Share

Miss Villain and the Protagonist
Miss Villain and the Protagonist
Penulis: Scarlet Crown

Chapter 01 — Nona Penjahat, Putra Mahkota, dan Peran Utama Wanita

***

Suasana menegang. Seluruh rakyat, dengan debaran di dadanya, kini tengah menjadi saksi eksekusi mati salah satu bangsawan yang bernama Aquila Sapphire de Charles. 

Aquila dihukum atas dasar percobaan pembunuhan kekasih putra mahkota, Zeline Jane Aideos. 

Ketegangan semakin meningkat. Semua mata tertuju pada Aquila yang terpaksa tertunduk dihadapan Zero, sang putra mahkota. Tangan dan kaki Aquila terikat, mulutnya tersumpal, namun ia masih bisa memberikan tatapan bengisnya kepada Zero. Aquila bersumpah, ia akan menuntut balas atas penghinaan ini.

Suara langkah prajurit. Seorang prajurit menyerahkan sebilah pedang kepada sang putra mahkota— orang yang akan mengeksekusi Aquila.

Rakyat menyaksikan kejadian itu dengan perasaan campur aduk. Sebagian merasa takut, sebagiannya lagi merasa lega karena menganggap pemberontak telah ditaklukan.

Zero menatap pedang itu lalu menatap manik mata Aquila secara bergantian. Tatapan Zero berubah sendu. Karena bagaimanapun, Aquila adalah teman pertamanya, terlalu banyak kenangan yang telah ia habiskan dengan perempuan yang tengah tertunduk dihadapannya ini.

Tidak. Zero harus melakukan ini. Karena cewek di depannya ini nyaris merenggut nyawa kekasihnya. 

Zero mengangkat pedangnya tinggi-tinggi. Bersiap menebas leher sahabat pertamanya ini. 

Seluruh saksi tanpa sadar menahan napas.

"AQUILAAAAAAA!!!!"

***

Alena terperanjat saat seseorang menepuk bahunya. 

"Kamu baca apa, sih?" 

Alena menatap orang yang tengah mengganggunya. Itu Calyn, sahabat perempuannya.

Calyn duduk disamping Alena, membuat cewek itu spontan menggeser posisinya. 

"Aku ngomong kok dicuekin?" Calyn cemberut. "Eh, ini kan novel yang kemarin baru kamu beli." Calyn mengambil buku novel itu, ia membolak-balikkan halamannya.

Novel itu berjudul cinta sejati, berkisah tentang gadis bangsawan berstatus rendah yang merantau ke Kapital, disana ia bertemu dengan sang Pangeran Putra Mahkota, lalu mereka saling jatuh cinta. Tapi tak semudah itu, karena cinta mereka terhalang oleh sang penjahat yang bernama Aquila yang juga mencintai putra mahkota.

Alurnya memang sangat klise, tapi entah mengapa memiliki banyak peminat.

Alena salah satunya.

Alena bahkan sampai bergabung ke komunitas pembenci Aquila yang beranggotakan nyaris lima ribu orang.

"Balikin!" Alena mengambil kembali novel itu. "Ini lagi seru-serunya, tau! Akhirnya, Aquila si Nenek Sihir dapet hukuman yang setimpal!" Alena menjelaskan dengan mata berbinar, ia bahkan memiliki julukan tersendiri untuk tokoh Aquila.

Calyn mengangguk-angguk tanpa minat. Berbeda dengan Alena yang maniak novel, ia sama sekali tak suka membaca. Menurutnya, kegiatan itu membuatnya mengantuk.

"Aku seneng banget, akhirnya Pangeran Zero sama Putri Zeline bisa hidup bahagia selamanya! Dan si pengacau akhirnya mati!" Alena berucap menggebu-gebu, ia sangat menyukai scene tadi. Rasanya, kadar kebencian Alena terhadap Aquila dari satu sampai sepuluh adalah sebelas.

Calyn mengangguk lagi, meskipun ia tak begitu paham. Ia teringat sesuatu. "Eh, ayo kita ke kantin, udah ditunggu sama temen-temen yang lain." Cewek itu bangkit, lalu menarik lengan Alena untuk mempercepat langkahnya.

