Suaraku yang terisak mungkin membuat kepala Jonathan mau pecah, hingga dia berkata rendah.
"Diam, Cuwa!"
Aku tidak akan diam sampai kau benar-benar memberiku surat cerai, serta surat resmi pembagian properti dan gono-gini. Itu kan gunanya kamu mendatangkan pengacara.
Jonathan menyipitkan matanya, lalu membuang muka dariku.
"Tapi kenapa, apa salahku padamu? Selain setahun ini kita jarang menghabiskan waktu bersama, kita bahkan tidak pernah bertengkar."
Nada suaraku mengandung keputusasaan yang luar biasa. Istri teraniaya sepertiku, bisa apa selain menangis pilu.
"Jojo, apa kurang ku? Apakah aku tidak cukup baik, aku kurang cantik? Katakan agar aku bisa memperbaiki kekurangan ku."
Tidak sudi, aku sudah dengan sengaja membuat citraku sendiri jadi jahat, menyebar rumor, hanya demi agar kamu menggagalkan pertunangan. Tapi kamu bertindak seperti anak SD yang labil. Kemaren kamu mendelik jijik padaku, besoknya kamu menggandengku ke acara-acara penting hingga semua jadi salah paham mengira kamu menyukaiku. Dan skandal seks yang sengaja ku lempar ke internet itu, seharusnya mampu membuatmu sadar bahwa kamu perlu membuang ku jauh dengan selembar kertas cerai.
"Cuwa!
Jonathan menggeram, entah kenapa dia suka sekali melakukannya saat menyebut namaku.
Aku tidak tahu ada apa dengannya, hingga ragu-ragu membubuhkan segaris tanda tangan di atas namanya. Hanya tinggal satu gerakan menggores saja aku akan resmi jadi janda kaya raya, bebas, dan bahagia. Oh pria-pria cantik dan menawan tunggu aku.
Ku usap linangan air mata dengan menyedihkan, namun anehnya Jonathan memandangku penuh kecurigaan.
"Jojo, apakah kamu sudah memikirkan ini? Bagaimana dengan orang tua kita?"
Wajahku tidak sampai sembab seperti seharusnya. Nyatanya semalaman aku justru melakukan perayaan kecil dengan minum beberapa anggur merah mahal, yang jarang sekali bebas ku konsumsi. Tapi luruhan air mata mestinya mengirimkan perasaan kasian pada orang-orang di depanku saat ini. Kecuali Jonathan sialan itu, ada dua orang pengacara yang datang ke apartemen hadiah pernikahan dari ayah Jonathan.
Bilang bahwa urusan orangtua kita akan menjadi urusanmu sepenuhnya. Aku hanya perlu bekerja sama denganmu untuk mengakhiri pernikahan ini. Ayo katakan begitu...! Semangat dalam hati ini membara mendukung keputusan si brengsek itu.
Sementara itu kau pasti tau dengan baik, ibumu itu tidak menyukaiku. Apalagi adik cantikmu yang ya ampun, harusnya dia juga jadi aktris saja. Aku yakin dia akan mampu bersaing denganku untuk sebuah piala citra.
"Aku tidak akan menceraikannya." Jojo menoleh pada salah satu pengacara, tapi tatapan tajamnya terus kepadaku.
"Apa!"
Brengsek sialan ini membuat jantungku jatuh ke perut hanya dengan sekali ucap.
Dua orang pengacara yang dia bawa itu saling memandang. Nampak jelas mereka sedikit terganggu karena waktu mereka terbuang percuma untuk datang kemari. Sedangkan Jonathan, entah apa yang dia kagumi dari wajahku sampai terlihat seperti orang yang kelaparan dan ingin menelanku bulat-bulat.
Aku menangis, benar-benar sedih. Tapi pikiran rasionalku kembali menguasai diri. Jadi ku tarik senyum miris seolah aku bahagia dengan keputusan barunya. Seakan aku sedang menangis haru karena tak jadi diceraikan seorang Jonathan Wirautama. Huhu, sialan ini.
"Oh, Jojo... Apakah kamu sadar dengan apa yang kamu ucapkan?"
