tepat di hadapanku, Mate! Sepertinya dia sengaja berbuat itu! Dia sepertinya ingin memproklamirkan hubungannya dengan Maxwell ke seluruh dunia!" Ujar Liam menggebu-gebu. "Sudahlah, Liam. I don't want to hear it," desah Brandon, seketika dia merasa sangat lelah. "Samp
Brandon dan Camilla duduk berhadapan di sebuah restoran bintang lima favorit mereka berdua. Tak sekalipun Camilla menghadapkan wajahnya pada Brandon. "Tell me what to do," ujar pria itu menghiba. "Aku sudah lelah dengan semuanya, jangan paksa aku lagi," ucap Camilla pelan. "Apa kau sudah mengkhianatiku, Baby?" nada suara Brandon melembut. "Katakan sejujurnya, aku tak akan marah." Pelan-pelan, Camilla menoleh pada Brandon. Bulir-bulir air mata mengalir deras di pipinya. "Dia memberikan semua yang tak pernah kau berikan padaku," isaknya. "Apakah itu?" tanya Brandon tenang. "Perhatian," jawab Camilla singkat lalu kembali menunduk, menghindari tatapan teduh Brandon. Pria tampan itu hanya tersenyum masam. Alasan klise baginya. Akan tetapi karena rasa cintanya yang teramat besar untuk Camilla, Brandon memilih untuk menerima alasan itu. "Baiklah, aku akan memberi seluruh perhatianku untukmu, mulai detik ini, aku akan meninggalkan pekerjaanku!" "Brandon, please stop! Aku tidak mau, ok
"Aku masih mengingat saat peti mati mereka diturunkan perlahan ke liang lahat. Ingin sekali aku melupakan tiap detil kejadian, namun selalu saja gagal. Bayangan wajah orang tuaku di saat terakhir mereka, masih saja berputar di kepala. Aku yang bersalah, Daisy. Aku yang telah membunuh mereka," Brandon terisak. Laki-laki tinggi besar itu menangis hingga bahunya berguncang. Ia menutupi mukanya dengan kedua telapak tangan. Daisy mungkin sedang mengalami amnesia. Namun, satu hal yang ia tahu. Hatinya rapuh dan lembut. Hanya dengan melihat kesedihan yang mendalam di diri Brandon saja sudah membuatnya merasa hancur. Maka, Daisy berdiri mendekati Brandon yang masih tertunduk menutupi muka dengan siku yang bertumpu di atas meja. Daisy memberanikan diri memeluknya. Memeluk Brandon erat. Dia tak peduli meskipun baru mengenal pria itu. Dia juga tak peduli meskipun jantungnya kini berdetak puluhan kali lebih cepat. Dia hanya ingin menenangkan Brandon. "Sedang apa kalian?" tiba-tiba Jean sudah ber
"Aku harap kau sudah sarapan, karena Jean hanya menyiapkan makanan untuk kami berdua dan aku tidak mau membagi sarapanku denganmu," ujar Brandon, masih dengan nada santai.Liam masih berdiri terpaku melihat dua orang anak manusia di depannya ini. Gadis cantik bagaikan boneka, berambut hitam legam dengan rambut acak-acakan dan piyama yang kusut sedang duduk berduaan dengan Brandon yang tak memakai baju. Angan Liam sudah melanglang buana, membayangkan apa yang mungkin sudah terjadi di antara dua anak manusia berbeda jenis itu."Jangan berpikiran macam-macam! Duduklah!" titah Brandon.Bagaikan kerbau yang dicocok hidungnya, Liam berjalan seperti robot dan mengambil tempat duduk di samping Daisy, lalu memperhatikan gadis itu lekat-lekat.Merasa diperhatikan oleh Liam, Daisy tersenyum dan memperkenalkan diri, "Hai, I'm Daisy. Sembilan hari yang lalu aku tenggelam di sungai dan Brandon menyelamatkanku. Aku menginap di rumahnya untuk sementara sampai ingatanku kembali. Kau tahu? Aku mengalami