***

"Sini, Alena." Lea tersenyum menepuk-nepuk kursi kosong disampingnya, memberi isyarat kepada Alena untuk duduk disitu. 

Alena mengangguk, ia menghampiri lalu tersenyum tipis. 

Jujur saja, Alena lebih suka menyendiri, teman-temannya disini kadang membuatnya merasa risih. Tapi Alena bukanlah orang yang pandai bergaul, maka dari itu ia memilih bertahan dengan teman-temannya ini.

"Tadi udah aku pesenin minum." Anne menggeser gelas yang berisikan air jeruk. "Ngomong-ngomong makasih, ya, udah bantuin ngerjain tugas aku yang udah numpuk dari semester kemarin." Anne tersenyum manis.

Alena mengangguk canggung. "Sama-sama." Cicitnya.

Lea merangkul pundak Alena, "oh iya, kemarin kan aku udah minta tolong kamu buat ngerjajn tugas aku. Sekarang udah selesai belum?" Matanya menatap Alena penuh harap.

Alena menunduk, menghindari tatapan mata itu. "Be- belum..." ujarnya tak enak.

"Kok gitu?" Lea melepaskan rangkulan, ia menatap sedih, "bukannya kamu udah janji?"

"Aku..." Alena menggantungkan ucapannya, "bakal aku kerjain."

"Nah, gitu dong." Lea tersenyum manis.

Dibelakangnya, ada Calyn yang tengah tersenyum sambil menatap ponselnya. "Alena, aku ada urusan sebentar. Aku tinggal dulu, ya?" 

Alena menatap tak rela, diantara segerombolan teman-temannya disini, ia paling nyaman saat bersama Calyn. Tapi apa daya, mau tak mau Alena mengiyakan.

Sepeninggal Calyn, Alena hanya diam saja disini, tak ikut menimbrung percakapan mereka. 

Alena merupakan siswi terpintar di angkatannya, tapi Alena payah sekali dalam bergaul, Alena tak pernah berani menolak keinginan teman-temannya, meski keinginan itu merugikannya. Alena juga selalu berusaha menjaga perasaan mereka.

Tak jarang orang mendekati Alena karena tujuan tertentu. Tapi, sial, Alena tak pernah berani menghempas benalu-benalu itu.

Satu-satunya hal yang membuatnya bahagia adalah membaca buku. Selain itu ... Ah, berbincang dengan Kent, kekasihnya jugalah hal yang sangat membahagiakan!

Ngomong-ngomong, Alena jadi merindukan cowok itu. 

"Teman-teman, aku pergi sebentar, ya," Alena bangkit, tanpa menunggu respon dari kawan-kawannya, ia beranjak begitu saja.

***

"Kent pasti suka." Alena tersenyum, ia menenteng sebuah plastik yang berisi pie. Tadi Alena sempat mampir untuk memberikan ini kepada kekasihnya.

Langkahnya terlihat riang, senyumnya mengembang cerah. Bagi Alena, Kent adalah pacar terbaik yang pernah ada!

"Kent enggak ada di sini." 

Senyum Alena memudar saat mendengar jawaban dari salah satu teman Kent. Kekasihnya tidak ada di kelas? Lalu dimana lagi?

"Oh, kalau begitu, makasih, ya." Alena mengangguk sopan lalu berbalik. 

Langkah kakinya bergerak tanpa memiliki tujuan yang jelas. Alena bahkan tidak sadar kalau ia sudah berada di halaman kampus.

"Mau sampai kapan kita ngumpet-ngumpet terus?" 

Alena spontan menoleh saat mendengar suara itu, tidak ada siapa-siapa disana. Alena menggaruk tengkuknya, merasa bingung.

"Kamu sabar sebentar lagi, ya?" Kali ini terdengar suara lainnya, seperti suara laki-laki.

Alena mengernyit, ia hafal dengan jelas itu suara siapa. Itu suara Kent, kekasihnya.

