Share

5. Bayang Masa Lalu

“Lembur abis kabur, ya, Mit?”

Samita meringis tanpa menoleh. Suara tawa Danu menyusul setelahnya. Seniornya itu hanya menggelengkan kepala sambil berlalu, kembali ke mejanya sendiri. Meninggalkan Samita yang masih sibuk dengan setumpuk pekerjaan.

“Semangat, Mit.” Kali ini suara prihatin Rena yang menyapa indra pendengaran Samita. “Harusnya, sih, lo ngambil cutinya sekalian aja bablas sampe weekend, masuk lagi Senin depan. Nanggung amat lo masuk Jumat-Jumat.”

Samita tidak menyahut. Namun, satu tangannya dengan sigap menyambar secarik post-it yang tertempel di sisi layar komputernya untuk kemudian diremas membola dan dilemparkan ke arah Rena. Yang ditarget justru terkikik sembari menghindar. Menyebabkan lemparan Samita meleset dan jatuh ke dekat kaki kursi Rena.

“Diem, deh, Ren. Gue lagi nggak bisa ribut, nih,” keluh Samita, akhirnya bersuara. Meski seluruh atensinya masih tertuju pada layar komputernya.

“Lagian lo, kaburnya tiba-tiba banget,” cetus Rena setelah memungut amunisi Samita yang tadi meleset untuk kemudian membuangnya ke tempat sampah terdekat. “Heboh, tuh, Pak Helmi kemaren gara-gara lo mendadak ijin.”

Samita memutar bola matanya. Menjadi salah satu staf senior kepercayaan bos ternyata tidak selalu menyenangkan. Setelah dua hari lalu ijin meninggalkan kantor lebih awal dan mengambil cuti mendadak satu hari setelahnya demi menemani sang ibu yang kebetulan berada di Jakarta, rupanya, atasan Samita tidak lantas meringankan beban pekerjaannya barang sedikit saja. Tadinya, Samita kira, beberapa laporan koreksi serta draft SPT Masa milik klien yang baru ia kerjakan sebagian akan didelegasikan kepada staf lain seperti Rena, Pram, atau Ifan, selama ia tidak masuk, mengingat tenggat pengerjaan yang hanya sampai minggu depan. Toh, timnya biasa merotasi pekerjaan hingga tiap staf terlibat mengerjakan klien-klien yang sama. Tapi dugaannya salah. Kali ini, Pak Helmi–bosnya–tidak memutuskan demikian. Menganggap Samita sebagai bawahannya yang mampu mengerjakan pekerjaan dengan baik dan tepat waktu–tak peduli sesempit apa pun waktu yang tersisa–Pak Helmi memerintahkan anggota timnya yang lain untuk fokus menangani beberapa klien baru. Membiarkan Samita menanggung beban kerjanya seorang diri.

“Dia ngambek kali, ya, makanya gue disuruh selesaiin semuanya hari ini banget?” terka Samita, menyempatkan diri menoleh ke arah Rena yang sudah kembali menghadap komputernya sendiri.

Nada merana Samita rupanya mampu membuat perhatian Rena teralih. Gadis itu lantas menoleh. Bahunya terangkat kemudian. “Bisa jadi. Nggak tahu, deh.”

Samita mengerang pelan. Berniat beristirahat sebentar demi mengendurkan otot-ototnya yang tegang sejak pagi, perempuan itu lantas merenggangkan punggung. Matanya menatap berkeliling. Melihat bagaimana beberapa rekannya yang lain juga tengah sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Samita kemudian menghela. Sejujurnya, ia tidak sepenuhnya menyesali keputusannya kemarin.

Sejak putrinya menyandang gelar sarjana dan diterima bekerja di salah satu kantor konsultan pajak di Jakarta, ibu Samita memutuskan untuk menerima tawaran seorang kerabat membantu mengelola usaha pertokoan di Cirebon–mengingat sebagian besar keluarganya juga berasal dari sana. Tinggal di kota berbeda dengan sang ibu sejak lulus kuliah membuat frekuensi pertemuan Samita dengan ibunya tidak lagi sesering dulu. Ia tentu tidak ingin melewatkan kesempatan menghabiskan waktu dengan ibunya jika kebetulan memperoleh peluang. Bekerja di Kantor Konsultan Pajak sebagai Senior Tax Consultant sudah cukup menyita setiap konsentrasi dan perhatiannya. Sering kali, Samita bahkan tidak bisa menikmati akhir pekannya karena tuntutan pekerjaan. Karenanya, ia pun jarang mengunjungi sang ibu di kota lain.

