Lima tahun kemudianPOV BagasSepi masih menjadi teman setiaku. Rasa hampa menjadi hal yang mulai terbiasa. Bukan aku tak ingin memulai cinta yang baru. Hanya saja bayangan wanita itu Engan beranjak dari relung hatiku.Waktu seolah berlalu cepat sekali. Tapi entah mengapa justru rasa itu semakin mengakar dan susah sekali untukku musnahkan.Harta dan kedudukan yang kini aku miliki tak lantas menyembuhkan dahaga yang mulia terkikis. Ambisiku menghancurkanku hingga aku kehilangan segalanya.Aku memilah beberapa mainan anak-anak yang berada di sebuah pusat perbelanjaan di kota minyak bumi, Bojonegoro. Kupilih mainan yang terbaik yang berada di atas rak. Tidak peduli berapapun harganya. Asalkan Aska senang maka akan aku bayar.Kata ibu tahun ini Aska sudah masuk sekolah dasar. Putraku itu sangat menyukai pesa
Aku bergegas bangkit dari tempat kuberada. Melangkah masuk ke dalam rumah saat suara langkah kaki itu semakin dekat. Aku harus bersembunyi dari siapa pun di rumah ini kecuali ibu dan pembantu setia rumah ini."Nek, tadi mbak Yasmin bilang nenek ngak usah nungguin mbak Yasmin pulang. Beliau mungkin pulang sedikit telat," ucap seorang yang sedang berbicara dengan ibu.Aku bersembunyi di balik tembok pembatas antara ruang tamu dan ruang keluarga rumah itu. Jantungku hampir saja mau copot aku kira derap langkah kaki itu adalah Yasmin. Ternyata orang baru yang belum pernah aku kenal sebelumnya."Ah ... Membuat jantungku mau copot saja!""Oh iya!" sahut ibu dengan suara bergetar. Gugup."Paman ngapain paman di sini?" Aku tercekat saat Aska menarik bajuku. Entah sejak kapan bocah dengan kaos hijau itu mengikuti aku hingga
POV Yasmin."Umi!" Panggil Aska dari ambang pintu. Bocah kecilku yang kini telah berumur tujuh tahun itu menarik kedua sudut bibirnya tersenyum kecil.Aska berjalan mendekatiku dengan memeluk sebuah mainan yang teramat asing sekali untukku. Ia menaiki ranjang duduk tepat di sebelahku berada kini."Kenapa sayang!" ucapku mengusap lembut rambut Aska yang begitu lembut."Mi, besok ada pertemuan wali murid di sekolah," ujar Aska menghentikan kalimatnya. Wajahnya nampak ragu untuk meneruskan kalimat yang tertahan itu. Sesekali ia membuang wajahnya dari tatapanku."Terus!""Kata Bu guru yang harus datang itu wali murid laki-laki soalnya mau diajarkan berkebun di sekolah, Mi," jelas Aska.Aku tersenyum kecil, merangkul tubuh Aska dalam pelukanku. Aku tidak mau jika anakku mera
Terik sinar matahari kain menyengat pori-pori kulit. Aku lebih memilih berdiam di dalam ruanganku mengecek beberapa laporan keuangan butik yang meningkat pesat dari bulan ke bulan.Sesekali aku menoleh pada bunga mawar putih yang berada di atas meja kerjaku kemudian beralih pada layar monitor di hadapanku.Aku tersenyum kecil. Bang Rasyid selalu saja membuatku merasa senang. Meskipun aku belum bisa menerima cinta pria itu dalam kehidupanku sepenuhnya.Cekret!Pintu ruanganku terbuka. Bocah kecil itu lari ke arahku dengan senyum merekah, sementara bang Rasyid mengekori di belakang punggung Aska yang berjalan lebih dulu.Kubuka kedua tanganku menyambut pelukan Aska. Nampaknya hari ini putraku sedang sangat berbahagia. Hal itu tergambar jelas dari binar yang terbit pada kedua matanya."Umi!" ucapnya dalam p
Mataku membulat mendapati pria yang hampir tak pernah kulihat selama lima tahun itu. Pria yang mengenakan seragam dinas yang pernah membuatku bangga menjadi pendampingnya.Pria itu bangkit dari tempat duduknya. Menatap pada kehadiranku. Sementara ibu hanya terdiam duduk di kursi roda yang berada di samping mas Bagas."Yas, maaf!" ucapnya."Mas Bagas mau apa ke sini?" tanyaku memasang wajah datar. Rasa sakit yang telah lama ku pendam kembali terasa nyeri."Duduklah dulu Yas, biarkan Bagas berbicara," titah ibu.Aku menurut. Kududukkan bokongku pada bangku di hadapan mas Bagas. Pria dengan raut wajah yang tak pernah berubah itu juga kembali terduduk."Maaf Yas, jika kehadiranku mengganggu waktumu. Aku hanya ingin menjelaskan sesuatu hal kepadamu."
