Share

Mas Bagas Menghilang

"Maafkan aku Mas!" Aku masih mengigit bibir bawahku. Kuusap lembut layar ponsel Mas Bagas. Berharap bisa menemukan jawaban dari teka teki yang terus menyelimuti hatiku.

 

"Masukan kata sandi!"

 

Tulis layar itu, membuat kumengulum saliva. Kemudian mendengus kesal.

 

"Dek, di mana?" teriak Mas Bagas membuatku terkejut. Segera kuletakan benda pipih itu kembali pada tempatnya.

 

"Di kamar, Mas!" sahutku masih dengan jantung yang berdebar.

 

 

 

 

Tak! Tak! Tak!

 

 

 

 

Suara hentakan kaki Mas Bagas yang berjalan ke arahku terdengar semakin dekat. Dengan cepat kuayunkan kembali gagang sapuku agar pria bertubuh tegap itu tidak curiga.

 

"Huf," Mas Bagas meniup kecil diambang pintu yang terbuka dengan tersenyum manis ke arahku.

 

 

"Loh, kok pulang lagi Mas?" tanyaku polos. Meskipun kini jantungku hampir saja copot dari tempatnya.

 

 

 

 

Pria itu kemudian mendekatkan dirinya padaku. Melingkarkan tangannya di perutku, kemudian menyesap dalam rambutku yang sudah hampir mengering  dengan aroma shampoo yang mesih melekat di setiap helainya.

 

"Aku kira kamu sudah berangkat ngajar," bisiknya lembut di telingaku.

 

"Belum Mas, ini kan masih pagi!" sahutku memutar tubuhku menghadap pria dengan topi khas patroli hutan.

 

"Kenapa Mas, pulang?"

 

"Mas, kangen sama kamu!" ucapnya menatapku mesra. Aku tersenyum lebar mendengar ucapan pria yang menghujaniku dengan ciuman itu. Aku bagaikan perempuan yang paling beruntung memiliki pria yang sesayang ini padaku. Walaupun kini ada sedikit yang mengganjal di dalam hatiku.

 

"Ih, Mas! adek mau siap-siap berangkat nih," kelakarku mendorong pelan dada bidang yang sedang membungkuk ke arahku.

 

"Ih, gemes deh!" Pria itu mencubit hidung kecilku kemudian melepaskan pelukannya dari tubuhku.

 

Pria itu beranjak ke meja kerjaku yang berada di samping ranjang.

 

"Cari apa Mas?" tanyaku, pasti Mas Bagas sedang mencari ponselnya yang tertinggal.

 

"Nah, ketemu kamu!" wajahnya terlihat lega ketika melihat benda pipih itu masih berada di bawah tumpukan buku-bukuku.

 

"Oh, ponsel!" tatapku tidak suka.

 

Melihat wajahku yang cemberut Mas Bagas kembali menghampiriku. Pria itu menyisir rambutku dan menyelipkannya di kedua telingaku. Bibirku masih saja mengerucut mengingat riwayat panggilan tanpa nama sebanyak itu di ponsel suamiku.

 

"Kenapa Dek?" tanyanya menjatuhkan tatapan sendu itu.

 

"Ngak!" sahutku asal.

 

"Kok mecucu?" ledeknya, pria itu selalu tau cara mencairkan suasana hatiku.

 

"Itu, siapa yang telpon Mas sebanyak itu?" Aku menaikan kedua alisku menunjuk pada ponsel yang telah berada di kantong celana Mas Bagas. Rasanya aku tidak bisa jika harus menyembunyikan rasa penasaran ini sendirian.

 

"Telepon?" Wajah pria itu masih biasa saja. Tidak ada rasa gugup ataupun takut. Mungkin perasaan ini hanyalah rasa kekhawatiranku saja.

 

Pria itu segera meraih ponsel itu di saku celananya. Kemudian mengusap lembut pada layar benda pipih itu dan menekankan tombol sandinya.

 

 

Aku memperhatikannya dengan seksama. Wajah Mas Bagas terlihat biasa saja. Tidak ada yang begitu mencurigakan sama sekali. Hatiku merasa lega, mungkin aku saja yang terlalu mencintaimu, Mas.