Kamu pasti sedang tidak sadar karena kerasukan. Aku ingin membunuhmu sekarang juga. Geramku jauh dalam hati.
"Syukurlah kalau kamu berubah pikiran, aku janji akan jadi istri yang lebih baik untukmu mulai sekarang."
Aku tersenyum mengusap air mataku yang mulai mengering. Dua orang pengacara pamit undur diri, aku mengucapkan maaf dan terimakasih kepada mereka. Mereka hanya mengangguk tak enak padaku, apalagi melihat tatapan mata Jonathan kali ini terlihat lain. Diam-diam aku menggigil ngeri. Dia tidak mengalami syndrom terlambat jatuh cinta padaku kan? Aku mendengus, dasar pria labil, anak Paud saja tak selabil dirinya.
Aku akan jadi ibumu yang mengajari bagaimana menjadi lelaki berprinsip, tegas, dan bertanggungjawab. Oh, sabar Cuwa, anggap suamimu adalah anak SD yang baru duduk di kelas 1, yang untuk meraut pensil saja masih harus ijin guru, apalagi menentukan masa depan percintaannya. Itu pasti berat untuknya. Sabar Cuwa, hiburku pada diri sendiri.
Sangking asyiknya aku merutuki suami tidak dewasaku ini, aku sampai tidak sadar dia menyipit dingin padaku. Kulit wajahnya yang ku akui cool dan ganteng telah ditutupi lapisan es Antartika. Aku menjamin sebentar lagi keringatnya akan berubah jadi kristal es. Bunyi kletuk mengalihkan perhatianku dari wajahnya ke pulpen yang dia genggam.
Alamak, patah jadi dua. Itu bisep kalau digunakan untuk aktivitas yang lain pasti lebih greng, semisal mengukungku di atas sofa ini. Aku menggeleng mengusir pikiran nakal yang tiba-tiba muncul kala menatap body machonya.
Mataku mengerjap menampar diri. Jangan lagi tergoda tampang memabukkan itu. Dia pria paling bajingan yang pernah ku temui. Cih, mana mungkin sih, dia mengungkung ku di sofa lalu sudi mencumbuiku, dia itu alergi bersentuhan dengan wanita cantik sepertiku.
"Cuwa, dengarkan aku. Jangan kira aku tersentuh dengan semua yang kamu katakan, cepat atau lambat kita akan tetap berpisah tapi..."
Labil, tidak dewasa, kurang ajar, dasar bunglon! Kenapa tidak kau tandatangani saja yang di atas meja itu.
Tak sedikitpun dia melepas tatapannya. Dalam, tajam dan langsung tembus ke hatiku. Aku sedikit salah tingkah dengan mengalungkan rambutku ke telinga. Gerakan tangannya yang perlahan tapi meyakinkan membuatku was-was, sekilas aku terpaku pada ototnya yang astagahhh, pantas dulu aku pernah jatuh ke dalam pesonanya. Jonathan menyobek surat cerai itu jadi beberapa bagian. Mulutku menganga. Dalam hati menangis meraung-raung, surat berhargaku...
Aku mendahuluinya untuk melanjutkan apapun yang hendak dia katakan. "Tapi, kamu harus memberi kesempatan pada hatimu untuk mengenalku lebih jauh,"
dan akan ku tunjukkan lagi seberapa jahat dan binal aku, sehingga tidak pantas bersanding dengan pangeran tampan sepertimu. Sampai-sampai kamu akan menyesali hari ini karena telah menunda menceraikanku, marahku hanya mampu ku sembunyikan di lubuk hati.
Aku tersenyum manis, mendekat padanya dan menempatkan kepalaku di lengannya. Dia menaikkan sebelas alisnya, menungguku berucap. Harum cemara dari tubuhnya terasa nyaman di penciuman, meski sedikit mengingatkan aku dengan pewangi lantai.
Tapi dia memang tampan sih, tapi duh... Aku sudah menetapkan membencinya sepanjang tahun dan akan begitu selamanya sepanjang hidupku.
"Jojo, kalau kamu tidak menyukaiku sedikit saja, kenapa dulu kamu selalu menunda membatalkan perjodohan kita? Bahkan setahun lalu aku sudah memberimu kesempatan untuk meninggalkanku di hari ijabsah. Tapi Jojo, kamu tak pernah benar-benar benar-benar pergi, akhirnya kamu selalu kembali padaku."