“Mit, break dulu. Makan siang, ayo.”

Ajakan itu membuyarkan lamunan Samita. Ia mendongak, menemukan Ifan sudah berdiri di depan mejanya. Kepala Samita lantas tertoleh ke samping, mencari sosok Rena di meja yang tepat bersisian dengan mejanya.

“Rena lagi ke toilet,” suara Ifan kembali terdengar. “Abis itu mau turun dulu, cari makan. Lo ikut, nggak?”

Kali ini Samita memandang berkeliling. Meneliti tiap sudut ruangan besar bersekat-sekat itu. Ia tidak sadar sejak kapan tepatnya setiap pemilik meja mulai pergi satu per satu meninggalkan markas masing-masing, atau sejak kapan waktu istirahat–yang biasanya ditandai dengan azan berkumandang–dimulai. Yang pasti, setiap meja di ruangan itu kini kosong, ditinggalkan oleh para pemiliknya untuk sekadar mengisi ulang tenaga yang sudah digempur sejak pagi.

“Wey, bengong aja!” tegur Ifan lagi, kali ini setengah tertawa. “Makan siang dulu, yuk. Nanti dilanjut. Dikit lagi, kan, kerjaan lo?”

Dikit lagi apanya, keluh Samita dalam hati. Namun kala memandang Ifan, ia hanya memasang senyum terpaksa.

“Duluan, deh, Fan. Masih banyak kerjaan gue,” kilah Samita, memeriksa kembali daftar setiap tanggung jawab yang harus ia selesaikan hari ini.

Di depannya, Ifan mengangkat bahu. “Nitip, nggak?”

“Nanti gue chat Rena, deh, kalo mau nitip.”

Ifan menganggukkan kepala. “Oke. Tapi jangan kelamaan mikir. Gue sama anak-anak nggak makan di bawah soalnya. Mau dibungkus aja, makan di sini. Lagi hectic banget.”

Samita memberi isyarat dengan jemarinya, menyatakan persetujuan. Setelahnya, Ifan lantas berlalu, meninggalkan perempuan itu sendiri dalam ruangan. Sepeninggalan Ifan, Samita menghela pendek. Memutuskan bahwa ia tidak cukup lapar untuk butuh memakan sesuatu sampai beberapa jam ke depan, perempuan itu lekas kembali berkutat dengan komputernya. Berniat melanjutkan catatan koreksi laporan keuangan milik klien yang tadi sedang ia kerjakan.

Tidak sampai semenit berlalu, Samita merasakan ponselnya bergetar dalam laci meja. Niat awalnya untuk mengabaikan gangguan itu digantikan rasa panik yang tiba-tiba menyergap. Pesan atau panggilan yang masuk ke ponselnya bisa berasal dari siapa saja. Termasuk para klien yang enggan menggunakan surat elektronik dan lebih suka memanfaatkan layanan obrolan daring atau pesan singkat untuk menghubunginya terkait pekerjaan. Mengingat itu, Samita buru-buru mengambil ponselnya dari dalam laci.

Namun, ketegangannya lekas mengendur kala menemukan nama Nugi di layar. Panggilan masuk.

“Apa?” sahut Samita segera setelah menggulir opsi jawab. Ia bisa saja mengabaikan lelaki itu demi menyelesaikan pekerjaannya. Tapi mengabaikan Nugi biasanya tidak akan berakhir baik.

“Galak banget mbaknya,” seloroh Nugi sembari tergelak. “Pengen nelepon aja. Mama kamu udah balik ke Cirebon?”

Samita menyandarkan punggung pada sandaran kursi, untuk sejenak mengalihkan perhatian dari layar komputernya yang menyala. “Udah, kemarin.”

Terdengar suara latar yang agak ramai. “Maaf ya, nggak bisa ikut nganter. Kemarin aku ada kerjaan.”

Satu tangan Samita menggerakkan tetikus, matanya kembali pada layar komputer. Pelan-pelan, ia meneruskan pekerjaannya diam-diam. “Iya, nggak pa-pa. Salam balik dari Mama. Kamu lagi di mana? Rame banget?”

Jeda sejenak. Sepertinya, Nugi tengah berbicara dengan seseorang sembari menjauhkan ponsel. Suaranya terdengar sayup, timbul tenggelam. Sambil menunggu sang kekasih, perempuan itu lantas menjepit ponselnya di antara telinga dan bahu demi membebaskan kedua tangannya untuk mengetikkan sesuatu.