 

"Oh, ini sepertinya telepon dari Dinas," sahutnya kembali memasukkan ponsel ke dalam saku celananya. Kemudian Mas Bagas menjatuhkan lagi tatapannya padaku.

 

"Udah ngak mecucu lagi kan? Sayang, Mas kan kerja buat impian kita, Mas sudah nuruti semua kemauan Adek. Jadi jangan ada curiga lagi diantar kita ya!" Lagi lagi Mas Bagas membuatku luluh. Kupeluk erat tubuh tegap pria dengan kulit legam itu. Kurasakan detak jantungnya yang berdegup teratur. Setiap  perlakuannya selalu membuatku semakin mencintainya.

 

*****----******

 

Aku masih duduk di ruang guru, di jam istirahat seperti ini para guru sering menghabiskan waktunya untuk bersantai atau pun bersenda gurau dengan guru-guru yang lainnya.

 

"Cie, pengantin baru makin berseri aja nih wajahnya," celetuk Bu Tari yang baru memasuki ruangan staf guru. Pasti ledekan itu ia jatuhkan padaku. Aku hanya tersipu mendengar ucapan wanita dengan dua anak yang kini duduk di sampingku.

 

"Piye Piye rasane malam pertama? Enak to?" ledeknya sambil mencubit kecil pinggangku membuatku menggeliat kegelian.

 

"Yo, penak to sekian lama menunggu kok, ya ngak Bu Reza?" sahut wanita dengan hijab ungu yang terus menyunggingkan senyumnya padaku.

 

"Opo to iki, bahasane wong jowo keluar semua!" sahut Pak Irfan yang lewat di depan kami. Membuat kami tertawa terkekeh dengan celetukannya.

 

Aku yang saat ini menjadi obyek gibah teman-temanku hanya tersipu malu. Biarlah meraka puas puaskan mengulitiku, toh memang begitu adanya.

 

Netraku masih berkeliling ke seluruh sudut ruangan khusus staf guru ini. Beberapa hari tidak masuk kelas terasa ada yang berbeda di ruangan ini. Biasanya disaat jam istirahat seperti ini semua guru berkumpul di ruang ini. Tapi sepertinya ada yang kurang dari mereka hari ini.

 

"Bu Tari, meja Bu Iska kok kosong ya?" tanyaku kepada wanita yang sibuk mengecek kertas ulangan para siswa di sampingku. Sejenak Wanita itu mengalihkan pandangannya ke bangku kosong yang berada di sudut bagian depan deratan bangku guru. Kemudian kembali menjatuhkan padangannya pada kertas ulangan para siswa.

 

"Katanya sih Bu Iska pindah sekolah," jelas Bu Tari dengan suara yang terdengar berat.

 

"Loh, bukannya sebetar lagi beliau akan di angkat menjadi wakil kepala sekolah, kan sayang sekali," ujarku yang sedikit menyayangkan keputusan Bu Iska.

 

"Yah, mau bagaimana lagi Bu Reza. Untung tak dapat di raih malang tak dapat di tolak." Kali ini Bu Tari menatapku serius. Wajah periangnya kini berubah menjadi mendung.

 

"Maksudnya," tanyaku kepo.

 

"Bu Iska kembali ke kampung halamannya dan memutuskan untuk mengajar di sekolah sekitar rumahnya saja."

 

"Lalu kedua anaknya?" tanyaku semakin penasaran dengan cerita Bu Tari yang hanya sepenggal sepenggal.

 

"Kedua anaknya, Hafiz dan Hafizah ikut serta pindah bersama Bu iska," cerita Bu Tari, netra wanita itu terus memandang lurus keluar pintu ruangan dengan wajah yang terlihat sedih. Seolah dirinya sedang merasakan apa yang Bu Iska sedang rasakan.

 

"Sebenarnya saya kasian dengan Bu Iska, bisa bisanya Pak Sarifudin yang seorang polisi itu memiliki wanita simpanan, kurang apa coba keluarga mereka?"

 

Deg!

 

 

 

Ucapan Bu Tari  yang terdengar menyeramkan itu masuk ke dalam telingaku. Pantas saja wajah periang Bu Tari berubah mendung, tenyata seperti ini cerita yang akan ia sampaikan padaku.

