Share

4. Secret Smile

Seminggu ini hidupku kembali tentram dan sejahtera. Tentram tanpa si Jonathan kancut itu, yang kembali menghilang tak ada kabar. Sejahtera karena limit credit card yang dia berikan ternyata sangat memanjakan nafsu belanjaku yang sedang liar. Aku tidak peduli nanti malam atau bahkan sebentar lagi dia akan marah sampai jin Qorin dalam dirinya ikut ngamuk. Salahnya sendiri, setahun hanya memberiku lima puluh juta. Buat perawatan wajah saja tidak cukup, dikiranya menikahi aku sama dengan menikahi kaktus dalam pot yang cuma disiram air penuh cinta seminggu sekali bisa tumbuh subur. Ishhh...!

+628*** is calling...

Aku tersenyum, bisa dipastikan siapa yang menelpon. Jadi aku berdehem untuk menetralkan suaraku, memasang suara manis penuh rayu.

Belum ku sapa dia sudah berseru rendah.

"Swara Amaya!"

Aduh kenapa musti menyebut nama panjangku, jantungku kan berdebar hebat jadinya. Takutnya getarannya turun ke rahim kan susah, yang halal membuahi kagak doyan.

"Jojo, ini kamu?"

Pasti di seberang sana dia sangat tidak sabar.

"Kamu sembelit ya? Suaramu kenapa?" Aku memperdengarkan nada khawatir yang berlebihan.

"Cuwa..." Dia mendesis seperti terinjak sapi, aku bisa membayangkan wajahnya yang merah dengan alis menukik tajam dan mata galak yang melotot. Tangannya pasti sedang memijit tengkuk atau ujung matanya. Aku tertawa dalam hati, kalau kamu tak menceraikanku sesegera mungkin, bersiap-siap saja akan ku buat stroke di usia muda.

"Aku masih belanja, Jo," suara bernada manja ku lantunkan.

"Kamu dimana, aku jemput!"

"Di Thamrin,"

Tuutt.....

Aku terbahak air mataku sampai merembes keluar sangking sakitnya perutku karena desakan tawa yang luar biasa. Shofi asistenku, dan Phia managerku yang setia menemani berbelanja sampai heran dan mencolek-colek pundakku agar aku berhenti bertingkah gila. Pasti semua pengunjung gerai ini sedang memperhatikanku dengan rasa ingin tahu.

Bahuku terguncang, "please beri waktu aku sebentar."

Aku melanjutkan tawaku yang tak bisa ku bendung. Ya ampun, Jonathan si bodoh itu begitu saja sudah marah. Limit kartu kreditnya masih tinggal 25 juta. Sayang kalau tidak dihabiskan. Sebentar lagi dia pasti akan mengucapkan cerai. Kebebasan, tunggu aku sebentar lagi, pria muda dan segar sabar dulu ya...!

Di usia 36 tahun si Jonathan bisa apa sih, selain memberiku uang 50 juta dan kartu kredit limit 450 juta. Duh emang berapa penghasilannya, takut banget uangnya ku belanjakan habis. Dia tidak tahu apa ya, kalau di dalam rejeki suami itu ada rejeki istri. Kalau dia tahu pengeluaran pribadiku selama sebulan apa nggak mati berdiri dia sih. aku mencebik, menghinanya adalah hobiku setahun terakhir meski bisanya ku lakukan dalam hati.

Sembari menunggu suami tercintaku menjemput, ayo gesek sekali lagi. Kalau nanti sampai kartu itu zonk, buang aja. Biar sekalian deh repotnya si Jonathan itu.

Aku meraih beberapa tas belanja dari tangan Shofi. Mencari gaun santai yang cantik tapi seksi dan sesuai dengan cuaca panas Jakarta. Menimbulkan kernyitan heran di dahi gadis 26 tahun itu.

"Apa yang kamu lakukan?" Katanya bingung melihatku mencari gaun floral cantik 32jt yang tadi ku beli. Aku juga akan menuju counter Chanel untuk memoles wajahku agar tak kelihatan kusam setelah dua jam jalan-jalan di mall ini.

