Dengan jantung setengah memacu kuberanikan diri untuk mengungkapkan perasaanku kepada Bang Rasyid. Meskipun semua ini tidak sepenuhnya lahir dari dalam hatiku. Tapi setidaknya aku bisa mewujudkan keinginan Aska. Memiliki seorang ayah. Karena dengan begitu, Mas Bagas tidak akan berani mendekatiku."Yas, sumpah kamu lagi ngak bercanda kan?" cetus Bang Rasyid mengebu. Aku bisa mendengar suaranya penuh kegembiraan. Nafasnya menderu terdengar jelas pada panggilan ponsel. Aku yakin pasti saat ini lelaki itu sangat bahagia, akhirnya aku membalas cintanya."Iya Mas! Aku serius!" ucap dari bibir yang kupaksakan untuk mengiyakan pertanyaan Bang Rasyid. Jantungku bergemuruh, saat ini hatiku dan jantungku benar-benar sedang tidak sejalan."Yas, please jangan bercanda seperti itu padaku? Ini nggak lucu Yasmin!" Suara gugup itu terdengar dari balik telepon."Bener Mas, aku tidak s
POV BAGAS"Kenapa kamu senyum-senyum seperti itu?" tanyaku pada bocah kecil yang terus menyuapkan es cream ke mulutnya. Sudut bibirnya terus terangkat saat lidahnya menjilati es cream yang aku berikan pada Aska."Memang kelihatan ya Paman?" tanyanya menoleh kepadaku diikuti ulasan senyuman. Aku mengangguk, mengiyakannya."Aku sedang bahagia, Paman," tutur Aska, nampak sorot mata jeli itu menyiratkan kebahagiaan yang dalam.Aku semakin penasaran, kebahagiaan apa yang sedang Aska rasakan hingga membuat senyuman itu terbit dadi bibirnya."Apakah kamu tidak ingin membagi kebahagiaanmu dengan Paman? Paman juga ingin bahagia seperti kamu," balasku mengusap pucuk kepala Aska.Aska kembali menoleh, mantap gembira pada wajahku. Ia seperti sedang mempermainkan rasa penasaranku ini. Bibirnya terkunci, hanya menguki
Bibir Yasmin bergetar. Netra yang masih dibasahi oleh air mata perlahan kembali mengenang membulat menatapku nyalang. Gerakan tangan Yasmin tercekat atas ucapanku. Menyentuh lengan kiri yang kubentangkan menghalangi pintu."Maksud kamu apa Mas?" ucapnya lirih dari bibir yang masih bergetar. Sorot matanya tajam menghunus hatiku yang sudah berantakan.Jantungku berdebar, ada rasa takut menelusup dalam hati melihat tatapan Yasmin yang dulu teduh kini justru terlihat mengerikan kepadaku. Bisa kurasakan, sikapku kali ini sangat membuatnya terluka."Cepat katakan Mas?" pekiknya kembali meremas bajuku dan mengoyangkannya sekuat tenaga."Kamu nggak boleh menikah Yas?" sentakku membuat cengkraman tangan Yasmin dari bajuku terlepas."Kamu tidak memiliki hak apapun atas hidupku, kamu lupa dengan yang telah kamu lakukan kepadaku di masa lalu, Mas?" u
POV RasyidHidupku kini telah sempurna. Memiliki seorang istri secantik Yasmin dan sangat taat beragama. Mungkin aku sebagai laki-laki tertinggal jauh darinya dalam hal itu. Tapi aku merasa sangat beruntung, akhirnya sekian lama aku menunggu Yasmin resmi menjadi milikku. Kekasih halalku.Tidak hanya itu, hidupku pun kini di lengkapi dengan kehadiran Aska sebagai warna tersendiri dalam perjalananku. Bocah kecil itu sudah aku anggap seperti anakku sendiri jauh sebelum aku menjadi ayah sambungnya. Selain dia anak yang cerdas, Aska juga anak yang sangat menggemaskan hingga aku sangat menyayanginya."Yas!" panggilku pada wanita yang menyandarkan kepalanya pada dadaku.Sedari tadi sepertinya istriku sangat senang berlama-lama menyadarkan kepalanya pada dadaku. Mendengarkan ritme jantungku yang masih belum teratur setelah pertempuran menyenangkan antara aku dan
