Share

4. Lalu Kita

Tahun terakhir Samita di Sekolah Menengah Atas berakhir biasa-biasa saja. Teman-teman sekelasnya di kelas dua belas sama persis dengan teman-temannya di kelas sebelas. Kelasnya tidak lagi mengalami perombakan. Sesuatu yang menguntungkan karena Samita tidak perlu repot-repot melakukan adaptasi ulang.

Hingga lulus sekolah, gadis itu tidak memiliki teman akrab. Ia tidak dikucilkan, namun tidak juga tergabung dalam kelompok kecil mana pun. Pada akhirnya, Samita memang hanya menjadi bintang di kehidupan ibunya saja. Di kehidupan orang lain, ia hanya seseorang yang tidak terlalu diingat baik.

Tapi itu bukan masalah, kehidupannya baik-baik saja tanpa teman.

Selepas SMA, Samita melanjutkan pendidikan ke salah satu Perguruan Tinggi Negeri di Depok. Jarak kampusnya masih terbilang dekat dari rumah sehingga ia tidak perlu tinggal di rumah indekos. Tetap menjadi pribadi yang tertutup dan memilih tidak memiliki teman dekat, Samita menjalani kehidupan barunya sebagai mahasiswa. Tidak ada yang istimewa. Hanya kehidupan mahasiswa biasa yang dipenuhi dengan tugas, kuis, ujian, dan sesekali agenda organisasi kemahasiswaan. Semuanya berlangsung sama dan membosankan. Hingga menjelang semester akhir perkuliahannya, sebuah telepon masuk ke ponselnya.

Dari Wildan. Ketua kelasnya selama dua tahun berturut-turut di SMA.

Kala itu, Samita tengah memeriksa ulang draft proposal skripsinya yang harus ia serahkan besok pagi. Hanya sempat mengernyit sekilas sebelum menjawab panggilan Wildan.

“Halo?” sapanya ragu-ragu, masih tidak yakin Wildan benar-benar menghubungi dirinya. Mungkin saja itu hanya sebuah panggilan yang tidak sengaja dibuat.

“Sam, lo ke mana aja, sumpah!” gerutu Wildan. Samita mengernyit sejenak, nyaris melupakan bagaimana Wildan selalu menggunakan penggalan nama depannya sebagai panggilan. Menghasilkan sapaan yang terdengar maskulin seperti nama lelaki. “Di-chat nggak pernah bales, anjir, ajaib bener.”

Samita memutar bola matanya malas. Sebuah reaksi refleks meski tahu Wildan tidak bisa melihatnya.

“Grup kelas gue mute,” sahut Samita ringan. Satu tangannya yang bebas dari memegang ponsel kembali bergerak di touchpad laptopnya demi menggerakkan kursor. “Kenapa?”

“Nge-mute grup, sih, wajar,” suara Wildan terdengar masih gusar. “Yang nggak wajar, tuh, gue chat dari dua hari yang lalu juga belum di-read. Lo yakin yang lo mute cuma grup kelas aja? Bukan notifikasi satu aplikasi?”

Samita mendengkus. “Apaan, sih, lo–oh, bentar,” gadis itu berhenti karena teringat sesuatu. Ia menjauhkan ponsel dari telinga untuk kemudian memeriksa pengaturan aplikasi obrolan daring di ponselnya. Benar juga. Sudah banyak pesan menumpuk di sana. Bukan hanya dari Wildan atau beberapa teman SMA-nya yang lain, tapi juga dari teman-teman dan rekan-rekan di kampusnya. Gadis itu lantas menepuk keningnya sendiri. Wildan benar. Beberapa hari yang lalu, Samita membisukan notifikasi aplikasi obrolan daringnya untuk satu minggu ke depan karena ia ingin fokus menyusun proposal skripsinya. Ia cukup beruntung tidak ada pengumuman atau pemberitahuan penting dari kampus yang ia lewatkan.

“Sori, sori, Wil, gue matiin notif WA ternyata,” aku Samita kala sudah kembali mendekatkan ponselnya ke telinga. “Sibuk.”

Ganti Wildan yang mendengkus. “Gue kira lo udah meninggal terus nggak ada yang tahu.”

