Share

6. Dihantui

“Kamu kenapa? Lagi ada yang dipikirin?”

Sedikit terlonjak, Samita menengadah. Matanya menemukan sosok Nugi yang sudah mengenakan kaos oblong serta celana kain, perlahan menyusup di balik selimut, duduk tepat di sisinya di atas ranjang. Lelaki itu memang meninggalkan beberapa potong pakaian di apartemennya. Persiapan, jawab Nugi kala Samita mempertanyakan motifnya suatu kali.

“M-hm,” Samita menggumam lemah.

Telepon mendadak dari pria yang mengaku sebagainya papanya siang tadi itu sukses membuat harinya memburuk. Butuh bermenit-menit baginya tadi untuk menenangkan diri dan kembali bersikap normal. Jangan lupakan tatapan aneh dan khawatir dari rekan-rekan di ruangannya. Situasi siang tadi benar-benar berengsek.

“Mikirin apa?”

Segera setelah suara bertanya Nugi menghilang dari pendengaran, Samita bisa merasakan eksistensi lelaki itu di sekitar ceruk lehernya. Bibir Nugi yang terasa lembab menyusuri area lehernya sembari meninggalkan kecupan-kecupan singkat yang sengaja dimaksudkan untuk menggoda.

“Biasalah, kerjaan,” balas Samita, memutuskan ia akan menyimpan kejadian tadi siang untuk dirinya sendiri, setidaknya selama beberapa waktu ke depan. “Gi, geli.”

Suara protes itu dibarengi dengan elakan Samita menjauhi bibir sang kekasih. Nugi menegakkan tubuh. Tatapannya terarah pada Samita, membuat keduanya bertukar pandang sejenak. Dalam sekali lihat, Samita tahu jelas intensi kekasihnya.

Nugi sialan.

“Udah, nggak usah dipikirin.” Nugi kembali bersuara. Suaranya yang memang sudah rendah khas lelaki, mendadak terdengar jauh lebih rendah. Seakan tengah menahan sesuatu—menahan hasrat.I'm gonna offer you a better night to spend.”

Di luar kemauannya, Samita terkekeh geli.

Seriously, Gi? Is this your way to cheer someone up? Ngajakin having sex?”

Ganti Nugi yang terkekeh. Lelaki itu mengekeh hingga bahunya berguncang. Ia kembali menunduk sedikit, sekali lagi menghujani sepanjang leher wanitanya dengan kecupan lain. “You like this way better, tho.”

Samita tidak mengelak. Ucapan Nugi tidak sepenuhnya salah. Ia butuh sesuatu untuk mengalihkan perhatiannya malam ini. Sesuatu yang bisa membuatnya cukup sibuk dan lupa. Sesuatu yang bisa menyebabkannya begitu kelelahan hingga jatuh tertidur tanpa harus berpikir apa-apa lagi soal kejadian siang tadi. Dan tawaran Nugi sama sekali tidak buruk.

Maka ketika sang kekasih mulai merengkuhnya mendekat dan membagi kehangatan, Samita tidak menolak. Perempuan itu menikmatinya. Nugi selalu punya cara untuk membuainya.

Perlahan, Samita bisa merasakan tangan Nugi mulai menjamah titik-titik tertentu. Membawanya melayang dalam gairah malam. Samita tidak ingin ingat lagi pada ketegangannya sepanjang hari ini. Nugi-nya di sini. Semua akan indah malam ini.

Ketika Samita terbangun keesokan harinya, Nugi sudah tidak ada di sisinya. Suara-suara dari luar kamar membuat Samita memaksa diri untuk bangun. Dengan kantuk dan badan yang serasa remuk, perempuan itu duduk menyandar pada kepala ranjang, berusaha menghimpun kesadarannya penuh-penuh.

Segera setelah merasa terjaga penuh, Samita memandang berkeliling, mencari pakaiannya semalam. Pakaian dalamnya bergeletakan di lantai, di sisi-sisi ranjang, bersama dengan kaos oversized-nya. Sementara celana pendek miliknya tersungkur jauh di ujung ranjang, di dekat kaki jika ia mengunjurkan kakinya.