Aku segera menepikan mobil yang kukendarai ke tepi jalan. Sebentar saja aku lengah, pasti wanita yang sudah berada di ujung pagar pembatas jembatan itu terjun ke jurang di mana air sungai bengawan solo mengalir dengan deras yang mampu menengelamkan siapapun yang menjatuhkan diri di dalamnya.Wanita itu menoleh, saat sorot lampu mobilku menangkap bayangan tubuhnya. Aku segera turun dan mempercepat langkah kakiku untuk mendekatinya sebelum wanita dengan gelagat bunuh diri itu benar-benar terjun dari tebing jembatan."Mbak, Mbak mau ngapain?" sergahku pada wanita yang menampakkan wajah sembabnya kepadaku saat aku tiba."Pergi, jangan urusin aku. Aku mau mati!" balasnya sesenggukan. Air matanya berlinang membasahi pipi bersama gerimis yang tak kunjung berhenti membasahi kami.Aku menoleh ke kanan dan ke kiri. Tidak ada siapapun untuk dimintai pertolonga
POV Reza. "Mau kemana Za, udah sih di rumah aja. Nanti juga kalau Mas udah dapat proyek lagi Mas akan kasih apa yang kamu mau." Mas Rio menarik pergelangan tanganku, hingga tubuhku kembali terduduk di kursi sofa tempat ia berada saat ini. "Mas, kemarin kita udah jual kulkas, bulan lalu jual mesin cuci sekarang kita mau jual apa lagi Mas. Lama-lama semua barang milikku bakalan habis cuma gara-gara ngurusin Mas yang pengangguran," umpatku kesal pada Mas Rio. "Iya Za, maaf, toh aku kan sudah berusaha ngajuin proyek sana sini, kalau emang belum dapat mau gimana lagi dong. Mas kan cuma bisa berusaha dan Allah yang menentukan," kilahnya lagi, selalu nama Tuhan yang ia bawa membuatku semakin benci sekali dengan Mas Rio. Aku menghela nafas panjang, bosan juga ternyata mendengar alasan Mas Rio yang itu-itu saja. "Mas, ada nga
"Lagi cari apa Mbak Reza?" tanya Mas Rasyid diikuti ulasan senyuman ramah.Sejenak aku bergeming. Mataku tak berkedip melihat pada Mas Rasyid, pria dewasa yang kini muncul di hadapanku. Bukan perasaan cinta, hanya saja jarang-jarang ada suami yang mau belanja keperluan anak di pusat perbelanjaan seperti ini. Karena kini aku sedang berada diantara deretan baju khusus anak-anak."Oh, ini Mas lagi cari baju untuk Mira!" ucapku."Anaknya Mbak Reza?"Aku mengangguk lembut, padahal tujuanku adalah mencarikan seragam untuk anak-anak didikku di sekolah. Tapi, gara-gara baju lucu yang sepertinya cocok sekali buat Amira membuatku terseret sampai di sini."Oh, ya sudah silahkan dilanjut," sahut Mas Rasyid melangkahkan kaki menjauh dariku.'Ayo Za, deketin kapan lagi kamu bisa dek
"Aku tidak suka Mas ngatur-ngatur hidup aku. Jika Mas tidak bisa membuat aku bahagia ya Mas nggak perlu nuntut apapun sama aku, ingat ya Mas, Mas cuma numpang di rumah ini," cetusku dengan menatap nyalang pada Mas Rio.Wajah' Mas Rio yang merah padam sama sekali tak bergeming. Sorot matanya tajam menatap ke arahku kemudian berlalu meninggalkanku dengan kesal."Enak saja, udah nggak bisa ngasih duit pakai acara sok-sokan," rutukku meraih tubuh Amira yang terlihat ketakutan melihat pertengkaran antara aku dan Mas Rio.*****Beberapa kali aku menyicipi masakan yang masih ada di atas kompor. Kutambahkan sedikit garam dan penyedap rasa karena menurutku sayur lodeh yang kubuat kurang asin tidak pas seperti biasanya.Mira berlari menghampiriku di dapur. Menarik daster yang aku kenakan."Sebentar Mira, Mama lagi masak