Share

1. Pacar Sang Bintang

Sudah lewat pukul tujuh malam kala Samita mengunci kembali pintu apartemennya. Lampu-lampu sudah menyala, pertanda sudah ada seseorang yang memasuki tempat itu sebelum dirinya. Perempuan itu lantas melepas sepasang sepatunya, lalu menyimpan keduanya di rak dekat pintu. Melihat sepasang Vans Old Skool Classic yang ia kenali tergeletak berantakan di rak terbawah, salah satu sudut bibir Samita tertarik, membentuk senyum miring. Terlalu malas membenahi sepatu pendatang itu, ia hanya menggelengkan kepala untuk kemudian melanjutkan langkahnya masuk ke dalam.

Unit apartemen Samita tidak seberapa besar. Ia bisa melihat hampir seluruh penjuru unit hanya dengan berdiri di dekat pintu depan seperti sekarang. Tidak menemukan si pemilik Vans di sepanjang ruangan terbuka di hadapannya, Samita lantas melangkah menuju pintu terdekat lain selain pintu depan–pintu kamar.

Pintu satu-satunya kamar tidur di unit apartemen itu tidak tertutup rapat, menyisakan celah tipis yang segera melebar kala Samita mendorong pintu terbuka.

“Dari mana aja? Katanya nggak lembur?” tanya sebuah suara ketika Samita melangkah masuk. Gadis itu tersenyum simpul, lalu mendekat pada sosok yang tengah berbaring menelungkup di kasurnya.

“Ini masih jam tujuh,” jawab Samita sembari mendudukkan diri di sisi ranjang. Satu tangannya mengusap rambut si pendatang, membuat sosok itu menoleh ke arahnya.

Ekspresi sosok itu membuat Samita terpaksa menahan tawa karena mendadak teringat video kontroversial yang Rena tunjukkan sesiang tadi. Ini wajah yang sama dengan yang ia lihat di video itu. Wajah Nugi Radi.

“Kan balik kantor jam lima?”

“Aku pulang naik angkutan umum, bukan helikopter pribadi.”

“Siapa suruh naik angkutan umum.”

Sisa senyum dan tawa lekas menghilang dari wajah Samita. Perempuan itu lantas memutar bola matanya. Nada merendahkan khas Nugi yang sudah sangat ia kenali.

“Jakarta macet, Gi. Mau pake kendaraan pribadi juga nggak ngaruh, tetep aja kena macet,” balas Samita, cukup pedas untuk membuat Nugi mendengkus tertawa.

Resign aja, yuk, makanya. Pindah tinggal bareng di apartemen aku. Kamu nggak usah capek kerja, nggak usah macet-macetan tiap hari lagi, hm?”

Itu bukan ajakan implisit untuk melanjutkan hubungan ke jenjang yang lebih serius seperti pernikahan, itu hanya tawaran menjadi tawanan yang sudah Nugi ajukan padanya sejak setahun lalu. Samita tidak bodoh. Sekian lama menjalin hubungan asmara dengan lelaki seperti Nugi dan mengenalnya cukup baik sejak masih berseragam putih abu-abu, ia tahu benar Nugi tipe lelaki seperti apa. Lelaki itu tidak butuh istri. Lelaki itu hanya butuh boneka, sebuah objek pelampiasan–entah pelampiasan secara psikis atau pun biologis.

Menjadi kekasih Nugi berarti menyanggupi pemenuhan peran sebagai objek tersebut, dalam cakupan yang terbatas. Sementara menyetujui permintaannya yang satu lagi sama dengan penyerahan kebebasan. Seolah menyerahkan seluruh hidupnya hanya untuk Nugraha Randika seorang. Dan perempuan seperti Samita–yang bahkan menyangsikan konsep pernikahan–tidak akan dengan sukarela menumbalkan dirinya.

I got you free access to this place already,” Samita mengubah usapannya pada rambut Nugi menjadi satu tepukan cukup keras tepat di kening lelaki itu. “Jangan ngelunjak.”

Nugi tertawa renyah. Satu tawa yang seolah menggoda. Menyiratkan bahwa penolakan Samita barusan hanya sebuah bentuk skema tarik-ulur. Merasa dalam bahaya, Samita memutuskan untuk mengganti topik pembicaraan.

