Share

My Husband Your Husband
My Husband Your Husband
Penulis: Ayu Kristin

Keberuntunganku

 

 

Aku masih memandangi pria dengan hidung mancung yang kini sedang terlelap di sampingku. Pria yang baru kemarin mengucapkan janji suci di depan ayah dan ibuku. Memintaku untuk menjadi teman hidupnya berbagi dalam suka dan duka, teman saling menjaga, dan saling mengasihi. Teman yang akan setia membimbingku hingga akhir hayatku dan teman yang akan bersama-sama menuju janahnya. Iya, dia adalah Mas Bagas. Pria yang aku pacari hampir delapan tahun lamanya. Bukan waktu yang singkat untuk kita saling mengenal, yang pasti waktu selama itu sudah cukup untuk kami saling mempelajari karakter masing-masing hingga kami memutuskan untuk melanjutkan ke pelaminan. Maklum, untuk wanita seperti aku yang telah menginjak usia 30 tahun bukan saatnya lagi untuk bermain-main dalam menjalani cinta. Aku butuh pria yg serius untuk menjadi imamku dan ayah dari anak-anakku. Apalagi tentang finansial, jelas Mas Bagas sudah lebih bagiku. Dia adalah seorang mandor perhutani, weskipun wajahnya tak seputih artis korea, tapi lelaki berbadan tegap itu mempunyai kepribadian yang sangat lembut. Tak pernah sekalipun selama berpacaran dia memarahiku atau sejenisnya. Dia begitu Sabar menghadapi sifatku yang kekanak-kanakan dan begitu manja. Sebagai anak tunggal, ayah dan ibu memang sangat memanjakanku. Hingga akhirnya sifat itu terbawa sampai aku dewasa.

 

Aku memang tidak mau terburu-buru dalam hal menikah seperti yang teman-temanku lakukan. Mereka memilih menikah di usia muda tanpa kematangan, pada akhirnya rumah tangga mereka harus kandas di tengah jalan. Itu lah hal yg sama sekali tidak aku inginkan. Karena menjalani rumah tangga tidak hanya modal cinta. Semua aspek harus saling mendukung, mulai dari finansial, kasih sayang dan saling mengerti. Jika salah satunya tidak melengkapi, maka rumah tangga itu bagaikan manusia yang berjalan dengan kaki pincang dan harus siap untuk tumbang.

 

 

"Mas!" ucapku lembut, aku terus menyisir rahang kekar pria yang sedang mendengkur halus di sampingku, berharap pria itu segera bangun dari mimpinya.

 

"Hem!" Mas Bagas hanya mengeliat, tangan yang sedari tadi melingkar di pinggangku kini bertambah semakin erat.

 

"Ayo bangun Mas! Sholat subuh," ucapku. Sepertinya pria ini begitu kelelahan dengan permainan kami semalam. Malam panjang yang kami lalui begitu indah. Malam yg kami nantikan selama delapan tahun. Pecah sudah darah merah yang masih membekas di seprei motif bunga lavender yang membungkus pada kasur ranjangku.

 

"Jam berapa sih, dek?" tanyanya dengan suara malas, matanya masih terus terpejam seolah terasa berat untuk di buka.

 

"Jam 4 Mas!" sahutku, kini aku lebih suka memainkan bulu halus di dada pria tanpa busana itu. Naik turun, naik turun, agar Mas Bagas merasa kegelian dan segera beranjak bangun, pikirku.

 

"Hem!" Lengan kekar itu menarik tanganku yang terus membelai dadanya, matanya membulat menatapku penuh gairah. Terulas senyum manis dari bibir yang semalam habis mencumbuiku itu.

 

"Bangun Mas!" seru dengan nada tinggi, aku sengaja memasang muka sedikit kesal agar wajah tersipuku tak terlihat olehnya. Rasanya begitu malu, bagaikan anak SMA yang baru saja pacaran, otakku seolah kehilangan kesadaran, mudah ngeleyar ketika pria tegap dengan kulit hitam manis itu menggodaku atau menujukan perhatianya kepadaku.

 

"Hem, aku kira mau ngajak nambah!" ucapnya sembari membenamkan kembali wajahnya pada bantal.

 

"Ih, ayo bangun Mas!" Aku mencubit kecil pinggang Mas Bagas dengan memasang wajah manjaku, membuat pria itu berlonjak mengaduh. Sementara aku terus tertawa melihat tingkah Mas Bagas yang sedang kesakitan. Tidak menunggu waktu lama, pria itu menangkap tubuh mungilku dan menghujaniku dengan ciuman di seluruh wajahku. Aku terus tertawa, rasa bahagia itu tidak mampu kusembunyikan. Keberuntungan seorang wanita adalah ketika dia menemukan suami yang mampu menyanyanginya sepenuh hati dan keberuntunganku adalah Mas Bagas.

 

 

 

 

Selesai kami sholat Subuh bersama, Mas Bagas segera mengenakan seragam kerjanya. Seragam berwarna hijau, dengan sepatu boot lengkap dengan topinya. Sementara aku masih sibuk mengoleskan selai roti rasa nanas pada roti-roti yang berada di atas meja. Lelaki itu kini telah duduk di hadapanku, menatapku yang sedang meracikan kopi untuknya dengan tatapan sendu. Wajahnya bertumpu pada kedua telapak tangan yang ia sandarkan pada meja.

 

"Mas!" ucapku geregetan.

 

"Apa sih sayang!" sahutnya, kini tatapan sendu itu di tambah dengan ulasan senyum dari bibirnya. Membuatnya terlihat manis bagaikan gulalai. Duhh ...!

