Share

Chapter 09 — Nona Penjahat Dalam Sudut Pandang Putra Mahkota

"Yang Mulia, ini uang yang kau hilangkan."

Zero yang saat itu tengah merasa linglung karena tidak sengaja menghilangkan sejumlah dana yang nantinya akan digunakan untuk menyelenggarakan sebuah acara langsung merasa senang saat Aquila menyerahkan sejumlah uang dari dalam kotak kecil.

"Kau menemukannya?" Zero kecil bertanya dengan sumringah.

Aquila kecil yang saat itu memakai dress berwarna merah muda hanya menggeleng. "Tidak, ini tabunganku." Aquila tersenyum lebar, memamerkan gigi-gigi susunya.

"Tunggu. Tapi kenapa kau memberikannya padaku?" Tanya Zero keheranan.

"Aku tidak ingin kau dimarahi ibunda ratu." Balas Aquila tulus.

***

Zero memijat pelipisnya, entah mengapa secara tiba-tiba ia teringat salah satu kenangan masa kecilnya bersama Aquila. 

"Yang Mulia, kau sedang memikirkan apa?" Tanya Zeline yang berada di sampingnya.

Zero tak menggubris. Ia bahkan tak menyadari kehadiran perempuan itu di sampingnya.

Sepotong kenangan itu berganti lagi. Kali ini merupakan kenangan saat Zero pertama kali bertemu Aquila.

Saat itu, Zero masih berusia enam tahun, sedangkan Aquila masih berusia lima tahun. 

"Yang Mulia!" Aquila berujar gembira saat ia pertama kali berjumpa dengan Zero. 

Zero saat itu tidak terlalu suka kehadiran orang baru. Makanya, ia hanya berjalan meninggalkan Aquila yang sedang memeluk boneka beruangnya.

Tapi sejak kecil Aquila memang keras kepala. Perempuan kecil itu terus mengikuti langkah Zero kemanapun ia pergi. 

"Yang Mulia!" Panggil Aquila lagi, masih dengan senyum lebarnya. 

"Jangan tersenyum seperti orang bodoh." Balas Zero kecil.

Aquila kecil tidak mengindahkan ucapan Zero barusan, ia justru mengulurkan tangannya. "Aquila." Ujarnya memperkenalkan diri.

Zero menatap uluran tangan itu sebentar sebelum menjabatnya.

"Zero."

***

Zero menutup mulutnya, tanpa sadar ia tersenyum saat mengingat saat-saat itu.

Zeline yang melihat tingkah kekasihnya hanya merasa bingung. "Yang Mulia?" 

"Ah!" Zero terlonjak kaget saat Zeline menepuk pundaknya. "Maaf, Zeline, aku sedang merasa kurang sehat." 

"Yang Mulia, apa yang sedang kau pikirkan?" Zeline bertanya, matanya menatap Zero dengan lekat.

Zero menggelengkan kepalanya. Ia benar-benar tidak bisa fokus. 

Dan lagi-lagi ia kembali teringat akan sepotong kenangan dari masa kecilnya. Terlalu banyak kenangan masa kecilnya yang ia lalui dengan Aquila.

Seperti hari dimana acara debutan akan dilaksanakan. Zero kecil terpaksa berpuasa supaya dapat menampilkan sosok tubuh pangeran yang sempurna.

Saat itu Aquila datang, dan menyerahkan sekotak makanan secara diam-diam.

"Yang Mulia, aku dengar kau sedang menahan lapar dari pagi sebelum acara debutanmu? Ini aku bawakan kau biskuit, tapi jangan sampai ketahuan ibunda ratu, ya," ujar Aquila kecil sambil menyerahkan sekotak makanan.

Atau saat Zero merasa sedih, karena ia gagal dalam ujian memanahnya. Aquila datang dan memperkenalkan mainan kesayangannya, berharap hal itu akan menghibur Zero.

"Yang Mulia, perkenalkan ini namanya  Cherry." Aquila kecil menunjukkan sebuah boneka beruang berwarna merah muda. "Cherry bilang, Yang Mulia jangan bersedih lagi." Zero kecil saat itu mematung, ia teringat akan kegagalannya dalam hal memanah. Darimana Aquila tahu kalau ia sedang merasa sedih?

Atau disaat Aquila membela Zero yang melakukan kesalahan dihadapan ibunda ratunya.

Dan juga disaat Aquila menemani Zero yang sedang belajar mengenai pengetahuan dasar tentang kekaisaran.

Sebenarnya, hubungannya dengan Aquila sempat begitu dekat.

Namun, kini salahnya dimana?

Sejak kapan sifat Aquila berubah?

Ah, Zero teringat. Saat itu. Setelah pesta perayaan ulang tahunnya yang ke tujuh belas. Zero bertemu dengan sosok penting dalam hidupnya, yakni Zeline.

Zeline merupakan sosok yang begitu lembut dan baik. Wajahnya begitu manis, ditambah lagi dengan kedua lekukan pipinya. Zero jatuh cinta pada pandangan pertama dengan Zeline.

Saat itu, Zero mulai menghabiskan banyak waktu dengan wanitanya. Ia juga tak sabar untuk memperkenalkan Zeline dengan sahabatnya, yakni Aquila.

Tapi sungguh diluar dugaan. Reaksi Aquila benar-benar tak dapat Zero bayangkan. Saat itu, Aquila menampar Zeline yang jelas-jelas tidak memiliki salah apa-apa.