Dan aku benci itu, kamu pikir aku ban serepmu, yang akan siap sedia kau pakai kapan saja, pria sialan! Siapa yang tidak tau kamu suka selingkuh sejak dulu, kamu suka berganti-ganti pacar di belakangku. Yang membuatku makin muak adalah kamu mencintai adikmu.
Suara maskulinnya memotong rentetan omelanku. Dia terdengar lelah menghadapi ku.
"Cuwa," dia memijit pangkal hidungnya. Dari arahku yang masih menyandar manja di lengannya, aku bisa melihat bulu matanya yang sedikit lentik.
"Katakan sejujurnya apa yang kamu mau dariku?"
Meski dia diam saja saat aku menempatkan kepalaku dengan nyaman di lengannya, tapi dari suaranya dia sangat tertekan dan kental menahan marah padaku. Emosi Jojo membumbung tinggi hingga cicak di dinding saja tak berani menampakkan diri.
Jelas aku ingin kebebasan, ceraikan aku, bajingan! Tapi di depanmu selamanya aku akan jadi gadis baik-baik, pantang terucap kata perceraian dari mulutku, kalau kita harus berpisah, itu kamu yang akan memintanya.
"Jojo," suara centil dan manja ku buat memelas.
"Bukankah sudah jelas..." Lanjutku, dia menatap mataku, aku juga balas menatapnya. Andai mataku bisa mengeluarkan radiasi nuklir, aku akan bersyukur karena akan meracuninya.
"Aku ingin menjalankan pernikahan ini seperti yang ayahmu dan ayahku mau. Lagipula hanya kamu satu-satunya pria dalam hidupku."
Jelas saja bertunangan delapan tahun itu kalau ibarat kredit rumah dua tahun lagi lunas, kredit motor dapat 4, kredit mobil dapat 2. Kamu harus membayar masa mudaku yang terlewati begitu saja. Ya tuhan, bodohnya aku sempat tergila-gila dengan wajah tampannya. Kalau membunuh itu tidak dosa dan tidak dipenjara, aku pasti akan membunuhnya berkali-kali.
"Apa kamu sudah tidak menyukaiku lagi,"
Katanya dengan suara datar yang dalam dan khas. Jujur aku sempat merasakan getaran liar dalam perutku mendengarnya, rahimku bergejolak.
"Cuwa?" Jonathan menarikku dari keterpukauan. Mata elangnya mengunci pandanganku.
I..i..iit...itu... Brengsek, jelas sekarang aku benci padamu. Pria menjengkelkan sepertimu tidak layak mendapatkan rasa suka dariku. Di luar sana banyak pria cantik dan muda mengantri untuk bersanding denganku. Dan bodohnya aku harus menghabiskan waktuku mencari jalan memutar hanya untuk berpisah denganmu.
Bodohnya pipiku pasti merona, tapi bukan aktris penerima golden award namanya kalau tidak bisa mengatasi keadaan ini.
"Pertanyaan macam apa itu, suami? Kamu tahu lebih dari apapun betapa aku ini sangat menyukaimu."
Senyumku yang mengandung pemanis buatan dan MSG mulai kaku, aku jijik ya Tuhan, tolong cabut nyawanya saja kalau begitu.
"Cuwa!"
"Ada apa Jo?"
Aku berkedip polos, aku cemberut karena bentakannya. Tak tahu kenapa dia jadi makin marah. Otot di dahinya berkerut, alisnya hampir menyatu, matanya manatap kejam. Aku bergidik, bersiap berdiri dan memasang kuda-kuda untuk berlari kalau sampai Jojo memukulku.
"Berhenti menyumpahiku mati!"