 

"Masa iya, sih Bu!" Aku membulatkan mataku tak percaya. Setahuku, selama ini rumah tangga Bu Iska dan Pak Sarifudin tergolong harmonis. Pekerjaan mereka yang mapan serta kedua anak kembar mereka yang lucu pasti menambah kebahagiaan dalam rumah tangganya. Tetapi, ternyata itu juga tidak menjamin semuanya akan baik baik saja.

 

"Tenang, saya yakin kok Mas Bagas tidak seperti Pak Sarifudin yang tega mengkhianati istri dan anaknya. Buktinya Mas Bagas setia menunggu Bu Reza hingga 8 tahun." Bu tari menepuk lembut bahuku membuatku tersadar.

 

"Iya Bu, Alhamdulillah!" sahutku meringis, aku masih tidak percaya dengan apa yang terjadi pada rumah tangga Bu Iska.

 

"Yah, ibarat anak mah delapan tahun itu sudah kelas satu SD," timpal Bu Tari membuatku tertawa. Benar saja delapan tahun Mas Bagas dengan setia telah menungguku dan itu sepantaran dengan umur anak yang sudah kelas satu SD.

 

"Bu tari, Bu tari," ucapku sambil terkekeh kepada wanita yang terus saja meledeku itu.

 

*****____*****

 

Aku masih duduk di ruang televisi rumah kami. Menunggu Mas Bagas yang tak kunjung kembali. Padahal waktu sudah menunjukkan pukul sembilan malam. Namun deru motor treil itu belum juga masuk ke dalam telingaku.

 

Dreg! Dreg! Dreg!

 

Benda pipih yang sengaja aku letakan di samping tempat dudukku terus bergetar dengan layar yang  berkedip.

 

 

 

Aku alihkan pandanganku pada ponsel yang masih bergetar itu. Kulihat tertulis pada layar ponsel itu panggilan dari nomor yang kuberi nama my husband. Segara kuraih dan kutekan tombol hijau pada ponsel itu kemudian menempelkannya dekat dengan telinga.

 

"Dek, assalamualaikum," suara di ujung telepon yang hampir bertabrakan dengan suara salamku yang akhirnya aku urungkan.

 

"Wa'alaikum salam!" sahutku pada suara pria yang terdengar bergetar masuk dalam telingaku.

 

Aku masih bersikap santai, semoga tidak terjadi apapun dengan suamiku. Meskipun kini pikiran buruk itu datang kembali.

 

"Adek belum bobo?" tanyanya, suara itu terdengar seolah habis menangis.

 

"Belum Mas, Adek masih nungguin Mas pulang," sahutku, rasa penasaranku makin menggelitik mendengar suara Mas Bagas yang berbeda dari biasanya.

 

"Mas, habis menangis?" tanyaku penasaran pada pria yang sejenak tak menjawab pertanyaanku itu.

 

"Mas! Mas dengar suara Adek?" Ku ulangi ucapaku pada suara ponsel yang tiba-tiba hening.

 

"Eh, iy-iya dek! Mas dengar kok. Ehem!" Suara Mas Bagas kini sedikit berubah tak seperti tadi.

 

"Apa Mas menangis?" Aku ulangi pertanyaan yang belum sempat dijawab oleh Mas Bagas.

 

"Menangis? Iya dek, Mas menangis menahan rindu sama Adek," ledeknya, aku rasa Mas Bagas kali ini sedang tersenyum manis. Biasanya pria itu akan tersenyum saat meledekku.

 

"Serius Mas!" Gerutuku sambil mengerucutkan bibirku meskipun Mas Bagas tidak mungkin melihatnya.

 

"Iya, sayang. Maaf ya, sepertinya untuk beberapa hari kedepan Mas belum bisa pulang ke rumah. Mas ada dinas di daerah Blora. Karena hutan disana rawan pencurian," jelasnya membuatku sedih.

 

"Huf!" Aku meniup lemah dari bibirku. Rasanya sangat menyebalkan jika harus berpisah dengan Mas Bagas di saat masih hangat-hangatnya seperti ini.

 

"Apakah tidak bisa digantikan dengan mandor yang lainnya, Mas!" protesku kesal.

 

"Tidak bisa sayang! Ini sudah perintah atasan, mana mungkin Mas bisa menolaknya!" jelas Mas Bagas menyakinkan.

