Madam Gienka!!
Deg. Entah mengapa jantung Aquila semakin tak karuan. Tubuhnya mengeluarkan keringat.
"Nona, ada apa?" Lily bertanya, bingung dengan perubahan ekspresi wajah Aquila yang mendadak.
Aquila menggeleng, berusaha bersikap normal— meskipun wajah pucatnya berkata sebaliknya.
Tidak mungkin. Pasti ada yang salah. Entah apa yang terjadi pada penglihatannya, tapi tiba-tiba saja ia seakan dapat melihat sosok Madam Gienka dalam tubuh Lily.
"Nona?"
"Ah, aku... Aku tidak apa-apa." Jawab Aquila.
"Nona, kalau anda merasa sakit, sebaiknya anda istirahat saja." Lily memberi saran.
Aquila menggelengkan kepala. "Aku baik-baik saja."
"Ah, syukurlah." sahut Lily. "Kalau begitu, Nona, aku sedang ada urusan penting. Maaf aku harus pamit sekarang." Lily menunduk sopan. Setelahnya, ia kembali melangkah, punggungnya semakin menjauh.
Aquila masih mematunh di tempat. Ia m
"Zeline..." Aquila merebahkan badannya pada ranjangnya yang empuk, menatap lurus ke langit-langit ruangan. "Madam Gienka..." Gumamnya lagi. Aquila mengubah posisi berbaringnya, kali ini menghadap tembok. "Apa yang harus aku lakukan?" Gumamnya lagi. Ia tidak paham lagi. Bagaimana bisa Zeline senekat itu? Bekerja sama dengan penyihir hitam? Itu tidak masuk akal. Posisi Zeline di mata Zero jauh lebih unggul dan selalu lebih unggul, untuk apa wanita itu sampai memerlukan bantuan dari penyihir hitam? Aquila benar-benar tidak mengerti. Kepalanya terasa sakit, memikirkan langkah apa yang harus ia ambil untuk ke depannya? Ini bukan lagi soal menjadi Permaisuri, Aquila sudah mengesampingkan posisi itu. Ini tentang Zeline. Zeline memang rivalnya, perempuan itu terkadang sangat menjengkelkan, tapi itu bukan berarti Aquila tega membiarkan Zeline terpengaruh hasutan penyihir hitam seperti Ma
"Aku keren sekali." "Apa?" Charelle yang baru datang dengan segelas wine sampai menyelipkan anak rambut ke belakang telinganya, berusaha memperjelas pendengaran. "Aku tidak salah dengar, kan?" "Kau tiba-tiba langsung memuji dirimu sendiri." Aquila mengangkat bahunya tak acuh, menatap Charelle yang baru saja menempati kursi kosong di depannya. "Kau tidak salah dengar, Charelle. Aku memang sangat keren." Ujarnya percaya diri. Charelle tergelak, "tingkat percaya dirimu nampaknya hampir setara dengan Kak Alaster." Ujarnya sambil tertawa pelan. "Memangnya apa yang baru kau lakukan, sehingga kau berkata demikian?" Aquila menenggak segelas wine di tangannya. "Aku habis melakukan hal yang keren." katanya. "Aku berhasil menyuarakan semua isi hatiku kepada Zero serta membantunya semakin dekat dengan Zeline." Charelle mengangkat alisnya, ia tak begitu paham, tapi di satu sisi ia juga antusias menunggu kelanjutan kalimat Aquila.
"Astaga, aku mudah sekali menangis." Aquila berujar sembari menyeka air matanya. Tuan Alucio— Aquila baru ingat Tuan Alucio pernah meminta untuk dipanggil dengan nama depannya, Revel— lelaki yang baru menolongnya itu menyampirkan sebuah mantel ke pundak Aquila. "Jangan dipikirkan." Itu kalimat pertama Revel setelah terjadi kesunyian selama beberapa saat. Aquila mendongak, ia juga tidak mau memikirkannya, tapi apa yang dilihatnya barusan terus saja terngiang-ngiang di otaknya. Dua orang itu. Kenapa mereka melampiaskan nafsunya di balkon yang notabenenya adalah tempat umum? Tidak bisakah mereka melakukannya di tempat yang lebih menjamin privasi, seperti kamar? Memangnya Zero tidak punya uang untuk membawa Zeline ke kamar? "Astaga," Aquila bergumam, memijat pelipisnya. Aquila memang sebelumnya meminta Zero untuk bersenang-senang dengan Zeline— namun bukan hal seperti itu yang ia maksud.
Seumur hidup, Aquila tak pernah menyangka akan berada di posisi ini. Atmosfer terasa begitu berat, sedari tadi Aquila menahan napasnya. Suasana ini ... Terasa begitu tak mengenakkan. Saat ini, kedua orang itu— Revel dan Alaster tengah berdiri berhadap-hadapan. Alaster memberi tatapan menusuk, ia menggeram, aura kekesalan jelas terlihat dari tatapan Alaster. Seolah, cowok itu dapat kapan saja menghantam pria di depannya ini. Sedangkan Revel, ia terlihat lebih tenang, ekspresi wajahnya datar, seakan tak ada Alaster di depannya— justru ekspresi itu yang sukses membuat kekesalan Alaster bertambah. Tangan Alaster bergerak, mencengkeram bahu Revel kuat-kuat. Ia memicing tajam. "Apa yang hendak kau lakukan pada adikku?!" Revel menghela napasnya, ia memutar bola mata. "Aku tidak melakukan apa-apa." Jawabnya malas. "BOHONG!" Alaster menyentak, "KAU HENDAK MENCIUMNYA, KAN?!" ia menuding.