"Jonathan akan menjemputku, biarkan aku tampil cantik dan merampas hatinya kali ini" aku menjawab sambil lalu. Karena tanganku telah menjatuhkan pilihan pada sepasang high heels musim semi yang menawan. Bisa dipastikan bakal menambah kesan liarku karena membuat kaki lebih kelihatan jenjang. Begini doang hampir 50 jt, belum tas sama polesan muka, ah dasar si Jonathan emang pelit. Kalau dia tidak bisa memenuhi nafkah lahir batinku, buat apa sih dia bertahan dalam pernikahan konyol ini. Tidak tahu ya, modal jadi artis itu gede.

"Mimpi apa si pangeran gunung es sampai menjemputmu?" Phia manager 4 tahunku membelalak setelah melihat aku yang tidak main-main.

"Sudah empat tahun aku mendengarmu mengucapkan kalimat yang sama." Sahut Shofi asistenku, tatapannya mengandung ejekan, kemudian dia melanjutkan.

"Tapi dia tidak juga jatuh padamu."

Sayangnya dia benar, oh sakitnya hatiku. "Selama itu juga kami bersama, tapi seperti terpisahkan dua benua."

Aku menghela nafas sedih karena kebenaran kalimatku tersebut, tapi senyumku tetap terpatri, aku mengingat kala pria dingin itu mengucap janji suci didepan wali.

"Anehnya dia tak pernah ingin benar-benar berpisah denganku, bahkan meskipun surat cerai sudah di depan matanya." Lanjutku sendu.

Ini benar-benar apa yang ku rasa di palung hatiku, setiap kali aku berusaha membuatnya mengucap kata talak, selalu saja gagal. Semua hanya berakhir dia semakin membenciku.

"Kamu memang bodoh, kenapa kamu tak menggugat dulu, cinta membuatmu bodoh."

Ujar Phia, mereka berdua ini sebenarnya adalah teman masa putih abu-abuku. Phia bisa menjadi managerku karena dia lebih beruntung memiliki kemampuan itu, keluarganya juga banyak yang berkecimpung di industri hiburan. Jadi tidak heran kalau Phia memiliki banyak koneksi untuk mengembangkan karirku. Sementara Shofi, dia bukan kawan akrabku sih sebenarnya. Tapi tahun itu, aku menolongnya dari hutang sehingga dia bersumpah setia akan melayaniku sebagai asisten kepercayaan.

"Kalau aku cinta kenapa aku harus minta cerai, dodol!" Balasku tak terima.

"Itu karena kamu tak mau terluka semakin dalam." Mata Phia menyipit padaku kala mengatakan argumennya.

"Jangan bermulut besar! Sudah ayo ke Chanel, Jojo pasti sudah dekat." Aku tak mau orang lain membaca hatiku. Biar saja aku yang tau.

"Kalau dia marah padamu bagaimana?" Shofi menggunakan intonasi yang sarat kekhawatiran, kenapa dia musti khawatir. Bukankah sudah biasa ya Jojo marah padaku.

"Aku akan menyumpal mulutnya dengan ATM platinumku yang lain. Ditambah ATM kurus miliknya."

"Seperti kamu bisa." Kata shophia nama gabungan yang ku buat untuk mereka berdua.

Setelah dua puluh menit, aku memandang pantulan ku di cermin. Hanya mempertegas alis dan mengganti warna lipstick dan eyeshadow sudah membuatku puas. Cantik begini ditolak orang yang sama selama delapan tahun. Betapa buruk nasibku, ya tuhan. Senyum puas terukir di bibir, aku siap menyambut Jojo. 

+628***** is calling....

Pucuk dicinta ulam pun tiba, baru saja ku pikirkan, si dia sudah tak tahan memendam rindu padaku. Aku terkekeh dalam hati karena kalimatku sendiri. Ayo kita lihat apakah si pelit nafkah ini akan muntah hanya karena uang segitu.

"Jojo," ku sapa dia selemah lembut yang aku bisa.

"Keluar." Perintahnya datar, dia memang membosankan. Setiap kali dengan Jonathan tidak bisa aku tak mengumpat, dia memang selalu berhasil membuatku jengkel hanya dengan sepatah kata dari mulutnya.