Samita tersenyum kecut mendengarnya. Tidak, ia tidak tersinggung. Terkadang, Samita sendiri bertanya-tanya, apakah hatinya sudah terlalu tumpul untuk merasa hingga ia sering kali tidak merasakan apa-apa. Seolah setiap ucapan orang lain tidak pernah berbekas baginya.

“Emang ada apaan?” tanyanya segera. Tidak penasaran namun cukup terganggu dengan telepon Wildan yang tiba-tiba. Mereka tidak terlalu akrab pun dekat. Bahkan ketika masih menjadi ketua kelasnya dulu, Wildan tidak pernah meneleponnya.

“Anak kelas mau ngadain reuni Sabtu depan. Dateng, please, Sam.”

Reuni.

Sebuah kata tidak bermakna bagi Samita. Reuni hanya akan menjadi menarik jika seseorang memiliki cukup memori dan kenangan menyenangkan untuk diulang. Atau memiliki sosok kawan yang dekat dan dirindukan setelah perpisahan. Samita tidak memiliki itu semua. Ia tidak punya teman yang ia rindukan, pun kenangan menyenangkan yang membuatnya ingin kembali bersua dengan seseorang. Tidak ada.

Lagipula, ini bukan undangan yang pertama. Kelasnya mengadakan acara reuni hampir setiap tahun. Pertemuan santai ketika liburan semester, acara buka bersama di bulan Ramadan, belum lagi beberapa agenda tanpa rencana yang kadang diinisiasi kelompok-kelompok kecil secara tiba-tiba. Dan selama nyaris empat tahun ke belakang, Samita tidak pernah datang. Tidak ada satu pun undangan atau ajakan yang ia penuhi.

Lantas mengapa mendadak saja, Wildan merasa perlu repot-repot memintanya datang?

“Males, Wil,” jawab Samita setelah beberapa saat. “Gue sibuk ngurusin proposal skripsi.”

“Yang mau skripsian semester depan bukan lo doang, Sam,” dengkus Wildan. Please, lah. Gema aja dateng.”

Sejujurnya, Samita tidak terlalu peduli meski Wildan membandingkan dirinya dengan Gema–satu-satunya anak di kelas mereka yang melanjutkan pendidikan di Akademi Angkatan Laut dan memiliki jadwal libur terbatas. Ia cuma heran karena Wildan sampai meneleponnya hanya untuk memberi kabar tentang acara reuni.

“Emang kenapa, sih? Biasanya juga gue nggak pernah dateng.”

Terdengar decakan tak sabar di seberang sana. “Tahun ini pokoknya gue mau kita full team tiga puluh dua orang. Mumpung yang jauh-jauh juga lagi avail. Lo doang, nih, emang, yang paling bandel. Dateng. Lo nggak ngekos, kan?”

“Nggak.” Samita menyahut pendek.

“Ya, udah. Nanti pas hari H gue kirim utusan buat jemput di rumah lo. Tunggu aja.”

“Dih? Skip dulu, deh, gue, Wil. Next time aja.”

“Udah, pokoknya tunggu aja. Jam empat sore, ya. Sip.”

“Gue nggak bilang iya, ya, Wil–” Telepon diputus. “–dan.”

Sialan.

Berkeras untuk tidak memedulikan siapapun utusan Wildan yang datang ke rumahnya nanti, rencana Samita gagal kala akhirnya bertemu si utusan di hari yang telah ditentukan. Nugi. Lelaki itu memamerkan cengirannya yang biasa ketika mendapati Samita membukakan pagar dalam busana santai rumahan–pertanda gadis itu tidak ada rencana bepergian. Nyaris empat tahun tidak pernah saling bertemu atau bertukar sapa, Samita merasa canggung melihat perwujudan Nugi di depan rumahnya.

“Gue udah tahu, nih, kelakuan lo. Makanya gue samperin dari jam segini, biar lo sempet siap-siap dulu.”

Ketika memeriksa kembali penunjuk waktu, Samita terpaksa mengumpat. Pukul dua siang lebih beberapa menit. Nugi benar. Masih ada sangat cukup waktu baginya untuk bersiap sebelum waktu pertemuan yang ditentukan.

“Gue skip, Gi,” elaknya cepat.

“Gue udah panas-panasan siang-siang gini buat jemput lo doang, Mit.”

“Ya ... bukan gue yang minta?”

