Share

2. Hope

Suaraku yang terisak mungkin membuat kepala Jonathan mau pecah, hingga dia berkata rendah.

"Diam, Cuwa!" 

Aku tidak akan diam sampai kau benar-benar memberiku surat cerai, serta surat resmi pembagian properti dan gono-gini. Itu kan gunanya kamu mendatangkan pengacara. 

Jonathan menyipitkan matanya, lalu membuang muka dariku. 

"Tapi kenapa, apa salahku padamu? Selain setahun ini kita jarang menghabiskan waktu bersama, kita bahkan tidak pernah bertengkar."

Nada suaraku mengandung keputusasaan yang luar biasa. Istri teraniaya sepertiku, bisa apa selain menangis pilu.

"Jojo, apa kurang ku? Apakah aku tidak cukup baik, aku kurang cantik? Katakan agar aku bisa memperbaiki kekurangan ku." 

Tidak sudi, aku sudah dengan sengaja membuat citraku sendiri jadi jahat, menyebar rumor, hanya demi agar kamu menggagalkan pertunangan. Tapi kamu bertindak seperti anak SD yang labil. Kemaren kamu mendelik jijik padaku, besoknya kamu menggandengku ke acara-acara penting hingga semua jadi salah paham mengira kamu menyukaiku. Dan skandal seks yang sengaja ku lempar ke internet itu, seharusnya mampu membuatmu sadar bahwa kamu perlu membuang ku jauh dengan selembar kertas cerai. 

"Cuwa!

Jonathan menggeram, entah kenapa dia suka sekali melakukannya saat menyebut namaku. 

Aku tidak tahu ada apa dengannya, hingga ragu-ragu membubuhkan segaris tanda tangan di atas namanya. Hanya tinggal satu gerakan menggores saja aku akan resmi jadi janda kaya raya, bebas, dan bahagia. Oh pria-pria cantik dan menawan tunggu aku. 

Ku usap linangan air mata dengan menyedihkan, namun anehnya Jonathan memandangku penuh kecurigaan.

"Jojo, apakah kamu sudah memikirkan ini? Bagaimana dengan orang tua kita?"

Wajahku tidak sampai sembab seperti seharusnya. Nyatanya semalaman aku justru melakukan perayaan kecil dengan minum beberapa anggur merah mahal, yang jarang sekali bebas ku konsumsi. Tapi luruhan air mata mestinya mengirimkan perasaan kasian pada orang-orang di depanku saat ini. Kecuali Jonathan sialan itu, ada dua orang pengacara yang datang ke apartemen hadiah pernikahan dari ayah Jonathan. 

Bilang bahwa urusan orangtua kita akan menjadi urusanmu sepenuhnya. Aku hanya perlu bekerja sama denganmu untuk mengakhiri pernikahan ini. Ayo katakan begitu...! Semangat dalam hati ini membara mendukung keputusan si brengsek itu. 

Sementara itu kau pasti tau dengan baik, ibumu itu tidak menyukaiku. Apalagi adik cantikmu yang ya ampun, harusnya dia juga jadi aktris saja. Aku yakin dia akan mampu bersaing denganku untuk sebuah piala citra. 

"Aku tidak akan menceraikannya." Jojo menoleh pada salah satu pengacara, tapi tatapan tajamnya terus kepadaku.

"Apa!"

Brengsek sialan ini membuat jantungku jatuh ke perut hanya dengan sekali ucap. 

Dua orang pengacara yang dia bawa itu saling memandang. Nampak jelas mereka sedikit terganggu karena waktu mereka terbuang percuma untuk datang kemari. Sedangkan Jonathan, entah apa yang dia kagumi dari wajahku sampai terlihat seperti orang yang kelaparan dan ingin menelanku bulat-bulat.

Aku menangis, benar-benar sedih. Tapi pikiran rasionalku kembali menguasai diri. Jadi ku tarik senyum miris seolah aku bahagia dengan keputusan barunya. Seakan aku sedang menangis haru karena tak jadi diceraikan seorang Jonathan Wirautama. Huhu, sialan ini. 