Brandon mendengus kesal saat melihat Daisy dan Liam asyik bercanda di sofa ruang tamu. Entah apa yang mereka bicarakan sampai-sampai Daisy tertawa lepas."Bukannya kau sedang banyak pekerjaan, Liam? Kapan kau akan pulang ke London?" sindir Brandon."Oh, sepertinya aku akan menginap malam ini," balasnya ringan, tanpa beban.Brandon menggeram. Baru delapan jam bertemu dengan Daisy saja, Liam sudah berani menempel seperti perangko. Apalagi jika Brandon mengijinkannya menginap? Sejak dulu, Liam selalu lebih berpengalaman dalam hal perempuan. Brandon hanya punya seorang mantan saja selama hidupnya, yaitu Camilla. Sedangkan Liam, dia bahkan tak sanggup menghitung berapa gadis yang sudah pernah menjalin hubungan dengannya."Ayo, ikut aku!" ajak Brandon tiba-tiba sembari menarik pergelangan tangan Daisy."Kemana?" tanya Daisy kebingungan. "Membeli baju!" Jawab Brandon sekenanya."Baju siapa?" Cecar Daisy."Bajumu, Daisy! Selama tiga hari di rumah ini, kau memakai baju-baju kakakku. Terlalu be
Daisy membalas lambaian tangan Liam sebelum pria itu memasuki mobilnya. Liam memutuskan untuk kembali ke London malam ini. Brandon yang berdiri di samping Daisy tak bisa menyembunyikan wajah bahagianya saat mobil milik Liam meninggalkan halaman rumah peninggalan orang tuanya."Aku akan memasak makan malam spesial untuk kita malam ini," Brandon tersenyum manis pada Daisy."Kau akan memasak apa?" tanya Daisy seraya melingkarkan tangannya pada lengan Brandon."Masakan kesukaan ibuku, ayam panggang madu. Kau mau membantuku?" tawar Brandon."Sure!" Mata Daisy berbinar. Baginya aktivitas apapun asalkan bersama Brandon adalah menyenangkan.Dengan hati-hati, Brandon mengeluarkan ayam potong dari dalam kulkas, sementara Daisy mengikuti instruksi Brandon untuk membuat bumbu tabur.Daisy sedikit kesulitan saat memotong paprika yang agak licin, hingga tanpa sengaja pisaunya malah menggores telunjuknya. "Ouch," pekiknya kesakitan."Hey, be careful!" Brandon refleks meraih telunjuk Daisy dan menghi
Daisy mengamati pria itu mulai dari ujung kepala hingga kaki. Mencoba menggali ingatan yang mungkin saja masih tersisa dari masa lalunya. "Aku sama sekali tak bisa mengingatnya," bisik Daisy lirih pada Brandon. "It's okay. Jangan dipaksakan," hibur Brandon sembari mengusap lembut punggung gadis itu. "Maafkan om yang terlambat menjemputmu, Nak," ucap pria asing itu dalam bahasa Indonesia. Rautnya terlihat sedih dan memelas. Brandon menautkan alisnya tak mengerti, "I beg you pardon?" "Sudah berminggu-minggu saya mencari keponakan saya ini," ujar pria itu. "Dia menghilang begitu saja setelah pamit berangkat kerja paruh waktu." Daisy beringsut. Mencengkeram lengan kaos Brandon erat. Ketakutan terpancar dari wajahnya. "Dia terkena amnesia, Sir ..." nada kalimat Brandon menggantung. "Hendra! Hendra Wasesa!" Pria itu mengulurkan tangannya dan menjabat tangan Brandon. Tangan pria itu terasa kasar, seperti telah melakukan pekerjaan berat selama bertahun-tahun. "Silakan masuk. Have a sea
"Dari kecil dia sudah tomboy. Saya yang ikut merawatnya saat kedua orang tuanya sibuk bekerja," tutur Hendra sambil matanya tak lepas dari Daisy.Sersan Johnson mendengarkan sembari memeriksa surat-surat dan foto-foto yang dibawa oleh Hendra. Surat keterangan itu menunjukkan bahwa Daisy adalah benar-benar keponakannya. Bahkan alamat gadis itu di Inggris sama dengan alamat pamannya."Saya yang membawanya kemari. Dia gadis yang sangat cerdas. Baru tahun lalu dia lulus kuliah, cumlaude," ujar Hendro bangga."Dimana dia berkuliah?" Selidik Sersan Johnson."Royal Holloway, London," Hendra mengeluarkan kartu mahasiswa milik Daisy. Di situ tertera nama Zivanna Malila Dinata.Sersan Johnson mengamati kartu itu, menyamakan foto yang ada pada kartu identitas dengan wajah Daisy. "It's you," polisi itu menyodorkan kartu mahasiswanya pada Daisy. Gadis itu menerimanya dan terpaku."Di saat dia hilang, Zizi tidak membawa apapun. Bahkan tas dan kartu identitasnya tertinggal di kamar," tutur Hendra."A