“Kamu bikin ulah apa lagi?” tanyanya, sembari melepas arloji lalu meletakkannya di nakas samping ranjang. Sorot Nugi yang tengah menatapnya seketika berubah.

“Huh?”

Samita menahan tertawa. “Biasa, Rena. Dia ngegosipin kamu lagi tadi siang. Katanya kamu berantem sama pembawa acara siapa, gitu, aku lupa.”

“Oh,” Nugi lekas bangkit ke posisi duduk dengan satu dengkus tawa. “Kayaknya kapan-kapan kamu harus ketemuin aku sama si Rena-Rena ini, deh. She seems to be such a big fan of me.”

Oh, here we go again. Nugraha Randika Dipati and his too-high self-esteem, pikir Samita. Perempuan itu tidak menyuarakan apa-apa. Terlalu malas jika setelahnya Nugi akan semakin besar kepala.

Yea, yea, she would love to,” balas Samita, membiarkan satu tangannya terperangkap di antara jemari Nugi yang sibuk menyelipkan diri di antara miliknya. “But you better not.”

“Kenapa? Kamu cemburu?”

Samita lekas menggeleng. “Dia radar gosipnya kuat. Dia bakal langsung tahu kita ada apa-apa.”

Nugi tampak mencibir. Kehidupan pribadi adalah hal yang paling disimpan rapat oleh lelaki itu sejak menandatangani kontrak dengan perusahaan manajemen serta label rekaman yang menaunginya. Dan Samita termasuk ke dalam ranah pribadi yang ingin Nugi sembunyikan. Samita sendiri menyetujuinya tanpa persetujuan eksplisit. Toh, ia juga tidak pernah ingin dikenal khalayak sebagai kekasih dari seorang penyanyi yang sedang naik daun. Terlalu bising. Terlalu tidak aman. Samita tidak pernah suka menjadi pusat perhatian.

“Jadi, kamu kenapa sama si pembawa acara itu?”

Terdengar dengkusan meremehkan. Nugi kembali merebah di kasur, tatapannya mengarah pada langit-langit namun senyumnya tercetak miring.

“Si Kemas tuh, agak-agak sampah mulutnya. Dia tiba-tiba ngungkit soal bokapnya Risa di depan orangnya–”

“Yang katanya punya selingkuhan seumuran anaknya itu?” potong Samita, mendadak teringat pada potongan-potongan kabar burung di jagat hiburan yang pernah ia dengar dari Rena. Nugi mengangguk sekilas.

“Aku, sih, bukannya niat belain Risa, nggak peduli juga sebenernya,” lelaki itu melanjutkan sembari mendengkus tertawa. “cuma seru aja mancing-mancing si mulut sampah. Kalo disulut gampang banget kesamber, sensitif kayak cewek.”

Tinggallah Samita geleng-geleng kepala mendengar pengakuan sang kekasih. Ia sebenarnya sudah sangat terbiasa. Samita mengenal kekasihnya dengan sangat baik. Nugi selalu bertindak sesuka hatinya, tanpa peduli pada pendapat atau pun perasaan orang lain. Tadinya Samita pikir, lelaki itu akan berubah setelah terjun ke dunia hiburan. Bagaimana pun, citra adalah sesuatu yang penting ketika seseorang menjadi seorang public figure. Namun, tampaknya hal itu tidak berlaku mutlak untuk Nugi. Lelaki itu tidak pernah berubah. Selalu bersikap seolah seluruh dunia berada di bawah kakinya.

“Manajemen gimana? Ribut, nggak?” Samita bertanya jahil, setengah menyindir. Membuat satu tawa pelan lepas dari bibir sang kekasih.

“Ribut dikit,” sahutnya, lalu mengangkat bahu. “Tapi kayaknya emang banyak yang nggak suka juga sama si Kemas. Rian bilang banyak yang belain aku, kok.”

