Zeline duduk meringkuk, memeluk kedua lututnya sendiri.
Tatapannya nampak kosong, kulitnya terlihat begitu pucat. Zeline terjaga, kepalanya seakan pecah memikirkan apa yang akan terjadi padanya.
Zero sudah mengetahui semuanya, tentang sifat aslinya. Sial, habislah sudah. Zeline tak tahu harus berbuat apa.
Apakah ia benar-benar akan berakhir di sini?
Tidak, tidak. Zeline tak boleh menyerah begitu saja. Ia tak bisa membiarkan hal ini! Ia tidak sudi membiarkan Aquila menang diatasnya.
Suara langkah kaki terdengar, Zeline langsung menoleh ke arah sumber suara, ada dua penjaga berbaju zirah di sana, menatap Zeline dengan sorot dingin.
"Nona Aideos, kami diperintahkan untuk membawamu."
Tanpa menunggu respon dari Zeline, kedua penjaga itu sudah menarik tangannya, menyeretnya entah ke mana.
Zeline menunduk pasrah, hukumannya sebentar lagi tiba.
Apakah, ini benar-benar akhir darinya?
***
Aquila melihat ke arah luar jendela, menatap gelapnya langit yang tanpa dihiasi bulan. Beberapa hari belakangan ini ia benar-benar sibuk. Penyerangan terhadap Charelle, Penangkapan Zeline, dan Zero yang berusaha menutupi kejadian sebenarnya. Ditambah lagi, Aquila masih sibuk mengurusi bisnisnya bersama dengan Countess Eris. Yah, untungnya bisnisnya menunjukkan prospek yang baik. Napasnya sedikit terasa sesak, Aquila berpegangan pada besi balkon, menatap sayu pemandangan sekitar. Pengap. "Kenapa belakangan ini suasananya..." Jantungnya berdegup begitu kencang, entah mengapa belakangan ini perasaanya terasa buruk, seperti ada yang janggal, seperti ada hal yang terlewatkan. Aquila segera mengambil langkah panjang, memakai jubahnya, lalu mengendap-endap. Ada hal yang harus ia periksa. *** Silir angin menerpa rambut pirangnya, Aquila menoleh ke atas, malam ini terasa lebih gelap dan dingin dibanding biasanya. Ia
Aquila menatap sendu Rose yang dibaringkan pada ranjangnya, kali ini, tatapannya berpindah pada sosok tabib yang selesai mengobatinya. "Bagaimana keadaannya?" "Sangat parah," tabib itu menghela napasnya, kembali membereskan ramuan yang telah ia buat. "Keadaannya lebih parah dari yang ku kira, untung saja Nona Aquila segera memanggilku." katanya. "Lukanya cukup dalam. Untuk sekarang, aku sudah mengusapkan obat dan membalutnya, tapi, aku tak bisa menjamin apa-apa untuk kedepannya." "Kita hanya bisa berharap pada keajaiban." Aquila memejamkan matanya yang terlihat lelah, ia menghela napas sembari memegangi pelipisnya. Separah... itukah? Seseorang menyentuh pundak Aquila dengan lembut, itu Ahn. Ahn tersenyum sembari memberi tatapan menguatkan pada Aquila. "Nona, anda terlihat sangat kelelahan." Ahn menatap khawatir, "ada baiknya anda istirahat sejenak." Aquila merasa ragu, ia bahkan tak terpikirkan sedikitpun untuk meninggalkan rua
Ingin menangis saja rasanya, Aquila sungguh merindukan tempat ini, rumahnya.Ia ingat betul setiap kejadian di sini, saat pertama kali menginjakkan kakinya di sini, saat ia akhirnya bisa merasakan kehangatan keluarga. Yah, sayangnya ia tak bisa berlama-lama di sini.Ducchess Aretha, sang ibu memeluknya erat sembari mengusap pucuk rambutnya. "Putriku, kenapa tidak mengabari kalau ingin pulang? Ibu kan jadi punya waktu untuk meminta pelayan memasakkan makanan kesukaanmu.""Eh, aku tidak ingin merepotkan," Aquila nyengir, "lagi pula aku hanya sebentar saja, kok,""Hmm? Putriku sangat sibuk, ya, rupanya," Ducchess Aretha melepas pelukan, ia menatap sang putri dengan tatapan lembut."Oh ya, aku ingin bertemu dengan kakakku tercinta, dia ada di mana, ya?" Tanya Aquila yang sama sekali belum melihat batang hidung kakaknya itu. Biasanya, setiap kali pulang ke rumah, sang kakak adalah orang pertama yang menyambutnya."Alaster sedang bersama Duk
"Aku tidak bisa selalu melindungimu, ada kalanya kau harus membereskan semuanya dengan tanganmu sendiri." Aquila menggelengkan kepalanya, kalimat Alaster barusan masih terngiang-ngiang dalam kepalanya. Tapi, saat ini bukanlah saat yang tepat untuk memikirkan perkataan sang kakak. Sebab, saat ini ia sedang berada dalam posisi terjepit. "Ayo, fokus, Aquila!" gumamnya pelan. "Rupanya kau sudah mengerti dasar-dasarnya, ya." Kata Alaster di sela-sela latihan. "Kalau begitu ini akan mudah, aku hanya perlu memoles kemampuanmu." Alaster menyerang Aquila dengan begitu mudahnya. Aquila menghindar, ia nyaris terpojok. Aquila menunggu kesempatan untuk memberikan serangan balasan. Tapi, tidak ada kesempatan! Alaster seperti tanpa cela! Pertahanannya sangat kuat, serangannya juga efektif. Alaster juga sangat gesit, lincah, dan penuh perhitungan. Seandainya ini adalah pertarungan sungguhan dan bukan sekadar latihan, Aquila pasti sudah dibuat sekarat.