Di atas motornya, Nugi tergelak. Samita bisa melihat lelaki itu benar-benar berpeluh. Keringat tampak meluncur turun dari pelipisnya akibat terik matahari yang menyengat. Nyaris membuat Samita mendadak iba.

“Ikut, sih. Bentar doang. Lo juga di rumah nggak ngapa-ngapain, kan?” bujuk Nugi. Tidak terdengar seperti bujukan, nada yang Nugi gunakan justru membuat Samita merasa diperintah. Menyebabkan gadis itu mendengkus.

“Males, ah. Nggak penting juga,” balasnya.

Tidak menanggapi, Nugi justru turun dari motornya. Ia melangkah memasuki halaman kecil rumah Samita, melewati si empunya rumah tanpa permisi. Samita memprotes keras perilaku Nugi yang seenaknya memasuki rumah orang tanpa ijin. Namun, Nugi seolah tidak mendengar setiap gerutuannya.

“Gue yang ijinin ke orang tua lo,” celetuk Nugi kala tiba di teras rumah.

Alis Samita bertaut. Rautnya kesal. “Apaan, sih, lo–”

“ASSALAMUALAIKUM, TANTE!”

Nugi berengsek.

Kalimat itu yang terus Samita ulang dalam kepala ketika akhirnya ia terjebak dalam keramaian di acara reuni teman-teman SMA-nya. Selepas meneriakkan salam dan membuat ibunya lekas keluar, Nugi berbicara langsung pada ibunya, mengarang cerita seolah-olah Samita menolak pergi karena tidak diberi ijin oleh sang ibu. Sesuatu yang tentu saja segera dibantah oleh ibunya. Beliau yang akhirnya meminta Samita berangkat. Katanya, sedikit interaksi sosial mungkin akan baik bagi Samita.

Nugi sialan.

Bagaimana bisa ibunya semudah itu memercayai ucapan Nugi?

“Bentar doang, kan?” tanya Nugi dengan seringaian ketika akhirnya mereka kembali tiba di depan pagar rumah Samita. Sudah malam, nyaris pukul delapan. Acara reuni selesai hampir satu jam yang lalu. Namun, jalanan yang padat di malam Minggu membuat perjalanan mereka tersendat. Mengakibatkan perjalanan pulang mereka mengonsumsi lebih banyak waktu dibanding ketika tadi berangkat.

“Gue masuk dulu,” tukas Samita segera setelah turun dari motor Nugi. Terlalu banyak interaksi sosial untuknya hari ini. Ia tidak memiliki tenaga yang tersisa untuk basa-basi.

“Eh, tunggu.” Suara Nugi membuat langkah Samita berhenti. “Gue mesti pamitan ke orang tua lo dulu nggak, nih?”

Samita memiringkan kepala di tempatnya. “Nggak perlu,” katanya. “Jam segini nyokap gue udah istirahat.”

“Bokap lo?”

Pertanyaan itu membuat Samita membeku. Ia berdiri kaku, menatap Nugi dengan tatapan tidak suka. Setelah begitu lama, tidak pernah ada yang membahas sosok figur ayah di hadapannya. Menyadari Nugi bertanya akibat ketidaktahuan, Samita memutuskan mengalah. Gadis itu menghela pelan.

“Gue nggak punya bokap.”

Ada jeda di mana Nugi tampak terperangah. Bibirnya membuka seolah hendak berkata sesuatu, namun berakhir kembali mengatup tanpa menyuarakan apa-apa. Setelah jeda yang canggung itu, Nugi akhirnya berdeham.

Sorry. Sorry to hear that–

No, don’t be sorry,” potong Samita cepat. “Orang kayak dia nggak pantes dapet ungkapan simpati dari siapapun.”

Hening setelahnya. Di tengah kekalutan dan kemarahan yang menggelegak tiba-tiba, Samita tidak sadar ia telah bersuara terlalu agresif. Raut tidak mengerti yang Nugi tunjukkan membuatnya mendadak gelisah. Samita tidak berniat membuka kehidupan pribadinya sejauh ini kepada seseorang yang hanya berstatus teman SMA-nya.

“Gue ...” Nugi menjadi yang pertama memecah hening. “... gue pikir bokap lo udah meninggal jadi gue ... ngomong kayak tadi. Sori.”

