Share

Yasmine

Part sebelumnya.

 

Kenyataan apa lagi ini Mas!

 

Aku masih menguatkan tubuhku berdiri di hadapan teman Mas Bagas. Setelah pria itu menyerahkan kantong kresek yang berisi tas rangsel milik Mas Bagas dan kemudian pergi. Tubuhku seketika terhuyun duduk di kursi teras rumah. Netraku terasa dipenuhi oleh cairan yang membuat sesak seluruh dadaku. Baru kali ini Mas Bagas membohongiku atau baru kali ini kebohongan Mas Bagas yang aku ketahui

 

Aku manangis tergugu di teras rumah, benakku samakin berkeliaran pada hal hal yang tak masuk di akalku. Apakah mungkin Mas Bagas seperti Sarifudin, suami Bu Iska?

 

 

 

Next PART 3

 

 

 

 

Hari-hari kulakui dengan sepi bahkan rasa sakit ini pun tak kujung juga mereda. Tak kuperduli kan Mas Bagas yang berkali kali menghubungiku bahkan ribuan pesan yang ia kirimkan hanya kubaca tanpa satupun yang kubalas.

 

[Dek, sudah bangun! Kenapa telepon Mas ngak di angkat!] dikirim 5:30 WIB.

 

[Dek, kamu sudah makan, Mas di sini rindu sekali dengan, Adek] Dikrimin 12:00 WIB.

 

[Dek! kenapa telepon Mas nggak pernah kamu angkat,  apa Adek sedang sibuk?] Dikirim pukul 21:00 WIB.

 

Itu beberapa pesan yang Mas Bagas kirimkan kepadaku. Tidak ada sedikitpun nada marah atau kesal dari sekian banyak pesan yang masuk dalam gawayku. Sungguh pria itu benar-benar penyabar sama seperti yang aku kenal selama ini.

 

Hari ini adalah hari Sabtu, seminggu kurang sehari Mas Bagas meninggalkanku. Sebenarnya aku pun rindu pada pria yang tak  pernah sedikitpun marah padaku itu. Bahkan dia selalu memperlakukanku dengan sangat baik, sekalipun aku berwatak keras kepala dan cenderung arogan. Entahlah, apa yang membuat pria itu sangat mencintaiku.

 

 

 

 

Aku sudah mengeluarkan motor maticku dari dalam rumah. Maklum saja rumah ini adalah hadiah maskawin dari Mas Bagas jadi belum tersedia garasi. Rencananya sambil berjalannya waktu, rumah pemberian Mas Bagas ini akan di renovasi lebih bagus lagi. Karena terhalang kendala biaya pernikahan kami yang cukup menguras tabungan Mas Bagas, jadi rencana itu untuk sementara harus kami tunda.

 

Greng! Greng! Greng!

 

Pria yang mendarai motor trail itu berhenti di halaman rumah. Entah kenapa melihat sosok yang sedang menuruni motor itu membuat tubuhku seolah lemas tak berdaya. Ingin sekali rasanya aku berlari dan memeluk tubuh tegap pria yang kini sedeng tersenyum padaku itu. Namun, hatiku kembali remuk mengingat pria itu telah menipuku mentah-mentah dengan permainannya.

 

 

"Sayang, kok diem aja!" Pria itu menjatuhkan pelukannya pada tubuh mungilku. Kemudian menghujani wajahku dengan ciuman yang biasa ia lakukan.

 

Mas Bagas menarik tubuhnya kemudian memerhatikan wajahku yang cemberut.

 

Pria itu kemudian menuntunku duduk di kursi teras rumah.

 

"Kenapa kok cemberut gitu?" tanyanya yang kini duduk bersimpuh di hadapan kakiku.

 

Aku tak bergeming, aku masih begitu kesal dengannya. Karena hal yang paling aku benci di dalam hidup ini adalah ketika aku dibohongi.

 

"Kamu ngak rindu sama, Mas?" ucapnya kini menatap lekat pada wajahku yang masih engan melihatnya.

 

"Mas dari mana?" ucapku ketus, kutatap iris hitam yang bertengger di kedua bola mata Mas Bagas dengan tajam.