Waktu demi waktu berlalu. Semua terasa begitu cepat. Dalam waktu satu minggu ini, ada banyak hal yang Aquila lakukan, ia mendatangi banyak sekali pesta yang diadakan para bangsawan— tentunya untuk meninggalkan banyak kesan baik. Ia juga menggunakan uang pribadinya untuk disumbangkan pada sebuah tempat penampungan anak terlantar, tentu dengan harapan namanya menjadi lebih bersih di mata rakyat. Namun itu semua belum cukup, Zeline pasti melakukan hal yang lebih, tentu Zeline tak akan diam saja melihat Aquila melancarkan rencananya untuk terpilih menjadi Putri Mahkota. Zeline juga pasti memiliki rencananya tersendiri. "Terima kasih, Ahn." Ujar Aquila saat Ahn selesai menata rambutnya. Ahn mengangguk, "wajahmu terlihat lelah, Nona." Komentarnya. "Yah, sedikit," Ucapnya pelan. "Aku lumayan lelah dengan semua rutinitas ini." gumamnya, "bahkan masih ada banyak hal yang belum aku lakukan." "Semangat,
Rose masih berusaha menetralkan detak jantungnya, nyaris saja ia ketahuan sedang mengendap-endap ke ruangan Nona Zeline, untungnya Rose dapat menemukan tempat persembunyian yang aman. "Jadi, apa yang ingin kau laporkan?" Tanya Zeline langsung pada inti pembicaraan. Wanita itu melipat tangannya di dada, memandang skeptis, Rose pernah mengecewakan Zeline dengan memberikan informasi yang keliru, jadi kali ini Zeline tak akan menelan mentah-mentah kalimat yang Rose katakan. "Ini tentang Nona Aquila dan Viscount Falls, Nona." Ujar Rose. "Aku mendengar percakapan ini di perpustakaan, ternyata yang membuat Viscount Falls membatalkan kerja samanya dengan Baron Aideos adalah Nona Aquila." "Nona Aquila menolak untuk berinvestasi kalau Viscount Falls masih bekerja sama dengan Baron Aideos. Ini yang menyebabkan Viscount Falls memutus kerja sama secara sepihak." Lanjut Rose. "Alasan Nona Aquila berbuat demikian sungguh kekanakan, itu karena ia tidak menyukai a
"Menjijikkan." Zeline melempar sembarangan surat kabar yang baru saja ia baca itu. "Sangat menjijikkan, mencoba mengenal rakyat lebih dekat apanya?" ia mengomentari surat kabar yang tercetak wajah Aquila pada halaman pertama. "Bukankah itu sama saja ia sedang mengakui kalau ia sedang berusaha merebut hati rakyat?" "Zeline," Charelle— dayang Zeline, tiba-tiba saja masuk ke dalam ruangan. Ujung sepatu kacanya tanpa sengaja menginjak surat kabar yang baru saja dilempar Zeline. Charelle membungkuk, memungut surat kabar itu, "maksudmu, ini yang menjijikkan?" Charelle terkekeh, menunjukkan surat kabar dengan wajah Aquila tersebut. Zeline mendengus kesal, status Charelle hanyalah dayangnya, tetapi wanita itu sangat tidak sopan, seenaknya masuk ke ruangannya. "Tidak, tadi aku melihat tikus, dan itu sangat menjijikkan." "Ruangan Nona Zeline banyak tikusnya, ya?" Charelle mengangkat sebelah alisnya. "Nona, sebenta
"K— kau... Apa?!" Mata Aquila membelalak, berusaha memastikan ia tak salah dengar. "Kau menampar Nona Zeline?" Charelle mengangguk. Jelas sekali sorot ketakutan terlihat dari matanya. "Kenapa kau melakukan itu?" Aquila bertanya bingung. Wanita itu meringis, bahkan, Aquila saja tak berani melakukannya— karena ia tahu Zero akan menjadi orang pertama yang menyeretnya ke dalam lubang kematian kalau ia berani macam-macam dengan kekasihnya. Nona Theta yang mendengarkan hanya bisa menepuk dahi, "kau hanya memperpendek umurmu," Komentarnya— yang membuat Charelle semakin panik. "Nona Zeline merendahkanku!" Charelle berseru, berusaha menjelaskan penyebab perbuatannya. "Tentu aku tidak akan diam saja!" "Merendahkanmu?" Dahi Aquila terlipat, ia tebak, pasti sebelumnya terjadi perdebatan di antara mereka yang menyebabkan Zeline naik pitam— tidak mungkin Zeline tiba-tiba saja langsung merendahkan Charelle tanpa ada alasan yang jelas, ditam