Samita mengeraskan rahang. Terdengar helaan lain sebelum gadis itu berucap, “Sebenernya lebih bagus kalo dia mati aja. Sayangnya, belum.” Samita berhenti sejenak, pandangannya terarah acak. “He left. Demi kawin lagi sama perempuan lain. I was eight.”

Di beberapa  masa setelah pengakuan itu, ketika keduanya telah menjadi dekat, Samita sering kali bertanya-tanya, apakah malam itu Nugi mengasihaninya? Samita tidak tahu. Ia tidak bisa memahami sorot apa yang Nugi berikan kala kemudian tatapan mereka bertemu.

Tidak ada kalimat penghiburan setelahnya. Tidak ada basa-basi kutipan bijak tentang bagaimana sesuatu pasti terjadi karena satu alasan. Nugi hanya mengangguk, pamit pulang dan melaju dengan motornya tanpa mengatakan apa-apa lagi. Sebuah sikap yang entah mengapa justru membuat Samita lega. Setidaknya, Nugi menjadi orang pertama yang membuatnya tidak merasa dikasihani setelah tahu perihal bagaimana sang ayah meninggalkannya.

Hal tidak terduga yang terjadi setelah malam itu adalah keduanya perlahan menjadi sering berkomunikasi. Samita tidak pernah menjalin pertemanan dekat dengan siapapun. Tidak dengan teman laki-laki maupun perempuan. Ketika Nugi sesekali menghubunginya untuk alasan-alasan tidak penting seperti menjadikannya responden kuisioner skripsinya atau meminta bantuannya menyebarkan kuisioner skripsi lelaki itu ke teman-teman kampusnya, Samita tidak menganggap hal itu sebagai sesuatu yang istimewa. Nugi jelas hanya melakukan apa yang lazim dilakukan orang-orang. Memanfaatkan networking.

Ketika kemudian Nugi meneleponnya di suatu malam hanya untuk membicarakan audisi Star Voice Indonesia yang akan dibuka dua bulan lagi, Samita mulai merasa janggal. Untuk apa lelaki itu membicarakan hal-hal seperti ini padanya?

If you want to give it another try, just go ahead then,” sahut Samita malam itu, sembari mengusir pikiran-pikiran aneh yang mulai menyambangi benaknya. Ia tidak punya waktu untuk memikirkan hal-hal yang kurang penting. Skripsinya masih memperoleh setumpuk koreksi dan revisi di saat periode pendaftaran ujian sidang sebentar lagi akan dibuka.

“Iya, sih,” suara Nugi terdengar mengambang. Seolah ragu dan memikirkan sesuatu. Fakta yang membuat Samita mengernyit karena ia nyaris tidak pernah menemukan Nugi dan keraguan dalam satu situasi yang sama. Lelaki itu selalu penuh keangkuhan dan kepercayaan diri. But I want to start things properly this time.”

Kernyitan Samita kian dalam meski sang lawan bicara tidak bisa melihat. Ia memindahkan ponselnya ke telinga yang lain kemudian berujar, “Maksudnya?”

Terdengar kekehan ringan. “Waktu gue ikut SVI jaman SMA, lo inget, kan, gue bikin huru-hara?”

Oh, right.

Tanpa sadar Samita tersenyum. Tentu saja, ia ingat setiap kehebohan yang Nugi timbulkan setelah muncul di televisi sebagai peserta audisi Star Voice Indonesia kala itu. Nama Nugi menjadi topik hangat di seluruh penjuru sekolah bahkan hingga satu minggu setelah penayangan episode audisinya. Ketika kemudian berita pengunduran dirinya tersebar, kabarnya semua warga sekolah–bahkan jajaran guru hingga kepala sekolah–turut menyesalkan keputusan itu.

“Iya, inget,” sahut Samita, tidak berhasil menyembunyikan tawa tertahan dalam suaranya. “Such a hot issue you were, back then.”

Kali ini Nugi tergelak. Sebuah tawa sombong yang membuat Samita lantas memutar bola mata. Percakapan ini mulai menarik. Membuat gadis itu lupa pada layar laptop yang menyala di hadapannya. Mengalihkan pandangan dari laptopnya, Samita lantas merebahkan diri di kasur. Matanya menatap langit-langit kamar.