"Oh, Jojo... Apakah kamu sadar dengan apa yang kamu ucapkan?"

Kamu pasti sedang tidak sadar karena kerasukan. Aku ingin membunuhmu sekarang juga. Geramku jauh dalam hati.

"Syukurlah kalau kamu berubah pikiran, aku janji akan jadi istri yang lebih baik untukmu mulai sekarang."

Aku tersenyum mengusap air mataku yang mulai mengering. Dua orang pengacara pamit undur diri, aku mengucapkan maaf dan terimakasih kepada mereka. Mereka hanya mengangguk tak enak padaku, apalagi melihat tatapan mata Jonathan kali ini terlihat lain. Diam-diam aku menggigil ngeri. Dia tidak mengalami syndrom terlambat jatuh cinta padaku kan? Aku mendengus, dasar pria labil, anak Paud saja tak selabil dirinya. 

Aku akan jadi ibumu yang mengajari bagaimana menjadi lelaki berprinsip, tegas, dan bertanggungjawab. Oh, sabar Cuwa, anggap suamimu adalah anak SD yang baru duduk di kelas 1, yang untuk meraut pensil saja masih harus ijin guru, apalagi menentukan masa depan percintaannya. Itu pasti berat untuknya. Sabar Cuwa, hiburku pada diri sendiri. 

Sangking asyiknya aku merutuki suami tidak dewasaku ini, aku sampai tidak sadar dia menyipit dingin padaku. Kulit wajahnya yang ku akui cool dan ganteng telah ditutupi lapisan es Antartika. Aku menjamin sebentar lagi keringatnya akan berubah jadi kristal es. Bunyi kletuk mengalihkan perhatianku dari wajahnya ke pulpen yang dia genggam.

Alamak, patah jadi dua. Itu bisep kalau digunakan untuk aktivitas yang lain pasti lebih greng, semisal mengukungku di atas sofa ini. Aku menggeleng mengusir pikiran nakal yang tiba-tiba muncul kala menatap body machonya. 

Mataku mengerjap menampar diri. Jangan lagi tergoda tampang memabukkan itu. Dia pria paling bajingan yang pernah ku temui. Cih, mana mungkin sih, dia mengungkung ku di sofa lalu sudi mencumbuiku, dia itu alergi bersentuhan dengan wanita cantik sepertiku. 

"Cuwa, dengarkan aku. Jangan kira aku tersentuh dengan semua yang kamu katakan, cepat atau lambat kita akan tetap berpisah tapi..."

Labil, tidak dewasa, kurang ajar, dasar bunglon! Kenapa tidak kau tandatangani saja yang di atas meja itu. 

Tak sedikitpun dia melepas tatapannya. Dalam, tajam dan langsung tembus ke hatiku. Aku sedikit salah tingkah dengan mengalungkan rambutku ke telinga. Gerakan tangannya yang perlahan tapi meyakinkan membuatku was-was, sekilas aku terpaku pada ototnya yang astagahhh, pantas dulu aku pernah jatuh ke dalam pesonanya. Jonathan menyobek surat cerai itu jadi beberapa bagian. Mulutku menganga. Dalam hati menangis meraung-raung, surat berhargaku...

Aku mendahuluinya untuk melanjutkan apapun yang hendak dia katakan. "Tapi, kamu harus memberi kesempatan pada hatimu untuk mengenalku lebih jauh," 

dan akan ku tunjukkan lagi seberapa jahat dan binal aku, sehingga tidak pantas bersanding dengan pangeran tampan sepertimu. Sampai-sampai kamu akan menyesali hari ini karena telah menunda menceraikanku, marahku hanya mampu ku sembunyikan di lubuk hati.

Aku tersenyum manis, mendekat padanya dan menempatkan kepalaku di lengannya. Dia menaikkan sebelas alisnya, menungguku berucap. Harum cemara dari tubuhnya terasa nyaman di penciuman, meski sedikit mengingatkan aku dengan pewangi lantai. 

Tapi dia memang tampan sih, tapi duh... Aku sudah menetapkan membencinya sepanjang tahun dan akan begitu selamanya sepanjang hidupku. 