Pelan-pelan, perempuan itu memunguti pakaiannya satu per satu. Ia meninggalkan pakaian dalamnya di keranjang baju kotor, lalu mengambil yang bersih dari lemari. Selesai dengan pakaian dalam, Samita memakai kembali bajunya semalam. Kaki telanjangnya kemudian melangkah mendekat ke pintu kamar. Kala ia membuka pintu, pemandangan Nugi yang duduk memunggunginya di kursi meja makan menjadi hal pertama yang ia lihat.

Sembari tersenyum tipis, Samita menghampiri sang kekasih.

“Lah, udah bangun.” Nugi bereaksi ketika Samita mendadak duduk di hadapannya. Meja makan yang kini mereka tempati hanya cukup untuk empat orang, berhadapan dua-dua.

Samita menemukan secangkir kopi yang isinya tinggal setengah di meja, dekat tangan Nugi yang tengah memegang tetikus. Di sebelah tetikus, notebook lelaki itu terbuka. Kepala Samita lantas menoleh, mencari keberadaan jam dinding yang terpasang di atas kulkas di sisi meja. Setengah sembilan lewat beberapa menit. Pandangannya lantas kembali pada Nugi.

“Kamu ngapain jam segini udah nyalain notebook?” tanya Samita sembari mengedikkan dagu ke arah benda di antara mereka itu.

Nugi mengikuti arah pandangnya. Bibirnya lalu tersenyum lebar. “Tadi pagi kebangun, terus mendadak kepikiran melodi yang bagus. Jadi langsung aku kerjain, daripada lupa.”

Mendengar penuturan Nugi, Samita memutar bola matanya. Nugi dan dunianya. Nugi dan keanehan-keanehannya yang kadang membuat Samita mempertanyakan isi kepala lelaki itu. Namun, tak dapat dipungkiri, sisi-sisi unik itulah salah satu alasan Samita jatuh cinta.

“Pantesan,” cibir Samita. “Tumben banget kamu mendadak rajin kerja weekend-weekend. Biasanya ngomel kalo aku masih kerja pas weekend.”

Nugi menengadah sejenak, membuat pandangan mereka bertemu. Cengiran yang menghiasi wajahnya masih selebar tadi. “People are right about that,” katanya aneh.

About what?” Samita mengernyit.

Good sex makes your mind just as good.”

Selorohan itu disusul tawa. Samita mendengkus pendek sebelum melayangkan satu tangannya ke pipi Nugi, mendorong wajah sang kekasih hingga menoleh ke samping. Lelaki itu masih tertawa geli atas ucapan vulgarnya sendiri sementara Samita hanya mampu menggelengkan kepala.

“Masih ada air panas, nggak?” tanya Samita kemudian. Ia memberi isyarat pada cangkir kopi Nugi, mempertanyakan air panas yang mungkin masih tersisa di teko elektrik setelah tadi Nugi membuat kopi.

Yang ditanya lantas mengangguk ringan. “Ada. Cuma nggak tahu masih panas apa nggak.”

Samita tidak menanggapi lebih lanjut. Perempuan itu berdiri dari duduknya, menuju meja dapur dekat rice cooker, tempat teko elekriknya berada.

“Kamu mau bikin sarapan apa kita pesen makan aja?” tanya Nugi kala Samita tengah membuka tutup teko. Perempuan itu mengintip isinya sedikit sembari memutuskan apakah suhu air masih cukup panas untuk membuat teh. Merasa kurang, ia lantas mengangkat teko elekriknya demi membawa benda tersebut ke bak cuci piring untuk diisi air dari keran.

“Kamu bakal lama?” Samita bertanya balik sebelum memutar keran. Jeda beberapa detik. Hanya suara kucuran air yang mengisi di antara mereka.

“Aku diusir?”

Samita tersenyum simpul mendapati nada setengah tersinggung itu. Ada sebuah kebiasaan di mana kegiatan bercinta mereka tidak pernah hanya terjadi di malam hari. Jika Nugi tidak mengajaknya bercinta lagi segera setelah keduanya terbangun, lelaki itu akan merayunya setelah sarapan. Atau ketika hari sudah agak siang. Jika tidak sangat mendesak, Nugi tidak akan meninggalkan apartemen Samita di pagi hari saat akhir pekan.