 

"Kan Mas kemarin sudah bilang, kalau Mas lagi dinas di Blora, sayang!" Pria itu membalas tatapanku dengan hangat. Tidak sedikitpun kebohongan yang aku temukan di dalam tatapannya. Padahal jelas jelas pria itu sedang mengkamuflase ucapannya.

 

"Mas bohong!" Aku menaikan nada suaraku satu oktaf. Membuat pria itu berdiri dari tempatnya.

 

 

"Jangan teriak gitu dong, Dek, malu di dengerin orang. Kita ngobrol di dalam yuk!" ajak Mas Bagas menarik lengan satuku yang masih memegang helm.

 

"Ngak mau, sekarang Mas jawab jujur, Mas dari mana?" Aku mengurangi sedikit volume suaraku hingga terdengar begitu dingin. Tak sedetikpun kutatap pria yang berdiri di hadapanku yang sedang memegang pergelanganku.

 

"Oke, baiklah Mas akan jawab. Tapi kita bicara di dalam ya!" Pria itu masih terus membujukku dan menarik lembut lenganku masuk ke dalam rumah.

 

Kuhempasan kasar pegangan tangan Mas Bagas hingga terlepas. Segera aku bangkit dengan amarah yang masih kutahan masuk ke dalam rumah. Kemudian kuhempaskan bokongku dengan kasar duduk di kursi sofa ruang tamu.

 

Terlihat pria itu mengusap lembut keningnya yang basah oleh keringat kemudian menarik nafas dalam-dalam dengan menghembuskannya pelan. Setelah itu ia kembali duduk bersimpuh di hadapanku.

 

"Sayang, maafkan Mas jika harus berbohong kepadamu. Mas memang tidak ke Blora, karena tugas itu baru akan di mulai bulan depan. Kemarin Mas pergi ke Purwodadi, ibu katanya lagi sakit, jadi Mas buru-buru ke sana," tutur Mas Bagas.

 

 

 

Sejenak kujatuhkan pandanganku pada pria yang terus memperlihatkan wajah memelas itu. Aku perhatikan gerak gerik bola matanya, tidak ada perubahan sedikitpun pada netra hitam yang masih terus menatapku sendu.

 

"Benarkah?" sahutku datar. Aku masih tidak sepenuhnya percaya dengan ucapan Mas Bagas.

 

"Iya, dek! Jadi Mas harus temani ibu dirawat dulu baru Mas bisa pulang. Maafkan Mas ya, yang ngak ngasih tau Adek karena Mas ngak mau merepotkanmu dek!" tukas Mas Bagas yang raut wajahnya terlihat begitu sedih.

 

"Memang ibu sakit apa lagi, Mas?" tanyaku mulai melunak, tetapi entah mengapa hatiku masih engan menerima penjelasan itu.

 

"Jantung ibu kumat lagi, Dek!" Pria itu menatapku pilu, kuusap rambut ikal berwarna hitam yang kini terbenam di pangkuanku.

 

Delapan tahun aku mengenal Mas Bagas, dia adalah anak dari seorang janda miskin di Purwodadi. Ayahnya telah meninggal dunia sejak Mas Bagas masih berusia 4 tahun. Peliknya kehidupan yang menyiksa membuat pria itu dengan gigih memperjuangkan cita-citanya untuk membuat ibunya bahagia. Itulah sepenggal kisah hidup Mas Bagas yang aku ketahui.

 

 

 

"Dek, Mas ingin melamar adek!" ucapnya kala itu saat aku masih menjadi guru honorer di sebuah sekolah menengah atas swasta di daerah Bojonegoro.

 

"Apa Mas?" Aku begitu terkejut dengan ucapannya kala itu.

 

"Ibuku sedang sakit keras Dek, dia ingin kita segera menikah." Wajah pria berkulit coklat itu terlihat pilu.

 

"Mas, aku kan sudah bilang, aku belum mau menikah jika aku belum diangkat menjadi PNS!" cetusku menolak ajakan menikah' Mas Bagas.

 

"Dek, Mas yakin penghasilan Mas masih cukup untuk membiayai hidup kita nanti. Jadi kamu tidak perlu mengejar karirmu!" desak Mas Bagas yang kala itu belum menjadi seorang mandor perhutani.