POV RezaAku menoleh ke luar dinding kaca toko baju. Mas Rio dan Amira yang sedari tadi bermain di luar toko nampak menghilang. Aku segera membayar baju-baju yang telah aku pilih dan mencari keberadaan anak dan suamiku.Aku menyusuri lorong-lorong pusat perbelanjaan itu. Namun, aku sama sekali tidak menemukan keberadaan mereka. Hingga akhirnya aku mencoba mencari mereka di lobby mall. Aku melihat mereka sedang berbicara dengan seseorang. Sepertinya Amira lagi-lagi sedang membuat ulah.'Dasar bocah nakal," rutukku dalam hati.Ku percepat langkah kakiku menghampiri mas Rio dan Amira. Namun, sesuatu justru membuat langkah kakiku terasa berat untuk melangkah.Wanita dengan gamis coklat itu. Iya itu pasti Yasmin. Aku kenal sekali dengan wanita yang membuat mas Bagas berhenti mencintaiku. Wanita yang akan aku benci seumur hidupku. Wanita yang m
POV RezaDi akhir pekan biasanya Mas Rio akan mengajak Amira jalan-jalan di pusat permainan atau ke taman kota. Meskipun mas Rio bukanlah ayah kandung Amira. Tapi jangan di tanya kasih sayang yang mas Rio berikan pada putri haramku itu melebihi seorang ayah kandung kepada darah dagingnya sendiri."Mira pake kerudung dulu ya biar cantik," ucap Mas Rio di sambut senyum kecil oleh Amira. Pria itu dengan telaten mengenakan kerudung pada Amira. Hingga kini gadis kecil itu terlihat sangat cantik sekali.Aku bergeming, kubiarkan Mas Rio mengurus Amira sendiri seperti biasanya. Aku terus mengawasi mereka dari tempatku berada saat ini. Aku memang membenci Amira, semenjak Mas Panji tidak mau mengakui sebagai anak kandungnya, hingga kedua orang tuaku mengusirku karena tak tahan menanggung malu atas kehadiran Amira gadis bermata biru itu yang ternyata bukanlah anak Mas Bagas. Dasar anak pembawa sial, harusn
POV YASMINAku termenung dengan benak yang melesat jauh entah kemana. Gadis beriris biru itu seolah memberi jawaban atas semua pertanyaan dan kesalahan pahamanku selama ini pada Mas Bagas.Ini seperti jebakan yang membuat kumasuk ke dalam perangkap dan kemudian hancur. Aku baru menyadari jika semua ini hanyalah akal-akalan Reza. Ia sengaja memfitnah Mas Bagas demi menutupi kehamilannya. Lalu anak siapakah gadis beriris biru itu. Tidak mungkin jika gadis kecil itu adalah anak dari pria yang sering bersamanya itu."Yas!" Panggil Bang Rasyid membuatku tersadar dari lamunan."Eh, iya bang kenapa?" tanyaku menoleh pada pria yang duduk di kursi kemudi."Kok bengong aja!" ucapnya mengusap lembut bahuku sesaat menatap kepadaku dan jalanan di depan kaca mobil."Masih mikirin kejadian tadi,' ucap Bang Rasyid dengan tatapan penuh arti."Iya bang!" sahutku dengan suara berat'. Ada sesak yang berjeja