'Kamu boleh melepaskan ikatan antar kita, tapi kamu tidak akan pernah bisa melepaskan ikatan darah antara seorang ayah dan anaknya. ___'BagasYasmin bangkit dari tempat duduknya, menjatuhkan tatapan kebencian kepadaku. "Tidak Mas, Aska tetap di sini bersamaku," sahutnya.Dada wanita itu naik turun dengan nafas memburu. Aku tidak perduli jika aku tidak bisa memiliki Yasmin kembali maka Aska anakku harus menjadi miliku."Yas, aku ini Papanya bukan orang lain, kenapa kamu harus khawatir sih Yas," sahutku kekeh."Jika Mas papanya, sejak kapan Mas perduli dengan Aska. Bukankah selama ini mas sibuk dengan ..." ucapan itu terhenti dengan wajah merah menyala serta tatapan tajam padaku.Sekuat tenaga Yasmin mencoba meredam emosinya. Pria yang berada di depan meja kasir itu kini telah berada di samping Yasmin, menepu
Dor! Dor! Dor!Dadaku bergemuruh. Kukeras kan mengedor pintu rumah Mas Bagas. Namun tidak ada satupun orang yang membukakan pintu rumah yang terlihat sepi itu.Aku mencoba menghubungi nomor Mas Bagas, Namun yang ada justru pria itu mematikan ponselnya. Sepertinya dia sengaja melakukan hal itu padaku.Tubuhku perlahan terasa lemas, jatuh terhuyun di lantai. Dadaku semakin sesak memikirkan keadaan Aska, anakku.Bang Rasyid mendekap tubuhku dalam pelukannya. Mengusap lembut pada kerudung yang aku kenakan."Besok kita ke sini saja lagi Yas. Mungkin dia sedang membawa Aska bermain," bujuk Bang Rasyid setalah beberapa saat ia mengusap lembut bahuku."Ngak mau Abang, aku mau Aska sekarang Bang," ucapku tergugu merengek seperti seorang anak kecil yang kehilangan mainan kesayan
Plak!!Tamparan mulus mendarat di pipi pria yang baru saja turun dari mobil. Tanpa sempat menutup pintunya kembali.Tanganku memanas, sudahku pastikan jika pipi Mas Bagas pun juga sama panasnya dengan telapak tanganku kini.Mas Bagas mengusap pipi bekas tamparanku. Sudut bibirnya ditarik begitu sinis, membuatku jijik melihat senyum pria yang tidak memiliki pendirian itu."Mana Aska!" sergahku datar. Dadaku naik turun, nafasku terasa pendek dengan sesak yang mulai menjalari dadaku.Reza yang baru turun dari bangku belakang kemudi tercekat melihat kepadaku. Wanita simpanan Mas Bagas itu menatapku penuh kebencian."Mana Aska!" pekikku menaikkan sedikit nada suara."Dia sedang tidur Yas, aku ngak ngapa-ngapain dia kok," jelas Mas Bagas.