Setengah tertawa, perempuan itu menggeleng. “Ya, nggak. Cuma nanya. Kirain kamu mau langsung cari studio buat semedi,” sahutnya, memberi isyarat pada keberadaan notebook Nugi. “Kalo mau tetep di sini, ya nggak masalah.”

Ketika Samita selesai mengisi teko dan berbalik kembali menghadap Nugi, lelaki itu tengah memamerkan cengiran. Membuatnya bertanya-tanya saat berjalan mendekat.

“Kenapa senyum-senyum?” Samita memutuskan bertanya, mengesampingkan topik mereka sebelumnya tentang menu sarapan. Sembari menunggu jawaban, Samita memanaskan air di teko. Setelahnya, perempuan itu kembali menghampiri meja dan duduk di hadapan Nugi.

“Aku udah nyuruh Rian buat ke sini bentar, nganterin gitar,” tuturnya cengengesan. “Aku, instrumen, this notebook,” lanjut lelaki itu, mengabsen hal-hal paling krusial yang akan ia butuhkan untuk mengerjakan musik dan membuat lagu. “nggak butuh studio, Ta. Butuhnya kamu.”

Oh, itu menjijikkan. Pikiran Samita lekas menyetujui suara hatinya sendiri. Di depannya, cengiran Nugi masih terpeta.

“Mau sekalian nitip makan, nggak, sama Rian?” tanya lelaki itu kemudian, sambil lalu. Pandangannya berpindah antara Samita, layar ponsel serta layar notebook-nya.

Samita menggeleng malas. Sekian tahun menjalin hubungan dengan Nugi, memperalat Rian sama sekali bukan sesuatu yang ingin ia coba lakukan. Manajer personal Nugi yang berusia empat tahun lebih tua dari artisnya itu sudah cukup mengalami saat-saat sulit meladeni kelakuan Nugi. Samita tidak ingin membuat Rian merencanakan pensiun dini.

“Kalo mau beli makan, di bawah juga banyak,” balas Samita.

“Iya. Lagian telat, si Rian udah di parkiran.” Nugi mendadak bangkit berdiri dengan ponsel di genggaman. “Aku ke bawah dulu, ya.”

“Gi, biar aku aja,” sambar Samita cepat sembari ikut berdiri, menyebabkan Nugi menghentikan gerakannya. “Hari libur gini, di lobi suka rame pagi-pagi. Kalo ada yang liat kamu di bawah terus nyari tahu kamu stay di unit mana di gedung ini, aku yang pusing.”

Nugi tertawa kering. Samita tahu Nugi menyadari maksudnya. Bagaimana pun, unit apartemen ini terdaftar atas namanya. Selama ini, Nugi datang dan pergi dengan kewaspadaan tinggi. Lelaki itu berhati-hati, atas permintaan Samita. Muncul di lobi dengan santai lalu kembali lagi ke sini sama sekali tidak terdengar seperti ide yang bagus. Nugi bisa saja tidak peduli. Sebagian besar masyarakat Jakarta pun tampaknya sudah terbiasa dengan gaya hidup anak muda jaman sekarang, di mana tinggal bersama tanpa ikatan pernikahan atau menginap di unit apartemen dengan seorang kekasih dapat dianggap sebagai hal lumrah. Namun, Samita tahu, selalu ada kepala-kepala dengan tingkat penasaran berlebihan yang akan mampu membuat hidupnya terusik. Dan Samita tidak pernah ingin terlibat dalam gemerlap dunia Nugi.

“Mau ngambil gitar aja, kan? Atau ada titipan lain?” tanya Samita, sembari melangkah menuju kamar, berniat mengambil jaket dan celana training.

“Rian aja apa yang disuruh ke sini?” Nugi mencoba bernegosiasi, langkahnya mengikuti Samita dan berhenti di pintu kamar.

“Nggak usah,” cetus perempuan itu sambil mengenakan jaket. “Udah, lah. Kamu tunggu sini. Oh, iya, tolong chat dulu Mas Riannya, bilangin kalo yang turun aku.”