Well, there’s that,” Nugi berujar pongah, membuat Samita melepaskan decakan gusar. “Tapi huru-hara yang gue maksud bukan yang itu.”

Kening Samita berkerut. “Terus?”

“Huru-hara di rumah,” jawab Nugi kalem. “Gue cerita sama lo waktu itu.”

Ada waktu di mana Samita mengira Nugi hanya tidak sengaja menceritakan beberapa hal padanya di masa lalu. Atau mungkin, lelaki itu sudah lupa pernah menceritakan hal-hal tertentu pada Samita. Namun, rupanya dugaan itu salah. Nugi mengingat dengan baik siapa-siapa saja yang menyimpan kisah hidupnya. Lelaki itu berbagi dengan sadar dan memiliki memori utuh mengenai kepada siapa saja ia berbagi.

Samita lalu berdeham kecil. “Oh. Iya, lo cerita.”

Setelahnya hening. Samita masih sibuk menatapi langit-langit kamarnya. Memperhatikan pola kecokelatan yang terbentuk dari bekas bocoran air di plafon. Isi kepalanya mengambang timbul tenggelam hingga suara Nugi terdengar dan kembali meraih atensinya penuh-penuh.

“Gue nggak mau bikin huru-hara lagi. Gue mau ijin ke nyokap dulu sebelum daftar.”

Kepala Samita terangguk paham. “Ya, udah. Ijinlah, sana.”

Tidak ada jawaban. Samita bisa mendengar Nugi menghela, sebelum tertawa pelan. Jenis tawa asing yang membuat gadis itu mengernyit.

“Masalahnya, audisi SVI tanggalnya barengan sama periode sidang kampus gue,” tutur Nugi, membuat Samita seketika memahami arti gelaknya barusan. Tawa pasrah, ragu, gugup. Segala bentuk yang menyalahi kodrat tawa sebagai lambang kegembiraan. “Kalo nyokap tahu, pasti nggak setuju.”

Di luar kemauannya, Samita melepaskan satu dengkus tawa. Tubuhnya yang tadi rebah kini bangkit ke posisi duduk. Gadis itu lantas menyandarkan punggungnya pada kepala ranjang. Katanya kemudian, “Tahu, nggak? It’s funny because this doesn’t sound like you.”

Sambungan kembali hening. Dalam hati, Samita menerka-nerka apakah kalimatnya barusan terlampau kasar. Nugi menghubunginya untuk membicarakan permasalahan pribadi. Tentu ada sesuatu yang sedang dicari oleh lelaki itu. Entah dukungan, pendengar, pun potongan kalimat penenang. Setiap opsi yang muncul di kepala Samita tidak terdengar seperti sesuatu yang mungkin Nugi butuhkan. Karenanya tadi, ia hanya menyuarakan apa yang terlintas di kepalanya. Lagipula, sejak kapan Nugi memikirkan tentangan orang lain terhadap pilihan-pilihan yang akan ia ambil?

Well, let’s say,” sahut Nugi kala suaranya kembali terdengar. I’ve learned my lesson of taking others’ opinions into consideration?”

Pernyataan dengan nada bertanya itu terdengar jenaka. Seolah disuarakan setengah bercanda. Samita bahkan hampir yakin Nugi tengah tersenyum ketika mengucapkannya tadi. Sebuah pemikiran yang membuatnya turut melengkungan bibir.

So now you’re doing it?”

“Apa?”

Taking others’ opinions into consideration?”

Taking your opinion, to be exact. Menurut lo gimana?”

Samita tidak akan bertanya mengapa lelaki itu menginginkan pendapatnya. Kala itu, ia belum cukup memahami hal-hal tentang hati. Ia hanya tahu seseorang memintanya memberikan pandangan tentang sesuatu. Dan mengenal tabiat Nugi sejak lama, ia tahu apa yang harus dikatakan.

“Kenapa nanya gue? It’s your specialty, tho,” cetus Samita akhirnya, sembari menahan tawa. “To lure others to agree with you.”