“Halo? Iya, ini lagi di Swaramudra. Abis rapat, ngomongin jadwal rekaman.” Nugi menyahut, suaranya kembali hilang timbul. “Kamu masih kerja jam segini?”

Satu tangan Samita kembali memegang ponselnya. “Aku kerja nine to five, Gi. Kalo kamu lupa, ini masih jam kantor.”

Nugi tergelak. “Aku tahu,” balasnya, dengan suara yang membuat Samita meyakini bahwa lelaki itu tengah tersenyum. “Tapi ini jam setengah satu, Sayang. Emangnya nggak istirahat?”

Untuk sesaat, Samita membeku. Tangannya yang tadi tengah menggerakkan tetikus mendadak terhenti. Ia tidak mengerti mengapa belakangan ini hatinya mudah sekali berdesir. Bagaimana bisa sepotong kata “Sayang” dari Nugi berhasil membuatnya berdebar seperti sekarang? Setengah gusar, Samita mengklik tombol tetikusnya dengan kasar.

“Iya,” katanya putus-putus, berusaha mengatur degup jantungnya yang tengah berulah. “Kerjaan aku masih banyak, gara-gara kemarin ijin dua hari pas ada Mama.”

Jeda lagi. Samita mulai bertanya-tanya apakah Nugi masih mendengarkannya.

“Makan,” cetus Nugi akhirnya. Nadanya memerintah, membuat Samita memutar bola mata tanpa sadar. “Aku pesenin makan, ya?”

“Nggak usah,” tolak Samita. Nugi mungkin akan membuatnya terjebak dalam situasi menyebalkan jika lelaki itu nekat mengirimkan sesuatu ke kantornya. Bayangan bagaimana Rena akan berapi-api membicarakan perihal sosok si pengirim dan memberondongnya dengan sejuta pertanyaan sudah cukup membuat Samita sakit kepala. “Nanti ribut anak-anak sini, nanyain dari siapa.”

Tawa Nugi kembali terdengar. “Ya jawab aja, dari pacar.”

“Iya, terus kalo nanti aku disuruh kenalin pacar aku ke mereka, aku mau jawab apa?” tantang Samita selepas mendengkus. Menyebabkan gelak Nugi di ujung sambungan telepon kian mengeras.

“Bilang, pacar kamu orang sibuk, cuma pihak-pihak berkepentingan yang bisa ketemu.”

Samita tidak menanggapi. Perempuan itu hanya memutar bola matanya, terlalu malas menyahuti ucapan kosong Nugi. Matanya kembali sibuk meneliti layar komputer, memeriksa pekerjaannya. “Udah, nggak usah macem-macem, aku udah nitip makan kok, sama temen yang ke kantin,” kata Samita akhirnya, berbohong.

“Okay,” Nugi menyahut. “Nanti malem aku nginep.”

Kening Samita berkerut. Perhatiannya kembali teralih penuh dari pekerjaannya. “Kamu tuh, sebenernya penyanyi apa pengangguran, sih? Main ke apart mulu perasaan? Katanya lagi sibuk, banyak rekaman?”

Suara gelak Nugi kembali berderai, menyapa telinga Samita. Tanpa sadar, sudut bibir Samita tertarik, membentuk senyum. Mendengar tawa Nugi selalu berhasil membuatnya merasa baik.

“Ya, rekaman kan, nggak malem-malem, Ta,” balas Nugi di sela tawanya. “Lagi suntuk di apart sendiri, mending berduaan sama kamu.”

Oh, si berengsek ini.

Tidak segera menjawab, Samita menyempatkan diri memeriksa arloji di pergelangan tangannya. Berbincang kosong dengan Nugi rupanya cukup memakan waktu. Jika tidak sedang diintai setumpuk tanggung jawab, Samita tentu tidak akan keberatan mengisi jam istirahatnya bersama sang kekasih. Namun, saat ini, ia butuh konsentrasi penuh. Belum lagi keberadaan teman-temannya yang pasti akan kembali sebentar lagi.

“Ya, udah. Dateng aja. Biasa juga kamu dateng-dateng aja, nggak pake ijin,” sahut Samita, sembari memikirkan bagaimana cara memutus percakapan dengan Nugi.

Lelakinya lantas terkekeh. “Emang nggak ijin, cuma ngabarin.”