"Jemput aku Jo, kalau aku keluar sendiri bisa dipastikan aku akan sangat terlambat menemuimu."

Suara tak berdaya mengalun lancar dari bibir bergincu merahku. Maksudnya adalah aku akan kewalahan menghadapi beberapa orang yang sering sekali minta tanda tangan atau foto ketika bertemu.

"Di mana?" Apa saat pelajaran bahasa Indonesia dia terlalu meresapi ciri-ciri kalimat poster yang singkat, padat, dan jelas itu ya? Aku bertanya-tanya pada diriku sendiri.

"Counter Chanel lt.1."

"Mhm" sahutnya singkat sebelum dengan tidak sopannya dia menutup panggilan sepihak.

Ku kantongi ponselku sembari berpikir, apalagi ya, yang bisa membuatnya kesal. Bagaimana kalau rumor prostitusi online, dia pasti akan menceraikan ku seketika. Aku mengangguk-anggukan kepala setuju dengan ide brilian itu.

"Perhatikan anak-anakku dengan baik ya, jangan sampai ada satupun yang kalian anak tirikan" ingatku pada dua orang ini. Mereka sangat paham bagaimana aku memperlakukan barang-barang mahal itu. Aku duduk dengan tenang di sofa yang disediakan. Shofi dan Phia menatapku ingin tahu, mereka mulai khawatir dengan apa yang aku dapat dari berharap pada Jonathan.

Tak lama berselang, Jojo terlihat memasuki counter ini dan berjalan ke arahku. Rambut cepaknya memberi kesan tegas yang tak terbantahkan. Jas semi formal seperti itu memanjakan mata kaum hawa meski penampilannya agak kusut.

Terimakasih semesta memberiku suami tampan, tapi tolong cabut biang es dalam dirinya biar aku tak lelah hayati setiap kali menghadapinya.

"Ayo," dia berhenti lima langkah di depanku, memperhatikan wajahku sekilas lalu berbalik dan berjalan ke arah pintu keluar. Tidak ada ekspresi lainnya yang bisa ku lihat, apakah dia senang, marah, bahagia. Ah membosankan sekali dia ini.

Aku mencibir, selain pelit dia juga tidak gentle. Lelaki terhormat seharusnya memperlakukan wanita dengan terhormat pula. Jadi ayo lihat, sampai di mana saraf pekanya.

Aku masih duduk tenang dengan kaki terlipat anggun. Menatapnya dengan kilat jail, menyebabkan asisten dan managerku geleng-geleng kepala.

Setelah Jonathan menyadari aku masih tak bergerak, dengan wajah tertekuk dia kembali menghampiri lku dengan tatapan tidak suka.

"Cuwa, ayo."

"Jo, aku capek, kakiku keram." Manjaku padanya yang memasang raut muram.

"Apa perlu ku bawakan kursi roda?" Sindirnya.

Jahat banget sih, mentang-mentang duitnya baru saja ku habiskan. Uang segitu beli underwear ku saja paling dapat tiga biji, dasar pelit.

Diriku mengabaikan mukanya yang aneh saat menatapku.

Bukannya memang begitu ya akhir-akhir ini, dia suka menatapku diam-diam. Jatuh cinta tahu rasa.

Jonathan membuang mukanya segera setelah balas ku pandang dengan binar cinta yang ku buat-buat.

"Jo..."

Aku merengek, lalu mengangsurkan tanganku agar dia sambut. Jonathan melirik semua orang yang memelototinya di tempat ini, karena tak kunjung menerima uluran ku. Maka dengan berat hati dia menuju tempatku dan meraih jemariku.

"Terimakasih, suami," kataku riang. bukannya membalas senyumku dia justru menggenggam tanganku dengan kekuatan kuda liar. Menimbulkan rasa sakit dan pasti akan memerah sebentar lagi, tidak tahu ya kulitku itu sensitif, biaya sekali perawatan 150 juta. Duit semua itu. Sekali menafkahiku saja sudah berani kasar begini, ku tuntut pasal KDRT tau rasa.

Seolah tahu apa yang ku pikirkan, dia mengendurkan pegangannya.

"Sudah puas belanjanya?" tanyanya dengan sarkasme yang kental.