Nugi tertawa renyah. Dengan tawa yang mustahil untuk diabaikan. Jenis tawa menular yang membuat siapapun yang mendengarnya serta-merta ingin ikut tertawa. Dan itulah yang Samita lakukan. Diam-diam ikut tertawa bersama Nugi meski tidak memahami apa yang lucu. Ketika akhirnya Nugi mengucapkan terima kasih dan menutup telepon malam itu, Samita merasakan bibirnya tidak bisa berhenti tersenyum.

Ini aneh.

Kala itu ia tidak mengerti. Namun berhari-hari setelahnya, ketika Nugi memberinya kabar kala berada di lokasi audisi Star Voice Indonesia, atau ketika lelaki itu memberitahukan jadwal ujian sidang skripsinya, atau ketika ia muncul di kampus Samita demi mengucapkan selamat segera setelah gadis itu keluar ruang sidang, Samita mulai mempelajari semuanya pelan-pelan. Ini tidak lagi terlalu aneh. Semuanya perlahan menjadi jelas. Nugi memiliki maksud lain selain membangun pertemanan.

Maka kala lelaki itu masih berkeras menjalin kontak dengannya bahkan setelah menjadi juara ketiga acara Star Voice Indonesia beberapa bulan kemudian, Samita tidak lagi berniat mengelak pun melarikan diri. Ia mulai merasakan kenyamanan yang asing namun menyenangkan. Berbincang dengan Nugi, meski hanya membahas seputar hal-hal remeh melalui telepon, mulai terasa seperti rutinitas yang harus dilakukan setiap hari.

Selepas acara Star Voice Indonesia, nama Nugi lekas menarik perhatian media. Tidak butuh waktu lama bagi Nugi untuk memperoleh berbagai tawaran dan berakhir menandatangani kontrak eksklusif dengan Satura Management–perusahaan manajemen artisnya yang sekarang. Selang beberapa bulan kemudian, giliran penandatanganan kontraknya dengan label rekaman Swaramudra Music Indonesia yang menjadi berita. Sebuah pijakan awal sebelum Nugi resmi merilis album pertamanya.

Samita menyaksikan seluruh perjalanan panjang seorang Nugraha Randika menjadi sesosok Nugi Radi. Gadis itu mendengarkan setiap keluh kesah Nugi di masing-masing fase. Sepanjang masa itu, Samita masih berusaha menyembunyikan hati. Berpura-pura tidak merasakan apa-apa tiap kali Nugi menyempatkan diri menghubunginya sesekali hanya untuk mengadu pun menceritakan sesuatu. Siapa dirinya? Ia hanya seorang teman lama. Sama sekali bukan apa-apa.

Namun, ketika malam itu Nugi menelepon dan mengajaknya bertemu setelah sekian lama, Samita merasakan degup jantungnya berubah berantakan. Ia mengatur napas sebelum menerima tawaran. Tidak ingin terdengar terlalu bersemangat, pun terlalu enggan menjawab. Sungguh lucu, bagaimana dulu ia mencibir setiap anak perempuan yang tergila-gila pada Nugi di sekolah, dan sekarang ia justru mengalami hal yang sama.

You’re working on something,” tebak Samita dengan nada meminta konfirmasi kala Nugi mengajaknya masuk ke salah satu ruangan di Siren. Baru lepas pukul tujuh malam. Mereka sepakat bertemu di Siren atas permintaan Nugi. Lelaki itu bilang ingin menunjukkan sesuatu.

Kepala Nugi terangguk. Senyumnya tampak semringah, seolah ada sesuatu yang sedang terbakar dalam dirinya.

It’s done, actually. My newest work,” lapornya, mengonfirmasi anggukan kepalanya barusan.

Samita menaikkan sepasang alis. “You sound proud.”

I am.”

Kali ini, Samita terpaksa memutar bola matanya sementara Nugi menunjukkan cengiran. Tidak ada pembicaraan lanjutan. Nugi tengah sibuk merapikan jaket serta tasnya yang tampak bergeletakan di sisi drum set.

“Buat album baru?” Samita bertanya lagi sembari menatap berkeliling. Perasaannya berdebar. Ia belum pernah memasuki ruangan seperti ini.

“Nggak juga,” sahut Nugi. “Iseng nulis lagu aja, mumpung dapet inspirasi.”

Ganti Samita yang mengangguk. Gadis itu masih berdiri canggung di tengah ruangan ketika suara Nugi mendadak menyela.