Mataku memiliki cekungan lebar yang kusam dan segera akan menghitam. Menjerang air lalu menyeduh kopi pahit, air hitam pekat itu semoga menghilangkan kantuk yang tak tertahan. Ampasnya untuk kompres mata pandaku pasti lumayan ampuh. Hari ini aku tidak punya waktu untuk melakukan perawatan di salon langganan, jadwalku penuh sampe sore nanti. Aku menguap untuk yang kesekian kali sampai mataku berair, ngantuknya hoam...Mungkin malaikat terheran-heran, jin dan iblis ikut mengernyitkan dahi. Jonathan Wirautama berbagi ranjang denganku. Semalam itu adalah malam keduaku bersamanya, setelah setahun lalu di malam pertama, hal yang sama terjadi.Setelah melempar tatapan aku tidak sudi menyentuhmu, dia tidur dalam damai di sebelahku. Sangking damainya hampir aku membuat nisan di atas kepalanya dengan kutipan Rhyme in Peace. Sementara aku cuma bisa berkedip-kedip mirip boneka Susan sambil menggerutu bahwa kehadirannya sangat mengganggu. Aku sampai takut bergerak karena takut meng
Seminggu ini hidupku kembali tentram dan sejahtera. Tentram tanpa si Jonathan kancut itu, yang kembali menghilang tak ada kabar. Sejahtera karena limit credit card yang dia berikan ternyata sangat memanjakan nafsu belanjaku yang sedang liar. Aku tidak peduli nanti malam atau bahkan sebentar lagi dia akan marah sampai jin Qorin dalam dirinya ikut ngamuk. Salahnya sendiri, setahun hanya memberiku lima puluh juta. Buat perawatan wajah saja tidak cukup, dikiranya menikahi aku sama dengan menikahi kaktus dalam pot yang cuma disiram air penuh cinta seminggu sekali bisa tumbuh subur. Ishhh...! +628*** is calling... Aku tersenyum, bisa dipastikan siapa yang menelpon. Jadi aku berdehem untuk menetralkan suaraku, memasang suara manis penuh rayu. Belum ku sapa dia sudah berseru rendah. "Swara Amaya!" Aduh kenapa musti menyebut nama panjangku, jantungku kan berdebar hebat jadinya. Takutnya getara
Aku termenung di balkon apartemen.Gadung ini adalah salah satu proyek yang dimiliki Samsu Group milik kelurga Jonathan. Samsu adalah nama kakek buyut Jonathan, pengembang pertama bisnis keluarga itu. Semua aset yang berada di bawah naungan keluarga ini akan memiliki embel-embel Samsu. Bagaimana bisa aku menikah dengan anak sultan macam Jonathan Wirautama?Huftt, aku menghembuskan nafas berat.Ayahku adalah pengusaha kecil, kecil apabila dibandingkan dengan Samsu Group. Tapi sekecilnya perusahaan percetakan milik ayah, satu-satunya orangtua yang sayang padaku tersebut mampu membiayai ku sekolah di National University of Singapore jurusan teater dan seni peran. Setelah ku hitung ayah mengeluarkan hampir 250 jt per tahun untuk biaya kuliah ku di sana. (Bisa cek Google, barangkali para pembaca yang Budiman ada yang berminat kuliah di NUS dengan jurusan ini. Hampir 200jt per tahun untuk biaya kuliah saja belum akomodasi pr
Akhir part 5Aku mengerang mendengar suara bass Jonathan dari balik tubuhku. Siluetnya memang sempurna, tapi, Oh... aku butuh ke toilet. Dorongan luar biasa terasa menekan keluar dari dalam perutku.***"Cuwa, kamu kenapa?" Jonathan mengikuti ku yang setengah berlari ke dalam toilet. Dengan tak sabar ku buka tutup toilet lalu mengeluarkan isi perutku, meski ternyata hanya liur pahit. Pria itu bersandar nyaman di pintu kamar mandi melihatku, aku menatapnya aneh. Ngapain dia disitu?Desakan dari dalam mengalihkan perhatianku darinya. Kembali otot-otot lambungku bereaksi. Suara berirama yang ku keluarkan nyatanya mampu menarik Jonathan mendekat hanya untuk memijat tengkukku.Aku menoleh padanya, menautkan alis, berpikir keras, ngapain orang ini bersikap baik padaku? Apa dia kerasukan jin penunggu lift?Tumben Jonathan jadi perhatian, positif