Viscount Teuvo menarik selimutnya hingga menutupi kepala. Malam ini, entah mengapa terasa lebih dingin dibanding malam-malam sebelumnya. Ia tadi sebenarnya sudah tertidur lelap, tapi, sang istri tiba-tiba saja mengguncang punggungnya. "Suamiku, kenapa kau tidak menutup jendelanya?" "Hhmm?" Viscount Teuvo hanya bergumam, masih dengan mata yang tertutup. "Hawanya sangat dingin, tolong tutup jendelanya." Pinta sang istri. "Ck, kau ini berisik sekali," Viscount Teuvo berdecak kesal. "Jangan ganggu aku, aku sangat mengantuk!" serunya. "Kau tutup saja sendiri." "Dasar tak bisa diandalkan!" Viscountess Teuvo (Sang Istri) mencebik. Mau tidak mau, akhirnya ia yang bangkit untuk menutup jendela. "Aneh, aku ingat betul tadi jendela ini tertutup," gumamnya sembari menutup jendela, "apa terbuka karena angin, ya?" Viscount Teuvo kembali dapat memejamkan matanya dengan tenang, hawa dingin akibat jendela yang terbuka sudah tidak terasa lagi. "
Penyerangan terhadap bangsawan terjadi lagi.Kali ini korbannya adalah Count Raire yang berkediaman di region selatan kapital.Meskipun terjadi dengan pola yang sama, seperti pada malam hari, masuk melalui jendela, dan merampas harta benda tuan rumah secara paksa. Kejadian ini tak dapat diprediksi siapa yang akan menjadi target berikutnya.Di tambah lagi, Count Raire adalah salah satu bangsawan yang ramah dan selalu bermurah hati. Banyak yang menyukainya, dan ia dikenal tidak punya banyak musuh. Jadi, sudah jelas bahwa target penyerangan ini benar-benar dipilih secara acak dan tanpa alasan tertentu. Siapa saja bisa menjadi korban.Alaster sedang berada di balkon, bersandar sembari memegangi pipinya yang nampak lebam. Raut wajahnya nampak tengah memikirkan sesuatu."Wanita sialan itu..." Alaster bergumam dengan wajah kesalnya, "beraninya ia memukul wajahku.""Kakakku~" Aquila berseru dari jauh, ia bergerak menghampiri, matanya bergerak
NONA ZELINE MENGGUNAKAN SIHIR HITAM! SEBENARNYA, PADA MALAM ITU NONA ZELINE MENYERANG CHARELLE DI KEDIAMANNYA. KAU MEMERINTAHKAN PRAJURIT UNTUK MEMASTIKAN SUPAYA MARQUIS VAREN TIDAK MENYEBARKAN KABAR PEMAKAIAN SIHIR HITAM INI KEPADA BANGSAWAN YANG LAIN SEBAB KAU TAKUT NAMAMU AKAN TERCORENG. DAN SEBENARNYA, SAAT INI PIKIRANMU JUGA TELAH DIMANIPULASI. INILAH SEBABNYA KAU MELUPAKAN KEJADIAN ITU. "Tuan Theo?!" Zero berseru, "kenapa kau melamun?!" Tuan Theo tersentak, ia tersadar sejak tadi ia tengah melamun. "Ah, maafkan saya Yang Mulia." Rupanya, sampai kapanpun dirinya terlalu pengecut untuk mengatakan kebenarannya. Kalimat yang tadi, ia tak mampu mengungkapkannya. "Sebenarnya, saat itu terjadi sebuah perampokan di rumah Nona Charelle, perampok itu melukai Nona Charelle begitu parah. Itulah mengapa Yang Mulia menempatkan penjagaan di sana. Sebab Yang Mulia takut hal yang sama akan terulang." In
Aquila baru tersadar ia sudah lama sekali berdiam diri termenung menatap ke arah jendela. Susu putihnya pun sudah menjadi dingin.Wanita itu memejamkan matanya lalu menarik napas dalam-dalam. Berusaha mendinginkan otak.Tak perlu mengirim seorang mata-mata untuk mengetahui apa langkah yang diambil Zero untuk menyikapi kejadian ini. Ia sudah mendengarnya dari angin yang berembus, Zero sedang mengais informasi dari ketiga bangsawan itu, kan?Aquila bertopang dagu, senyuman tipis terulas pada wajah pucatnya. Rasanya ia ingin memberi semangat pada Zero yang susah-susah mencari pelakunya, padahal, Aquila sendiri-lah yang menyebabkan semua kekacauan ini."Tapi ini masih permulaan," wanita itu bergumam pelan, menatap ke arah langit,ia berandai-andai. Ke depannya ... akan jauh lebih kompleks lagi.Bukan tanpa sebab Aquila memilih Viscount Teuvo dan Count Raire sebagai targetnya. Kedua bangsawan itu memiliki sifat yang sangat bertolak belakang. Aquila