 

"Maksud Mas?" Aku membulatkan netraku tidak terima. Bagaimana mungkin aku menikah dengan pria yang penghasilannya belum tentu mencukupi kebutuhanku itu.

 

"Ayahku seorang kepala sekolah, ibuku seorang dokter dan Mas memintaku hanya untuk menjadi seorang ibu rumah tangga, seperti itu?" debatku tak terima.

 

"Bukan Dek, bukan begitu. Maksud Mas kita menikah dulu setelah itu kamu masih bisa melanjutkan karirmu lagi. Mas tidak ada niatan membatasimu, Dek!" suara Mas Bagas terdengar lirih.

 

"Ibu cuma pengen kita menikah, ibu takut jika  umurnya tidak panjang lagi, Dek!" Genangan embun telah membasahi netra Mas Bagas. Namun saat itu aku masih dengan egoku, berdiri pada keputusanku. Tidak ada sedikitpun rasa iba pada pria yang sedang tertunduk disampingku dan memohon agar aku menjadi pendamping hidupnya.

 

"Ya kalau mau menikah denganku, tunggu sampai aku sudah di angkat menjadi PNS, setelah itu bangunkan rumah untukku karena aku tidak mau tinggal bersama ibumu, kedua orang tuaku ataupun ngontrak," sahutku ketus.

 

Kutinggalkan pria yang terus menundukan wajahnya itu. Tak perduli saat itu dia sedang menangis atau terluka dengan ucapanku. 

 

***__***

 

Kujalani hidupku dengan Normal seperti semula. Alasan Mas Bagas memang cukup masuk akal. Setelah penolakan lamarannya kala itu membuat ibu mertuaku pasti sangat kecewa. Sikapnya yang dulu begitu baik dan penyanyang padaku berubah dratis semenjak kejadian itu. Wanita yang sudah sangat tua itu lebih banyak diam dan tak terlalu banyak bicara padaku, terkadang justru menampakkan wajah yang tidak suka di depanku.  Hingga pada saat hari pernikahan kami yang digelar sangat mewah tak ada satupun sanak saudara Mas Bagas yang datang. Begitupun juga mertuaku.

 

Aku sering mengomel pada Mas Bagas tentang sikap ibunya yang berubah padaku, namun pria itu hanya diam tak bergeming. Yang terpenting baginya adalah selalu patuh kepadaku. Mungkin karena hubungan kami yang tidak terlalu baik membuat Mas Bagas engan menyampaikan tentang masalah ibunya padaku.

 

Hari ini adalah hari Minggu, jadwalku menjadi babu di istana kecil rumahku. Mas Bagas sudah meninggalkan rumah sedari pagi, pria itu harus menyisir seluruh hutan wilayah Bojonegoro daerah tempat tinggal kami. Mengecek pohon pohon jati yang hampir habis oleh para penebang liar.

 

Aku masih memilah baju baju yang akan aku masukan ke dalam mesih cuci. Seminggu tidak mencuci membuat tumpukan baju kotor itu mengunung sangat tinggi di atas mesin cuci.

 

"Itu seragam Mas Bagas!" ucapku meraih seragam perhutani berwarna hijau yang kukira hilang, justru berada diantara tumpukan baju bajuku di bagian paling bawah.

 

Kuperiksa satu persatu setiap kantong baju itu untuk memastikan jika tidak ada sesuatu barang yang penting yang tertinggal. Tanganku terhenti ketika masuk di saku baju berwarna hijau milik Mas Bagas. Sebuah kertas terselip di dalamnya dan segara aku meraihnya.

 

Kubuang kertas itu sembarang, namun netraku terhenti ketika sebuah nama terlihat jelas pada tulisan kertas yang nampak seperti nota itu.

 

[RUMAH SAKIT HUSADA]

 

LAPORAN PEMBAYARAN

 

[YASMIN]

 

BERSAMBUNG ....

 

Terimakasih buat kalian yang sudah menyempatkan membaca ceritaku, semoga kalian terhibur dan bisa memetik pesan yang aku selipkan di dalamnya.

 

Jangan lupa ikuti terus kelanjutan ceritanya ya!

 

tinggalkan like dan bintang kalian agar aku semangat untuk melanjutkan ceritanya.

 

salam bahagia...

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Pontjo Tutik
bagus ceritanya
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status