Nugi hendak menolak, Samita memahaminya dengan sangat baik. Tinggal di sini lebih lama lagi hanya akan memberi lelaki itu kesempatan untuk berdebat. Karenanya, Samita lekas menuju pintu depan dan mengenakan sandalnya.

Nugi tidak mengatakan apa-apa lagi ketika wanitanya meninggalkan apartemen dengan pintu tertutup. Lelaki itu menghela napas. Langkahnya lalu mundur, kembali ke meja makan. Belum sempat mendudukkan diri, telinga Nugi menangkap suara dari kamar. Suara berisik. Seperti getar ponsel yang beradu dengan permukaan kayu.

Menyadari ponsel miliknya masih bergeming di meja makan, Nugi lantas membatalkan niatnya untuk kembali duduk. Lelaki itu membawa kaki-kaki panjangnya menuju kamar tidur yang tidak tertutup rapat. Segera setelah mendorong pintu terbuka lebih lebar, Nugi menemukan sumber suara berisik yang dicarinya. Terletak di atas nakas, samping tempat tidur. Ponsel Samita. Layarnya menyala bersamaan dengan getaran yang tak kunjung berhenti. Penasaran, Nugi lantas melangkah mendekat.

Matanya sempat menangkap deretan nomor muncul di layar, beberapa saat sebelum panggilan itu berhenti dengan sendirinya, meninggalkan notifikasi panggilan tidak terjawab di ponsel Samita. Nugi mengernyit. Ia jarang bertanya atau melihat isi ponsel sang kekasih hingga tidak mampu menerka siapa atau mengapa pemilik nomor tidak kenal akan melakukan panggilan masuk ke nomor ponsel Samita. Berniat segera memberitahu Samita nanti jika wanitanya kembali, Nugi lantas mengambil ponsel itu. Ia melangkah keluar kamar dan kembali ke meja makan.

Hanya selang beberapa detik selepas ia duduk, ponsel Samita kembali bergetar.

Masih dari nomor tidak dikenal.

Nugi memandang sebentar, mempertimbangkan apakah ia perlu menjawab panggilan itu atau membiarkannya terputus otomatis sekali lagi. Samita sering bilang perempuan itu memiliki klien-klien haus darah yang tidak mengenal waktu kala menghubunginya. Mengingat ini hari libur dan masih terbilang terlalu pagi untuk sebuah telepon profesional, Nugi berpendapat telepon ini mungkin penting. Ia perlu memberitahu si penelepon bahwa Samita akan segera menghubungi kembali nanti–bahwa perempuan itu bukan mengabaikan panggilannya.

Karenanya, Nugi memilih opsi jawab.

“Halo?” sapanya segera.

Terdengar bunyi gemerisik aneh, serupa gangguan jaringan.

“Halo?” sahut seseorang di ujung sambungan. Suara seorang pria. “Ini benar nomor Samita?”

Segera, Nugi merasa keputusannya tepat. Pria itu mungkin seseorang yang memiliki hubungan profesional dengan kekasihnya. Ia mengangguk tanpa sadar, meski si penelepon tidak bisa melihatnya. “Iya, betul,” jawab Nugi. “Mohon maaf–”

“Ini dengan siapa?”

Kening Nugi lantas berkerut. Bukan karena pertanyaannya, melainkan nada yang baru saja digunakan pria itu. Begitu ganjil. Terdengar aneh.

“Saya pacarnya.” Nugi menyahut, mempertimbangkan apakah pemberian informasi berlebihan ini tidak menyalahi etika hubungan profesional. Nugi tidak terlalu paham kode etik hubungan profesional antara konsultan dengan klien mengingat ia bukan pekerja kantoran. “Samita kebetulan lagi keluar sebentar. Mohon maaf, ini dengan siapa? Biar nanti saya sampaikan supaya Samita segera menghubungi kembali,” katanya lancar, sembari diam-diam merasa geli dalam hati karena mendadak berbicara begitu formal.

Hening.