“Duduk, Mit. Santai aja. Ruang VIP nih,” candanya, sambil mengedik pada sofa kecil di sudut. Samita tertawa canggung. Entah karena fakta bahwa kini Nugi adalah seorang artis atau fakta bahwa ia kini menyukai lelaki itu, Samita merasakan ketegangan yang aneh. Ditambah, ia dan Nugi hanya berdua di ruangan tertutup berukuran 3 x 5 meter ini.

“Lo orang pertama yang denger ini. Masih mentah, sih. Tapi gue butuh pendapat objektif,” jelas Nugi, masih dengan cengiran yang sama. Di tangannya kini tergenggam gitar akustik lamanya yang Samita kenali. Gitar yang telah menemani Nugi sejak di SMA dulu.

Samita mengerling malas. “Lo ngomong seolah gue ngerti musik. Pendapat objektif apaan.”

“Musik, tuh, bahasa universal. Orang yang nggak ngerti musik juga–”

“–bisa ngerasain makna suatu lagu asal punya hati,” potong Samita segera, menirukan ucapan Nugi yang sudah sering ia dengar. “Iya, paham. Go on.”

Nugi mendengkus tertawa. Ada sesuatu dalam senyum lelaki itu yang entah mengapa membuat Samita gemas. Seolah Nugi yang dilihatnya malam ini bukan si pongah yang suka membuat ulah. Bukan si congkak yang sering membanggakan diri. Nugi yang berdiri di hadapannya saat ini terlihat seperti anak kecil yang bersemangat. Anak kecil yang menyimpan mimpi yang meletup-letup minta diwujudkan. Dan pemikiran absurd itu membuat Samita tersenyum.

Okay, here we go,” Nugi menduduki undakan menyerupai panggung kecil tempat peletakkan drum set dalam ruangan, tepat berseberangan dengan sofa yang diduduki Samita. Ia mengatur gitarnya sejenak sebelum memetik senar, menghasilkan beberapa nada.

Samita diam di tempatnya. Menyaksikan bagaimana lelaki itu melantunkan satu lagu asing pelan-pelan. Lagu yang terdengar manis dan menenangkan. Samita butuh waktu untuk mengalihkan perhatiannya dari wajah Nugi ke lagu yang tengah mengalun. Dan seobjektif apa pun gadis itu berusaha, ia tidak bisa membohongi dirinya sendiri. Ia menyukai apa yang ia dengar.

Tentang kamu

Yang mendadak penuhi ruang kalbu

Menyapa relung hati yang bisu

Dan mengusir tiap angan sendu

Lalu kamu

Awalnya kupikir ku mampu

Mengelak dari seribu bayangmu

Yang terus menyapa dalam semu

Tapi kamu,

hadirkan rengkuh saat ku lelah dan berpeluh

Usah kau risaukan sisa dunia

Semua hanya milik kita berdua

Kini sambut tanganku

Sudikah hatimu terima hatiku?

Setelah sesuatu yang terdengar seperti chorus pertama, Nugi berhenti. Lelaki itu masih memangku gitarnya kala kemudian tersenyum ke arah Samita. Pandangan keduanya bertemu. Samita mengerjap satu kali. Jantung tidak apa-apa. Jantungnya baik-baik saja. Rupanya, ia terlalu menikmati alunan lagu barusan hingga tidak menyadari bahwa sepanjang permainannya tadi, Nugi terus mengunci pandangan ke arahnya.

“Gimana?” tanya Nugi akhirnya, memecah keheningan.

Samita baru menyadari sesuatu. Bahkan ketika hanya sedang bicara, Nugi memiliki suara yang enak didengar.

Oh, astaga. Kenapa isi kepalanya jadi sangat menjijikkan?

Gadis itu menggeleng samar, lalu menelengkan kepala. “Ini cuma pendapat gue sebagai–”

“–awam,” potong Nugi dengan senyum yang sama. “Gue tahu. Go on.

Samita mendecak pelan. “Enak,” komentarnya ragu-ragu. Isi kepalanya berputar, berusaha mencari kosa kata lain yang lebih lazim digunakan. “Manis. I mean, the music, the lyrics, everything sounds nice ... and sweet.