 

"Jangan lihatin aku kaya gitu dong!" ujar ku sembari menutup wajahku dengan kedua telapak tangan karena malu.

 

"Ih, memang kenapa gitu?" Kini pria itu menurunkan tangannya kemudian melipat tangan itu di atas meja.

 

"Aku malu Mas!" Benar saja wajahku pasti terlihat memerah bagaikan udang rebus sekarang.

 

Pria itu beranjak menuruni bangku, melangkahkan kakinya menghampiriku yang sedang sibuk mengaduk kopi untuknya.

 

"Kenapa harus malu coba? Kita kan sudah halal, sayang!" Pria itu memeluk tubuhku dari belakang, dan melingkarkan lengan kekarnya di pinggang rampingku. Wajah sendu itu kini berada di atas pundakku, menyesap aroma wangi dari rambutku yang masih basah.

 

"Ya malu lah Mas! Kaya anak ABG ajaas ini!" ujarku sambil mengaduk-aduk kopi yang mengeluarkan kepulan asap ke udara. Aroma kopi yang bergitu kental yang mampu memberi rasa nyaman saat kumenghirupnya. Sama halnya ketika amas Bagas sedang memelukku seperti ini.

 

"Kan kamu masih ABG dek! ABG nya Mas!" Pria itu tertawa kecil sambil mencubit hidung kecilku. Membuatku meringis menahan sakit namun juga senang karena perlakuannya.

 

Selesai kami sarapan Mas Bagas segara memacu motro trielnya. Tidak lupa aku mencium punggung tangannya terlebih dahulu sebelum Mas Bagas berangkat, dan Mas Bagas kembali menghujaniku dengan kecupan penuh di wajahku. Membuat aku terus terpejam, takut bulu halus di kumisnya mengenai kulitku.

 

Pekerjaan dengan Medan curam membuat Mas Bagas harus mengendari motor trail itu. Hampir setiap hari dia harus mengontrol keadaan hutan. Karena semakin tingginya tingkat pencurian kayu di daerahku membuat hampir seluruh waktunya di gunakan untuk menyisir hutan yang semakin gundul oleh ulah tangan-tangan nakal.

 

Aku masih terus menatap pria yang mengendarai motor trail yang kini telah menghilang di ujung jalan. Kemudian, segera aku bergegas masuk kedalam rumah untuk memburu waktu karena aku pun juga harus bergegas berangkat bekerja.

 

Aku segera memasukan semua keperluanku ke dalam tas rangsel yang berada di atas meja kerjaku beserta laptop yang berisi data nilai murid-muridku. Aku adalah seorang guru SMP namun sudah masuk sebagai pegawai negeri sipil. Baru setahun yang lalu aku diangkat menjadi seorang PNS. Hampir 7 tahun aku mengabdi sebagai guru bantu, hingga akhirnya impianku mendapatkan tunjangan di hari tua itu pun tercapai. Tekadku sudah bulat, jika aku belum diangkat menjadi PNS maka aku tidak akan menikah. Itulah yang menjadi alasanku hingga usiaku mengijak kepala tiga aku baru menikah dengan Mas Bagas. Dan yang membuat aku semakin beruntung adalah Mas Bagas yang sabar menungguku hingga detik ini kita menjadi satu.

 

Aku masih memilah dokumen yang berserakan di atas meja, maklum hampir satu minggu aku cuti bekerja karena sibuk menyiapkan hari bahagia yang akan aku lakukan hanya satu kali dalam hidupku ini. Aku menemukan ponsel milik Mas Bagas yang terselip di tumpukan kertas ujian yang akan aku bagikan hari ini untuk para murid-muridku. Mungkin saking terburu-burunya pria itu sampai melupakan benda terpenting keduanya setelah aku ini.

 

Dreg! Dreg! Dreg!

 

Benda pipih yang hanya di beri nada getar itu terus berkedip. Sebuah nomor tanpa nama masuk di panggilan telpon. Aku masih menunggu beberapa detik hingga benda pipih itu berhenti berkedip. Rasanya terlalu lancang jika aku harus mengakat panggilan itu. Aku tidak mau di cap sebagai istri yg tidak memberi kebebasan buat suaminya. Selama semua itu masih batas wajar, dan aku percaya Mas Bagas memegang hal itu karena Mas Bagas adalah lelaki setia.

 

"17 panggilan tak terjawab." Tulis di layar benda pipih itu, dengan nomor yang sama.

 

Terbesit dalam benakku, siapakah pemilik nomor itu? Namun aku mencoba berpositif thinking saja. Karena prasangka buruk hanya akan membuat aku semakin ketakutan. Namun hati kecilku tetap bergejolak, jika memang itu dari temen kerja Mas Bagas tidak mungkin dia melakukan panggilan sebanyak itu. Namun jika itu dari keluarga Mas Bagas kenapa kotak itu tidak ada namanya, hatiku terus saja menerka-nerka sesuatu yang buruk tentang Mas Bagas.

 

"Maafkan aku Mas!" Aku masih mengigit bibir bawahku. Ku usap lembut layar ponsel Mas Bagas. Berharap bisa menemukan jawaban dari teka teki yg terus menyelimuti hatiku.

 

"Masukan kata sandi."

 

Tulis layar itu, membuatku mengulum saliva kemudian mendengus kesal.

 

Bersambung ...

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Mei Utoyo
hmmmmmm cukup untuk menarik isi hati seseorang
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status