"Diam!" pekikku kesal.Kini suara Aska memang tidak terlalu terdengar. Kedap dinding lemari mengunci suara tangisan itu. Meskipun aku masih bisa mendengarkan tangisnya tapi tak senyaring tadi hingga membuat kepalaku ini ingin pecah saja.Deru mesin mobil terdengar masuk ke halaman rumah. Aku panik, pasti itu Mas Bagas. Ngapain lagi itu orang pulang di saat seperti ini.Dengan cepat aku membuka pintu lemari, menarik tubuh Aska dari dalamnya. Kemudian mengedong bocah itu seolah tidak terjadi apapun.Tak! Tak! Tak!Langkah cepat Mas Bagas setengah berlari mendekat ke kamar tempatku berada. Kutepuk pelan punggung Aska, Namun bayi itu masih saja terus menangis hingga terisak sejadi-jadinya."Ada apa Dek, Aska Kenapa?"Mas Bagas panik, pria itu menghampiriku
POV RezaYasmin histeris setelah Dokter mengatakan fonis jika aska akan memiliki gangguan dalam berbicara. Aku yang mendengarkannya saja merasa merinding, tidak bisa aku bayangkan jika aku memiliki anak yang bisu seperti itu.Semua yang berada di dalam ruangan itu berhamburan memeluk tubuh mungil Yasmin yang terhuyun jatuh di lantai. Kecuali Mas Bagas. Pria itu terus berteriak seolah tidak percaya dengan apa yang barusan Dokter katakan kepadanya.Rasa takut berbisik dalam hatiku, apakah semua itu gara-gara aku yang telah membanting Aska dan mengurungnya di dalam lemari.Perlahan langkah mundurku membawaku keluar dari ruangan berpendingin tempat Aska dirawat.Dadaku kian sesak, membayangkan jika saja mereka tau tentang apa yang sudah kuperbuat selama ini kepada Aska pasti Mas Bagas akan sangat marah kepadaku. Untung saja saat itu tidak ada
POV Reza.Kubuka netraku perlahan. Rasa dingin dan sakit menjalar keseluruh sendi-sendi tubuhku. Mungkin obat bius yang telah Dokter berikan perlahan menghilang. Hingga aku bisa merasakan kembali tubuhku yang sempat menghilang.Hanya suara monitor yang berada di samping tempat tidurku berbunyi begitu nyaring. Selebihnya semua hening. Tidak ada satupun orang yang berada di kamar ini. Hanya ada aku sendiri. Mas Bagas, papa dan mama pun tidak ada. Lalu bayiku ... Entahlah aku tidak tau kemana bayi itu pergi. Bahkan tangisannya saja aku tak mendengar. Yang aku rasakan perutku telah kembali rata, namun terasa pedih dan sakit sekali.Tak! Tak! Tak!Suara seseorang berjalan terdengar semakin mendekatiku. Aku harap itu adalah salah satu keluargaku atau mungkin Mas Bagas.Harapanku begitu besar, semoga setelah kelahiran anak kami. Sikap Mas
POV RezaWaktu berjalan begitu cepat. Bergulir silih berganti bersama senyum dan tangisan yang engan berajak pergi.Tidak semua mimpi yang telah kamu perjuangkan akan selalu berujung keberhasilannya. Terkadang, usahamu hanyalah berakhir sebagai pelajaran.Ikhlas, itulah satu kata yang selalu kupaksakan pada diriku agar semua dengan mudah untuk kulalui. Andaikan rasa dendam itu bisa kuredam. Mungkin aku masih bisa mempertahankan pernikahan indah yang sejak dulu aku impikan. Tapi lagi-lagi rasa ego kembali mengalahkan segalanya dan menghancurkannya.Oe, oe,Tangis Amira melengking masuk dalam indra pendengaranku. Kupercepat kegiatanku membersihkan diri di kamar mandi. Mengingat Nining yang sedari tadi belum pulang' dari pasar."Sebentar ya, Nak!" ucapku meriah handuk. Kemudian membalutkannya pada tub
POV RezaWanita itu semakin mendekat ke arahku. Tiba-tiba kakiku terasa bergetar hebat. Tubuhku menjadi lemas, kupeluk erat tubuh Amira dalam dekapanku. Takut, takut akan pikirin buruk yang terus berbisik tanpa henti dalam pikiranku."Cari siapa mbak?" ucapnya dari balik pagar besi.Aku bisa melihat wajah cantik itu dari sela-sela pagar besi yang berdiri kokoh di depan rumah berlantai dua milik Mas Panji."Saya, saya!" Entah kenapa lidahku terasa kelu. Aksara yang sudah kususun rapi musnah begitu saja."Siapa sayang!" Panggil pria yang menghampiri wanita yang engan membukakan pintu rumahnya untukku dan pria yang memanggil sayang itu ternyata adalah Mas Panji."Sayang!" Panggilan itu seketika meruntuhkan seluruh impianku hidup bahagia bersama dengan Mas Panji.Kuseka sudut mataku ya