Nugi tertawa lepas. Lelaki itu lalu meletakkan gitarnya merebah di panggung drum set sebelum bangkit berdiri dan berjalan ke arah Samita. Menyebabkan Samita mengawasi gerak-geriknya melalui pandangan mata.

So this time, who?” tanya Samita segera setelah Nugi menduduki sofa kecil lain yang berada tepat di sisinya, membuat senyum Nugi melebar.

Samita memahami landasan bermusik Nugi sebaik ia memahami dirinya sendiri. Lelaki itu selalu bicara soal “menyimpan orang dalam lagu”. Setiap lagu ciptaan Nugi selalu berasal dari kisah orang lain yang ia simpan, entah itu kisah sedih, jatuh cinta, patah hati, semangat berambisi–apa pun. Dan kini, Samita cukup penasaran. Cerita siapa lagi yang Nugi abadikan dalam lagunya?

Untuk kesekian kali di malam ini, pandangan keduanya bertemu. Nugi memainkan satu senyum tipis yang aneh di bibirnya sebelum bibir itu bergerak, menjawab. “Me.

Setelahnya hening. Samita mencoba memahami jawaban Nugi yang terasa kabur dari akal sehatnya. Butuh beberapa detik hingga ia menyadari, Nugi tengah membicarakan dirinya sendiri.

Itu bagus, kan? He found someone. You should find yours too, bisik suara hatinya.

Wow,” Samita memecah hening, menciptakan suara yang lebih kering dari yang ia maksudkan. “Jadi, akhirnya seorang Nugi bisa jadi manusia juga?” candanya, menutupi sesuatu yang berdenyut kecewa dalam dirinya. Apa yang ia harapkan selama ini? Bahwa Nugi juga masih menganggap istimewa setiap hal yang mereka lalui? Bahkan setelah lelaki itu mencicipi gemerlap dunia hiburan? Yang benar saja.

Tawa Nugi menyambut pertanyaannya. Samita mulai bisa memaknai rasa asing yang sedari tadi ia rasakan di sekitar Nugi. Lelaki itu tengah jatuh cinta. Itulah kenapa setiap tingkah lakunya malam ini terasa berbeda. Seolah ada semangat lain yang sedang memacunya. Tentu saja. Cinta memang mampu mengubah dan memengaruhi orang sebanyak itu.

And what does that even mean?” Nugi bertanya balik.

Samita mengangkat bahu. “Ya ... lo. Jadi manusia. Maksudnya, jatuh cinta, naksir cewek, feeling things. Nggak kedengeran kayak Nugi yang gue tahu, tapi ya, bagus, deh. Gue ikut seneng.”

Nugi terkekeh. “Makasih buat penilaiannya. Tapi sebenernya gue nggak separah itu,” sahutnya membela diri. Ia kemudian mengalihkan pandang, menatap acak pada tiap sudut ruangan tertutup. “Lo nggak mau tahu siapa orangnya?”

Dengan kerlingan malas, Samita mencibir. “Sebenernya sih, nggak,” balasnya, tidak sepenuhnya berbohong. Samita tidak ingin tahu. Perempuan yang sedang Nugi sukai itu bisa siapa saja. Mungkin rekan sejawatnya di dunia tarik suara. Atau seorang model, aktris, siapa pun. Para pelakon dunia hiburan yang tentu memiliki citra yang sangat jauh jika dibandingkan dengan dirinya. Samita tidak ingin menyimpan perasaan buruk pada seseorang yang mungkin sama sekali tidak dikenalnya. Akan jauh lebih baik jika ia tidak tahu. Namun, melihat raut Nugi yang tampak siap menghujaninya dengan kisah, gadis itu lantas menghela. “Tapi kalo lo mau ngasih tahu, nggak ada ruginya juga buat gue,” lanjutnya, lalu mengedik pada Nugi. “Siapa cewek kurang beruntung itu?”

Tidak ada jawaban.

Senyum tipis yang aneh tadi kembali terpeta di wajah Nugi yang tengah menjatuhkan pandangan pada jari-jari kaki telanjangnya. Samita menunggu dalam diam, menyembunyikan gelisah menghadapi jeda yang tampaknya sengaja Nugi ciptakan di antara mereka. Cukup lama. Hingga akhirnya lelaki itu mendongak dan menoleh ke arah Samita, menatapnya penuh-penuh dan menjawab,

“Lo.”

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status