 

"Dasar atasanmu itu, apa ngak tau kalau kita ini pengantin baru?" ucapku semakin kesal.

 

"Hehe ... Sabar ya sayang, nanti kalau Mas sudah selesai pasti Mas kabarin, adek!"

 

"Hem," sahutku asal.

 

"Ya sudah Adek bobok dulu gih, Mas mau tugas dulu ya!"

 

"Iya, Mas!" sahutku dengan suara lemas.

 

"Sun nya mana?" pinta Mas Bagas membuatku tersipu.

 

"Ngak mau!" jawabku dengan nada kesal padahal aslinya aku sedang tersipu oleh rayuannya.

 

"Ya sudah kalau begitu Mas pulang saja lah, rencana kita beli mobil ditunda dulu saja kalau begitu."

 

"Eh, jangan-jangan!" Secepat kilat aku mengentikan ucapan Mas Bagas takut saja jika pria itu benar benar membatalkan tugasnya bisa-bisa cita citaku tahun ini punya mobil baru akan gagal.

 

"Pokok Adek pengen punya mobil baru tahun ini!" ujarku penuh penekanan.

 

"Iya sayang," ucap Mas Bagas lembut. Pria itu memang paling hafal dengan jiwaku yang materialistis.

 

"Emuach! Cepet pulang ya Mas, adek pasti kangen sekali dengan Mas!" sahutku sambil mengerucutkan bibirku seolah sedang mencium Mas Bagas. Setelah itu aku menutup ponselku dan segera menuju pembaringan.

 

***__***

 

Sudah tiga hari Mas Bagas belum kunjung juga kembali. Meskipun setiap hari kami aktif saling bertukar kabar. Namun, rasa rinduku sudah sangat menyiksa malam malamku. Maklumlah, harusnya hari hari ini adalah hari manis untuk kami memadu kasih sebagai pasangan pengantin baru.

 

Aku baru saja mengeluarkan motor maticku dari dalam rumah. Kulihat seorang pria dengan seragam perhutani sedang berjalan memasuki halaman rumahku.

 

"Mbak Reza!" ucap pria itu dengan senyum simpul.

 

"Iya, cari Mas Bagas ya, Mas?" celetukku memotong ucapan pria yang sedang membawa kantong kresek besar di tangannya itu.

 

"Bukan, ambak! Cuma mau ngasih barang Pak Bagas yang tertinggal di kantor kemarin. Saya kira besoknya bakalan di ambil pas dia masuk kerja. Eh malah sampai hampir tiga hari beliau izin cuti untuk seminggu ke depan," jelas pria itu membuat seluruh persediaanku terasa linu.

 

"Cuti?" tanyaku membulatkan netra menatap pria yang masih tersenyum ramah padaku itu.

 

"I-iya Mbak, Pak Bagas ambil cuti selama seminggu kedepan. Apa mbak ngak tau?" ucapan pria itu terdengar hati-hati.

 

"Eh, tau Mas. Iya dia lagi nengokin ibunya di Purwodadi. Saya kira ikutan dinas di Blora," celutuku memutupi. Jantungku semakin berpacu mendengar cerita yang pria itu sampaikan padaku. Tubuhku rasanya ingin mengeleyar terjatuh. Memikirkan di mana sebenarnya keberadaan suamiku saat ini.

 

"Masih bulan depan Mbak Reza di Blora itu, saya juga ikutan kalau itu."

 

 

 

Deg!

 

 

 

 

Kenyataan apa lagi ini Mas!

 

Aku masih menguatkan tubuhku berdiri di hadapan teman Mas Bagas. Setelah pria itu menyerahkan kantong kresek yang berisi tas rangsel Mas Bagas dan kemudian pergi. Tubuhku seketika terhuyun duduk di kursi teras rumah. Netraku terasa dipenuhi cairan yang membuat sesak seluruh dadaku. Baru kali ini Mas Bagas membohongiku, atau baru kali ini kebohongan Mas Bagas yang aku ketahui.

 

Aku manangis tergugu di teras rumah, benakku samakin berkeliaran pada hal hal yang tak masuk diakalku. Apakah mungkin Mas Bagas seperti Sarifudin, suami Bu Iska?

 

Bersambung ....

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status