"Jojo, kalau kamu tidak menyukaiku sedikit saja, kenapa dulu kamu selalu menunda membatalkan perjodohan kita? Bahkan setahun lalu aku sudah memberimu kesempatan untuk meninggalkanku di hari ijabsah. Tapi Jojo, kamu tak pernah benar-benar benar-benar pergi, akhirnya kamu selalu kembali padaku."

Dan aku benci itu, kamu pikir aku ban serepmu, yang akan siap sedia kau pakai kapan saja, pria sialan! Siapa yang tidak tau kamu suka selingkuh sejak dulu, kamu suka berganti-ganti pacar di belakangku. Yang membuatku makin muak adalah kamu mencintai adikmu.

Suara maskulinnya memotong rentetan omelanku. Dia terdengar lelah menghadapi ku. 

"Cuwa," dia memijit pangkal hidungnya. Dari arahku yang masih menyandar manja di lengannya, aku bisa melihat bulu matanya yang sedikit lentik.

"Katakan sejujurnya apa yang kamu mau dariku?"

Meski dia diam saja saat aku menempatkan kepalaku dengan nyaman di lengannya, tapi dari suaranya dia sangat tertekan dan kental menahan marah padaku. Emosi Jojo membumbung tinggi hingga cicak di dinding saja tak berani menampakkan diri. 

Jelas aku ingin kebebasan, ceraikan aku, bajingan! Tapi di depanmu selamanya aku akan jadi gadis baik-baik, pantang terucap kata perceraian dari mulutku, kalau kita harus berpisah, itu kamu yang akan memintanya.

"Jojo," suara centil dan manja ku buat memelas.

"Bukankah sudah jelas..." Lanjutku, dia menatap mataku, aku juga balas menatapnya. Andai mataku bisa mengeluarkan radiasi nuklir, aku akan bersyukur karena akan meracuninya.

"Aku ingin menjalankan pernikahan ini seperti yang ayahmu dan ayahku mau. Lagipula hanya kamu satu-satunya pria dalam hidupku."

Jelas saja bertunangan delapan tahun itu kalau ibarat kredit rumah dua tahun lagi lunas, kredit motor dapat 4, kredit mobil dapat 2. Kamu harus membayar masa mudaku yang terlewati begitu saja. Ya tuhan, bodohnya aku sempat tergila-gila dengan wajah tampannya. Kalau membunuh itu tidak dosa dan tidak dipenjara, aku pasti akan membunuhnya berkali-kali. 

"Apa kamu sudah tidak menyukaiku lagi,"

Katanya dengan suara datar yang dalam dan khas. Jujur aku sempat merasakan getaran liar dalam perutku mendengarnya, rahimku bergejolak. 

"Cuwa?" Jonathan menarikku dari keterpukauan. Mata elangnya mengunci pandanganku. 

I..i..iit...itu... Brengsek, jelas sekarang aku benci padamu. Pria menjengkelkan sepertimu tidak layak mendapatkan rasa suka dariku. Di luar sana banyak pria cantik dan muda mengantri untuk bersanding denganku. Dan bodohnya aku harus menghabiskan waktuku mencari jalan memutar hanya untuk berpisah denganmu. 

Bodohnya pipiku pasti merona, tapi bukan aktris penerima golden award namanya kalau tidak bisa mengatasi keadaan ini.

"Pertanyaan macam apa itu, suami? Kamu tahu lebih dari apapun betapa aku ini sangat menyukaimu."

Senyumku yang mengandung pemanis buatan dan MSG mulai kaku, aku jijik ya Tuhan, tolong cabut nyawanya saja kalau begitu. 

"Cuwa!"

"Ada apa Jo?"

Aku berkedip polos, aku cemberut karena bentakannya. Tak tahu kenapa dia jadi makin marah. Otot di dahinya berkerut, alisnya hampir menyatu, matanya manatap kejam. Aku bergidik, bersiap berdiri dan memasang kuda-kuda untuk berlari kalau sampai Jojo memukulku.  

"Berhenti menyumpahiku mati!"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status