Samita mencibir diam-diam. Sebelum ia sempat menanggapi, telinganya menangkap suara yang terasa jauh. Seseorang tampaknya baru saja memanggil Nugi. Ia baru hendak bertanya kala mendadak saja Nugi berujar,

“Eh, aku tutup dulu, ya. Rian manggil, katanya ada yang penting.”

Kepala Samita lantas terangguk. “Oh, o–”

Telepon ditutup.

“–ke.”

Perempuan itu mengembuskan napas sembari meletakkan kembali ponselnya ke meja. Sejenak, Samita memijat pelipisnya, berusaha meredakan perasaan janggal yang mendadak mendera. Seharusnya, ia sudah terbiasa. Ada masa di mana Nugi menjadi benar-benar sibuk dan sering kali sulit dihubungi. Pada masa-masa seperti itu, pemutusan sambungan telepon secara sepihak sudah biasa terjadi. Ini bukan yang pertama kali.

Namun, tiap kali itu pula, Samita merasa aneh. Tidak bisakah Nugi menunggunya barang beberapa detik saja? Menyelesaikan satu kata bahkan tidak akan memakan waktu semenit.

Tapi memangnya ia bisa apa?

Lelakinya memang begitu. Dan Samita tidak pernah benar-benar mempermasalahkan hal tersebut. Ia tidak suka meributkan hal-hal remeh. Terkesan tidak penting. Perasaan itu pun biasanya hanya bertahan beberapa menit. Tidak sampai satu jam ke depan, Samita bahkan tidak akan teringat lagi pada perasaan ganjil yang tengah mengganjal hatinya sekarang.

Jadi, lamat-lamat, ia mengatur napas beberapa kali. Mengusir perasaan mengganjal itu dari hatinya. Setelah merasa lebih baik, Samita lantas menegakkan tubuh, bersiap kembali memusatkan perhatian pada layar komputernya.

Namun, sebelum ia sempat menyentuh keyboard, ponselnya kembali bergetar.

Samita mengernyit. Pupilnya bergerak memeriksa layar ponsel, menemukan rentetan nomor di sana. Menyadari panggilan masuk itu berasal dari seseorang yang nomornya tidak ia simpan–dan, sekali lagi, orang itu bisa jadi siapapun, termasuk kliennya–Samita terpaksa menyempatkan diri untuk menjawab. Ia menghela kasar sebelum menggulir opsi jawab pada layar dan menempelkan ponselnya ke telinga.

“Halo?” sapanya, setengah hati.

Hening.

“Halo?” Samita bersuara lagi. Ia tidak punya banyak waktu untuk berbasa-basi. “Maaf, dengan siapa?”

“Ta, ...” Terdengar suara seorang lelaki. “Ini Papa.”

Jantung Samita memukul keras satu kali. Setelahnya, degupnya berubah cepat dan menyakitkan. Dadanya seolah didera dari dalam. Seluruh perasaan campur aduk memenuhi dirinya. Gusar, marah, takut, pun seutas kesedihan yang tak pernah ingin ia akui. Setelah belasan tahun, rupanya orang itu masih berani menyebut dirinya papa?

“Ta? Ini benar Ita, kan? Samita anak Papa?”

Entah sejak kapan, tangan Samita gemetar. Seluruh alat geraknya terasa lemas. Ponselnya nyaris meluncur jatuh jika saja ia tidak cukup sigap mengeratkan genggaman.

Berengsek, maki Samita dalam hati.

Ia tidak punya ayah. Ia tidak pernah punya ayah. Ia hanya anak ibunya.

“Ita apa kabar?”

Tidak sanggup mendengar lebih banyak, Samita lantas memutus sambungan telepon dengan sisa-sisa kesadaran. Tubuhnya bergetar hebat kala ia berusaha meletakkan kembali ponselnya ke atas meja. Alih-alih meletakkan, gerakan Samita justru menyebabkan benda itu seolah terlempar. Jatuh berdebum keras menghantam permukaan meja. Samita tidak sempat mengkhawatirkan ponselnya. Benaknya terlalu sibuk mengonsumsi setiap amarah dan kebencian yang tengah memenuhi diri. Tiap gambaran kelam dan kenangan buruk di masa kecilnya mendadak kembali muncul ke permukaan, seolah baru saja terjadi.

Samita tidak lagi menyadari keadaan sekitar. Isi kepalanya berputar terlalu cepat.

Tubuhnya seperti ditarik kembali ke dimensi saat ini ketika telinganya menangkap suara Rena memekik heboh,

“Mit? Lo kenapa, lo sakit?!”

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status