"Iya, tapi aku udah enggak tahan lagi." 

Suara ini berasal dari balik sebuah pohon besar. Dengan rasa penasaran yang meluap-luap, Alena melangkah mendekat. 

Alena memiliki penglihatan yang lemah, mungkin karena terlalu banyak bersinggungan dengan buku, entahlah. 

"Honey, kamu percaya, 'kan sama aku? Sabar sedikit lagi, ya? Kamu tau 'kan aku cuma sayang sama kamu?" 

Tubuh Alena membeku. Ia benar-benar tak mempercayai apa yang disaksikannya saat ini. 

Kekasihnya, Kent, tengah mencium bibir seorang wanita. Kedua orang itu terlihat begitu mesra, bahkan mereka tak menyadari kehadiran Alena yang hanya berjarak satu meter dari mereka.

Kejutan bertubi-tubi. Air matanya menetes saat tau orang yang dicium Kent adalah sahabat terdekatnya.

"Calyn..." Alena berucap lirih dengan sedikit terisak. Air matanya semakin bercucuran.

Calyn langsung melepas ciumannya saat mendengar suara Alena. Calyn terperanjat, ia sama terkejutnya, begitupun dengan Kent.

"A... Lena..." Calyn terbata-bata, berusaha memberi pembelaan namun lidahnya terasa kelu.

Alena marah luar biasa, ia tak pernah tau kalau dikhianati akan terasa sesakit ini. Ingin rasanya menampar wajah kedua orang di depannya ini. Tapi apa daya, tubuhnya serasa membeku.

"Alena, Baby, i can explain it to you." Kent panik setengah mati, ia bahkan tanpa sadar berbicara dengan bahasa aslinya. 

Kent perlahan meraih pergelangan tangan Alena, maniknya menatap mata Alena yang berkaca-kaca, "kamu tadi salah liat..."

Alena menepis dengan kasar genggaman tersebut. Ia menatap bengis. Alena tidak sebodoh itu untuk mempercayai perkataan orang di hadapannya.

Tapi apa daya, emosi kini lebih menguasai pikirannya. Air matanya menetes lagi. Alena segera berbalik, berlari secepat yang ia bisa. Hari ini benar-benar hari yang buruk.

"ALENA!" Kent memanggil, berusaha menyusul langkah gadis itu.

Alena semakin terisak, pandangannya terasa kabur karena air mata yang membendung. Ia tak tahu sedang melangkah ke arah mana, yang jelas, ia ingin berada sejauh mungkin dari cowok itu.

"Alena, jangan kesitu!" Kent berseru lagi. Tapi, seperti yang sudah-sudah, Alena tak mengindahkan. 

Alena berhenti sesaat, "JANGAN IKUTI AKU!" ia balas berteriak, menumpahkan emosinya yang telah menumpuk.

"ALENA, AWAS!" Kent berteriak lagi.

Awas? Apa maksudnya?

Alena telat menyadari, laju sebuah mobil dari arah berlawanan. Saat ia menoleh, kendaraan itu benar-benar berada persis di hadapannya. Tak ada waktu untuk menghindar.

BRUKK!

Tubuh Alena terpental jauh, Alena masih berusaha mencerna semua ini. Tubuhnya tak bisa digerakkan, darah segar mengalir dari kepalanya.

"ALENA!" Kent berlari menghampiri, menatap tubuh Alena yang begitu mengenaskan.

Alena tersenyum sinis. Jadi inilah akhir hayatnya? Dikhianati lalu mati persis dihadapan orang yang mengkhianatinya?

Ia mati konyol.

***

Alena mengerjap beberapa kali. Kepalanya terasa pening akibat cahaya yang menerobos jendela.

Ia melenguh, tangannya bergerak menyentuh kepalanya.

"AQUILA!" 

Alena terdiam, ia masih tak paham apa yang sedang terjadi?

Seorang lelaki dengan bola mata merah menyala menghampirinya, tubuh tegapnya memberikan pelukan hangat terhadap Alena. "Aquila, kau sudah sadar rupanya!" Ujar lelaki itu.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status