Pernyataan itu tidak salah. Di perjalanan pulang tadi, Samita telah menyempatkan diri memeriksa reaksi para pengguna media sosial terhadap video pendek yang melibatkan kekasihnya itu. Bukannya mengecam keributan yang jelas-jelas dipicu oleh Nugi, sebagian besar justru fokus mempertanyakan tentang apa yang dikatakan Kemas hingga membuat Risa tampak tidak nyaman. Beberapa juga menyuarakan ketidaksukaan mereka pada tabiat Kemas yang memang dikenal gemar melontarkan ucapan tanpa berpikir. Lucu, bagaimana orang-orang mengira Nugi telah melakukan tindakan yang heroik dan membela Risa ketika sebenarnya lelaki itu memang hanya berniat mencari masalah dengan Kemas.

Dunia hiburan memang penuh tipu daya dan kepalsuan. Samita sudah sering menertawakan hal itu diam-diam.

“Tungguin aja, bentar lagi juga host-nya Tangga Nada bakal diganti,” celetuk Nugi tiba-tiba, dengan seringai samar. Samita memandang wajah itu sebentar lalu mendengkus pelan. Apa-apa yang Nugi prediksikan biasanya memang terjadi. Entah bagaimana, seolah lelaki itu benar-benar memahami seperti apa dunia hiburan bekerja. Seolah ia memang terlahir untuk menempati tempatnya yang sekarang–di atas angin.

We’ll see,” sahut Samita, membiarkan Nugi menikmati keyakinannya. “Kamu udah makan?”

Nugi bergerak dalam rebahnya, berbaring miring menghadap Samita. Bibirnya melengkung membentuk senyuman–yang oleh alam bawah sadar Samita diterjemahkan sebagai tanda bahaya. Pandangan keduanya bertemu. Satu tangan Samita yang tadi telah terbebas kini kembali diraih oleh Nugi. Kepala lelaki itu lantas tergeleng.

“Belum, tapi tadi aku bawain McD, ada di meja makan,” sahutnya. Usapan Nugi di punggung tangan Samita berubah, seolah mendamba sesuatu. “Kangen, Ta.”

Samita memutar bola matanya. Ia mengenali nada yang Nugi gunakan kala menyebut namanya barusan, pun memahami arti usapan tak berhenti yang kini masih menyambangi punggung tangannya. Perempuan itu menatap balik sorot Nugi yang masih mengarah padanya. Wajah lelakinya masih dihiasi senyuman ganjil yang sangat tidak asing. Samita tidak akan segan mengakui fakta bahwa Nugi dianugerahi paras yang menarik. Lelaki itu punya pesona. Selain kharisma serta–meminjam kata-kata Rena–musiknya yang “sopan” di telinga, Nugi juga memiliki wajah yang mampu membuat kaum hawa tergila-gila. Alisnya yang tebal, rahang tegas, hidung mancung, serta garis wajah yang manis kala ia tersenyum, seperangkat amunisi lengkap untuk mengambil hati penikmat industri hiburan. Samita menduga, alasan itu jugalah yang kerap membebaskan Nugi dari tanggung jawab yang seharusmya ia pikul terkait tingkah lakunya yang sering kali menimbulkan huru-hara.

Not now, Sleepyhead,” balas Samita akhirnya, membebaskan tangannya lalu mengusap kepala sang kekasih. Ia menyadari betul bagaimana malam ini akan berakhir jika ia tidak segera mengambil langkah tepat. “I’m still on my period.

Raut Nugi nampak berpikir sejenak, sebelum sebuah cengiran terbit di wajahnya. Tentu saja, lelaki itu kini ingat. Nugi sudah memahami jadwal bulanan Samita, tanggal-tanggal di mana wanitanya berhalangan untuk melakukan aktivitas-aktivitas tertentu. Namun, agaknya kali ini ia lupa.

Dengan senyum yang masih belum berganti makna, Nugi mengambil kembali tangan Samita dari kepalanya. “Doesn’t change the fact that I want to sleep with you tonight,” katanya, lalu menarik Samita mendekat padanya. “Sini, temenin aku tidur.”

“Aku belum ganti baju, Gi. Aku bersih-bersih dulu, bentar, ya,” kilah Samita, kembali berusaha melepaskan diri. “Lagian, kamu juga belum makan, kan.”

“Nanti aja. Tidur lebih penting daripada makan.” Nugi berkeras. Tarikannya pada tangan Samita menguat hingga posisi Samita kini setengah berbaring di sisinya. “I miss you, so much.”