"Alergi mu sudah sembuh?" Aku membawa tubuhku dalam posisi miring untuk menghadap dirinya yang sedang duduk dengan tablet di pangkuan. Raut tenang tanpa rasa bersalah sedikitpun dia menjawab."Aku tidak punya alergi""Alergi berdekatan denganku" sahutku dengan mata memincing penuh godaan. Kalau ini orang lain, seperti sutradara dan produser mesum yang suka firtling itu. Ku tatap dengan cara demikian, bisa dipastikan mereka akan mengajakku check in di hotel bintang lima.Namun aku justru menemukan matanya sedikit beriak seperti air danau terkena hembusan angin. Kalau orang normal mungkin akan salah tingkah mendengar kalimat sarkastik seperti yang baru saja ku katakan.Lain kali jangan mencium sembarangan, donk. Aku tidak mau yang seperti ini terjadi lagi. Sumpah ciumanmu memicu asam lambung, dan itu menyiksa. Jonathan menatapku tak habis pikir. Biar bagaimanapun aku tersenyum bert
Aku masih sangat lemas, dokter bilang efek diet tidak sehat, meski ketika aku bercerita bahwa aku eneg dan selalu mual saat melihat wajah seseorang, si dokter hanya tertawa. Justru merekomendasikan psikolog atau bahkan psikiater RS ini agar aku membuat janji konsultasi. Karena kalau sampai begitu berarti masalah mual muntahku bukan karena diet tapi karena kelainan mental. Disini yang menurutku terindikasi gila itu Jojo kenapa jadi malah aku? Dokter juga tak mengijinkan aku keluar RS meskipun itu penting seperti ke Soeta bertemu mertua dan syuting 15-20 menit. Sampai bilang siap mengeluarkan surat kesehatan apabila ku butuhkan untuk membatalkan syuting. Pada akhirnya aku memang berhasil menurunkan berat badan hingga 2 kilo. Tapi kalau tau diet kali ini menyiksa aku tak akan lagi sanggup, sungguh cantik itu memang butuh pengorbanan. Jangan bilang cantik itu diturunkan dari gen. Cantik itu karena perjuangan
"Dia Iren, teman SMA ku" Jojo tak melepas gandengan tangan kami hingga memastikan aku duduk dengan benar. Pipiku jelas merona karena perlakuannya. Tapi kalian pasti tahu, di dalam hati aku terus mencibir kelakuan Jonathan."Hallo, aku Iren. Dan kamu lebih cantik aslinya dari pada di layar kaca" aku tahu setelan kerja mahal yang dikenakan wanita ini, berapa sih gaji psikolog, mentereng banget yang satu ini. Aku tak melewatkan setitik ekspresi kecewa di wajah wanita ini ketika tahu Jojo mengaitkan tangannya dengan tanganku. Bahkan pilihan meja sofa yang ditata berpasangan ini, sangat merugikan dia. Mungkin dia tak menyangka Jojo akan datang bersama ku. Sungguh wajah di depanku ini menghibur sekali."Halo juga, senang bertemu denganmu mbak, thankyou. Kamu juga cantik" aku menyambut jabat tangan formal Iren Audi, seolah aku tidak meremehkannya baru saja. Perempuan cantik i
"Wa mau makan malam apa?"Sebutan Wa dari bibirnya terasa asing di telinga. Jonathan yang dulunya antipati padaku tiba-tiba memanggilku dengan sebutan yang terlalu akrab. Jadi jangan salahkan aku kalau di hati terdalam ku menyimpan banyak sekali kecurigaan padanya.Tawaran Jojo ku jawab gumaman malas dari balik selimut dan guling. Cuaca malam Jakarta yang hujan terasa mendukung. Masih jam 7 malam, tapi rasanya mataku berat."Jangan tidur dulu, Wa""Aku lelah, Jo""Aku pesen restoran bawah biar cepet"Aku tak meresponnya lagi karena setelah aku kembali tersadar, aku tak melihat keberadaan Jojo di kamar. Justru aku mendengar suara yang ku pastikan itu adalah Renita yang sedang tertawa bahagia. Aku mengerjap, mengusap mata beberapa saat, memastikan apakah aku mimpi atau halusinasi."Bang Nath, bagaimana bisa itu tidak lucu. Lihatlah dia bisa berjalan dengan pose