Aquila berubah. Tak ada lagi Aquila yang selalu tersenyum ceria dan selalu mendukung semua keputusannya. Sosok penyemangat itu telah berubah menjadi seseorang yang tidak punya hati, tak terhitung sudah berapa kali ia telah mencoba mencelakakan Zeline. Untungnya selalu ada Zero disisi Zeline, kalau tidak entah apa yang akan terjadi terhadap perempuan malang itu.

Zero penasaran. Seandainya sifat Aquila tidak berubah, dan ia masih memiliki sisi baiknya, apakah kini hubungan mereka akan tetap hangat seperti dulu?

"Yang Mulia? Aku tidak tahu apa yang terjadi padamu..." Zeline mengibas-ngibas tangannya di wajah Zero. Zeline merasa sedih, sedari tadi Zero tidak merespon ucapannya.

Sebenarnya apa yang sedang Zero pikirkan?

"Yang Mulia." Zeline menepuk pundak Zero pada akhirnya. 

"Ah!" Zero terperanjat, "maafkan aku, Zeline." Ia merasa tidak enak dengan kekasihnya. 

Zeline tersenyum manis, "tidak apa-apa, Yang Mulia. Apa anda sedang banyak pikiran?" 

Zero merasa lega melihat senyum manis Zeline. Ia pikir Zeline akan merasa sebal karena sedari tadi Zero tidak meresponnya. 

"Aku..." Zero tidak melanjutkan ucapannya, ia sendiri tidak paham dengan perasaannya.

"Yang Mulia, kau jadi mengajakku berkeliling di taman istana, 'kan?" Zeline menatap Zero dengan pupil mata polosnya. Kalau sudah begini, biasanya Zero tak mempunyai kemampuan untuk menolak.

Zero mengangguk. "Tentu saja." 

***

Pesta perayaan ulang tahun Pangeran Zero yang ke tujuh belas. Saat itu Aquila sudah mengenakan gaun terbaiknya, tak lupa ia menyiapkan hadiah termahalnya. 

Hari ini, sepertinya akan menjadi hari terbaik. Aquila sudah menyukai Zero sejak kecil, baginya, selama Zero masih ada disisinya, semua akan baik-baik saja.

Aquila menapakkan kakinya persis di depan ruangan Zero. Ia menahan napasnya, merasakan debaran jantungnya yang semakin tak karuan.

Ah, ditambah lagi hadiah yang ia siapkan adalah hadiah yang begitu mahal. Zero pasti senang, kan?

"Kau benar-benar manis, aku sungguh merasa beruntung bisa mengenalmu."

Aquila mengurungkan niatnya untuk memasuki ruang kerja Zero. Ia bertahan di tempatnya. Bertanya-tanya dengan siapa Zero sedang bicara?

"Yang Mulia, kau berlebihan..." 

Itu ... Seperti suara perempuan?

Kali ini Aquila tak dapat menahan diri untuk mendengar lebih banyak. Ia nekat masuk ke dalam ruangan itu. 

Hal yang dilihatnya benar-benar mengejutkan. 

Yang Mulia, alias Zero, sahabat terdekatnya, sedang menyentuh pipi seorang perempuan dengan posisi saling berhadapan. Zero tersenyum sambil menatap perempuan itu dengan lekat. 

Rambut panjang berwarna cokelat, tinggi yang hanya sedada putra mahkota, serta riasan yang sederhana. Sebenarnya siapa perempuan ini?

"Yang Mulia!" Aquila merasa marah, ia membuang hadiah yang telah disiapkannya dari jauh-jauh hari. "Yang Mulia, siapa wanita ini?!" 

Kedua orang itu terkejut akan kehadiran Aquila. Tapi Zero dengan cepat menyembunyikan ekspresinya, ia menatap Aquila dengan sorot mata teduh. "Aquila, perkenalkan, ini Zeline, dia adalah kekasihku."

Apa katanya?

Kekasih?!

"Salam kenal nona Aquila." Zeline menunduk, memberi salam. "Sungguh sebuah kehormatan bisa bertemu dengan anda." 

Zeline tersenyum manis— senyum yang selalu sukses memikat hati putra mahkota. 

Berkebalikan dengan ekspresi Zeline dan Zero yang penuh kebahagiaan. Aquila kini mendidih di tempat, ia tak bisa terima ini.

Dengan sorot mata kebencian, Aquila berjalan mendekat ke arah Zeline. Satu tangannya terangkat. Aquila melayangkan pukulan telak di pipi Zeline.

***

Huh? Apa itu tadi?!

Aquila terbangun dari tidurnya, ia masih memikirkan mimpi yang tadi, sungguh terasa begitu detail dan nyata.

"Nona, anda bermimpi buruk?" Ahn— yang entah sejak kapan berada di sana bertanya. 

"Sejak kapan kau berada di situ?!" Aquila bertanya dengan nada terkejut.

"Baru saja nona." Jawab Ahn. "Saya datang untuk menyiapkan air hangat untuk nona mandi."

Aquila menghela napas. Ia membenamkan wajahnya di bantal. Ia kembali terpikirkan tentang mimpi itu. 

Mimpi tentang pertemuan pertama Aquila dengan Zeline. 

Peristiwa itu sebenarnya sudah diceritakan di dalam novel dalam sudut pandang Zeline. Itu merupakan salah satu adegan yang membuat 'Aquila yang sekarang' kesal karena Aquila yang di dalam novel langsung menampar Zeline.

Tapi di mimpi tadi, kejadian itu diceritakan dari sudut pandang Aquila, secara rinci dan nyata.

Apakah ... Sebenarnya tadi itu bukanlah mimpi? Melainkan itu adalah potongan ingatan dari Aquila yang asli?

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status