“Nugi....” Samita mengeluh frustrasi. Rasa gerah di tubuhnya memang telah berangsur menghilang. Namun, pergi tidur tanpa berganti pakaian setelah bepergian sama sekali bukan kebiasaannya. Karenanya, Samita berusaha melepaskan diri.

Sayangnya, Nugi bukan tipe lelaki yang bisa berkompromi. Bukan juga lelaki yang rela melepaskan miliknya. Tidak butuh banyak waktu baginya untuk merebahkan Samita tepat di sisinya, kemudian menjerat wanitanya dalam peluk yang erat.

I miss you,” bisiknya, mengulang ungkapan kerinduannya. “so much.”

Samita terpaksa berjengit kala Nugi mengecupi telinganya, menimbukan rasa geli yang seolah mengalirkan sengatan listrik ke seluruh tubuhnya. Tiga tahun menjalin asmara dan kerap kali berbagi suasana intim, Samita tidak juga terbiasa dengan setiap sentuhan sensual yang Nugi berikan padanya. Lelaki itu berbahaya. Seluruh pesonanya seperti mantra. Dan Samita telah terpengaruh terlalu jauh di bawahnya.

Stay here until I wake up.” Nugi kembali berbisik, suaranya mengambang. Samita tersenyum, menyadari nada mengantuk yang jelas terdengar barusan. Ia tidak lagi berniat melepaskan diri. Tangannya justru menepuki lengan Nugi, seolah tengah menidurkan anak kecil.

That’s a bit too much to ask,” balas Samita, setengah berkelakar. “I need to do things.”

Do things with me then,” tantang Nugi, terdengar tawa tertahan dalam suaranya. Itu sebuah godaan. Sialnya, Samita merasakan sesuatu berjungkir balik dalam perutnya.

Ia bukan lagi gadis perawan atau seorang remaja kemarin sore. Mengapa kalimat sesederhana itu mendadak mampu membuatnya bergetar?

Nugi sialan, pikirnya.

Dalam peluk sang kekasih yang membatasi penglihatan, Samita hanya mampu mendengar detak jantung dari dada Nugi yang begitu dekat dengan wajahnya serta deru napas pelan lelaki itu yang putus-putus mengenai puncak kepalanya. Merasa diuntungkan dalam posisi ini karena Nugi tidak bisa mempelajari ekspresinya, Samita bergerak. Kepalanya menggeliat seolah hendak mendongak, membuat keningnya berbenturan pelan dengan ujung dagu lelakinya.

Shut up, Sleepyhead,” balasnya, terdengar percaya diri. “Kids need to sleep early at night.”

Nugi terkekeh lemah. Pelukannya menguat sejenak, sebelum kembali mengendur. Samita menghitung dalam kepala. Tidak sampai hitungan kedua puluh, deru napas Nugi mulai diiringi dengkur halus, pertanda lelaki itu telah lelap sepenuhnya. Menyadari itu, bibir Samita melengkung tanpa sadar. Tepukannya di lengan Nugi lantas berhenti. Ia berupaya meloloskan sedikit bagian atas tubuhnya demi mendongak menatap wajah lelap sang kekasih. Kala berhasil, senyumnya kian terpeta.

Sleep tight, Sleepyhead,” bisik Samita. “I miss you even more, you have no idea.”

Tidak balasan. Hanya deru napas teratur yang memenuhi ruangan, menyambut ucapan Samita barusan. Perempuan itu tersenyum sekali lagi, menatap sayang pada wajah damai Nugi yang hanya berjarak beberapa senti dari wajahnya sendiri. Samita tidak akan menyangkal, ia mencintai kekasihnya. Dan ia tahu, Nugi pun demikian.

Tidak peduli pada segudang cemooh serta komentar buruk yang orang-orang lontarkan pada Nugi, Samita sudah mengetahui setiap keburukan itu jauh sebelum lelakinya berubah menjadi Si Tenar Nugi Radi. Samita telah memahami setiap kekurangan Nugi ketika lelaki itu masih seorang laki-laki biasa yang dipenuhi mimpi dan ambisi. Kini, ia telah memeluk segala cacat sifat dari lelakinya. Samita mungkin tidak memercayai konsep pernikahan, namun untuk saat ini, setidaknya ia mampu merasakan cinta.

Setidaknya, bersama Nugi, Samita bisa mencicipi bahagia.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status