Nugi bahkan sempat menjauhkan ponsel Samita dari telinganya demi memastikan bahwa sambungan telepon belum terputus. Ketika mendekatkan benda itu kembali ke telinganya, Nugi bisa mendengar suara helaan napas.

“Saya....” suara pria itu terdengar berat. “Saya papanya Ita.”

Mendengarnya, Nugi refleks menaikkan alis. Matanya kemudian mengerjap dua kali, mencerna kalimat yang baru saja ia dengar. Papanya. Ayah Samita. Orang yang sama sekali tidak pernah Samita bahas di hadapannya kecuali bertahun-tahun lalu, kala perempuan itu menyebut ayahnya lebih baik mati.

“Oh.” Nugi memaksakan diri bersuara meski tenggorokannya terasa begitu kering. Ia tengah menimbang bagaimana ia akan bersikap ketika suara pintu apartemen yang dibuka membuatnya segera menoleh.

“Gi, tadi–” Samita berdiri di ambang pintu. Di bahu kanannya tersampir case gitar milik Nugi. Ucapannya terhenti kala menyadari ponsel yang tengah menempel di telinga Nugi adalah miliknya. “Itu siapa yang nelepon?” tanyanya dengan sorot bingung.

Nugi menurunkan ponsel Samita dari telinganya sementara si pemilik berjalan mendekat setelah menutup pintu di belakangnya.

“Dari siapa?” Samita bertanya ulang, kali ini nyaris tanpa suara. Tampaknya, perempuan itu mengira peneleponnya merupakan salah satu kliennya–persis seperti dugaan Nugi tadi.

“Ini,” Nugi menjawab ragu sembari mengulurkan ponsel Samita pada pemiliknya, bersamaan dengan gerakan Samita menurunkan case gitar Nugi dari bahunya dan menyandarkan benda itu di kaki meja makan. “dari papa kamu, katanya.”

Reaksi yang timbul sama sekali di luar dugaan Nugi.

Tubuh Samita seolah membeku di tempatnya. Pupil perempuan itu bergerak acak sementara matanya mengerjap aneh. Nugi menyadari belakangan bagaimana tubuh wanitanya tengah gemetar, membuatnya dengan sigap mengulurkan tangan, hendak menyentuh lengan Samita.

“Ta–”

“Matiin.” Samita bersuara dingin, menepis tangan Nugi yang nyaris menyentuhnya.

“Iya, aku matiin–”

“MATIIN, GI! SIAPA YANG BILANG KALO KAMU BOLEH SEMBARANGAN NGEJAWAB TELEPON YANG MASUK KE HAPE AKU?!”

Belasan tahun saling mengenal, ini kali pertama Nugi melihat Samita membentak seseorang. Ini kali pertama Nugi menemukan luapan emosi yang begitu ganjil pada kekasihnya. Samita yang ia kenal cenderung datar. Terkadang ketus, namun tidak meledak-ledak. Secara refleks, jemari lelaki itu menyentuh sesuatu di layar ponsel Samita yang masih tergenggam di tangannya, memutus sambungan telepon yang sempat terabai.

“Udah aku matiin, oke?” Nugi menyalak balik. Emosinya ikut tersulut akibat bentakan Samita barusan.

Tidak ada balasan. Samita jatuh terduduk seolah kakinya gagal menopang bobot tubuhnya sendiri. Kepalanya tertunduk. Butuh beberapa saat bagi Nugi untuk menyadari yang terjadi dan memutuskan bagaimana bereaksi. Ego lelaki itu runtuh dengan sendirinya menyaksikan bahu sang kekasih yang bergetar.

“Ta,” Nugi bersuara panik. Buru-buru ia menyejajarkan diri dengan Samita. “Ta, kamu nggak pa-pa?”

Samita tidak menjawab. Nugi lekas membawa perempuan itu dalam dekap, berusaha menyalurkan ketenangan. “It’s okay,” bisik Nugi pelan-pelan. “It’s okay.”

“Orang tua aku cuma Mama, Gi,” desis Samita dengan suara tercekat. “Aku nggak punya papa.”

“Aku tahu,” balas Nugi. “Aku tahu. It’s okay.”

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status