Belum, aku belum puas mengerjaimu, aku akan terus merusuh dan mengacau denganmu sampai kamu menceraikanku dengan surat resmi.

"Maaf Jo, ku gunakan kartu pemberianmu," ku pasang wajah penuh penyesalan, Jonathan mengangkat sebelas alisnya.

"Kemaren aku bertemu Renita adik tersayangmu," adik tiri tak tau diri yang sok polos dan suci yang ingin memonopoli dirimu sendiri, rubah ekor sembilan itu selalu menjelek-jelekkan aku di depanmu, membuatmu semakin membenciku.

"Cuwa, aku nonton film terakhirmu. Apa kakakku tak memberimu uang, kenapa baju murahan kau pakai dalam film sebagus itu, sungguh membuat keluargaku malu." Aku meniru gaya bicara Renita dengan jijik.

Aku tidak bohong soal ini, Renita si lili putih itu memang menghinaku begitu, andai dia tahu, kakak tersayangnya memang memalukan. Cih.

Aku terus berjalan mengikuti langkah Jonathan yang panjang-panjang. Tak sempat mengintip apakah ada perubahan emosi di wajahnya meskipun setipis tisu toilet.

"Jadi ku jawab, kakakmu bekerja keras untuk keluarga, bagaimana bisa aku berfoya-foya menghabiskan jerih payahnya, aku hanya ingin dia segera pulang dan kembali berkumpul denganku seperti seharusnya. Apakah aku salah Jo, berkata begitu pada adik kita."

Adikmu saja, bukan adikku. Aku tak memiliki adik rubah yang di luar seperti kapas di dalam seperti kapuk mati, lecek semua.

"Jadi kali ini, jangan salahkan aku kalau aku sedikit memanfaatkan uang nafkah mu, aku tak ingin kamu malu memiliki istri yang memiliki celah untuk dihina seenaknya. Soal makan kamu tak perlu khawatir, aku bisa membuatmu kenyang dengan cinta. Seperti kata anak muda, tai kucing rasa coklat."

Aku terbahak dalam hati, Cuwa omong kosong mu sungguh menggelitik, aku eneg sendiri ya Tuhan.

Lagi-lagi aku melewatkan apakah warna wajah Jonathan berubah, tapi dia hanya menambah tekanan hingga membuatku berhenti. Ini sakit, tentang kulitku yang sensitif itu bukan bualan. Minggu depan jadwalku syuting produk perawatan kulit. Tidak lucu kalau ada sedikit saja lebam di pergelangan tanganku.

"Jo, kamu menyakitiku," aku menepis gandengannya, tega sekali dia. Sekalipun dia akan membela adiknya, tapi jangan keterlaluan sampai bermain fisik begini.

Air mata menggenang di sudut mataku, ah make up mahalku.

Kulirik kerumunan ibu-ibu di loby mall ini. Ayo membuat skandal lagi, kali ini denganmu, Jojo sayang.

"Aku tau kamu menyayangi adikmu, tapi aku istrimu, Jo!" Ku tambah volume suaraku yang pasti akan di dengar oleh mereka pencinta gosip, dan sebentar lagi kamera-kamera jahat yang bisa bikin cantik seketika itu akan menyala. Hahaa.

"Selama ini aku sudah mengalah, adikmu memonopoli dirimu untuk dirinya sendiri. Bahkan dengan perlakuanmu yang selalu memihaknya, aku masih selalu mencintaimu."

Jonathan memicingkan satu matanya.

Kasak-kusuk mulai terdengar, aku bersiap menumpahkan air mata dengan cara paling menyedihkan, namun paling cantik yang bisa ku lakukan.

Aku ahlinya bermain peran. Lihat saja si Jojo bajingan ini, dia akan semakin marah, lalu memaki-maki ku dengan isi kebun binatang. Kemudian dia akan bilang, Ayo cerai cuwa, kali ini ku pastikan aku menandatanganinya.

Namun, sebelum mata dan kamera-kamera itu memuaskan rasa ingin tahunya, Jojo mencium bibirku dengan cara yang paling profesional yang pernah ku lakukan dengan aktor-aktor itu. Aku menarik kepalaku mundur, tapi dia menahan tengkukku dan mencium bibirku makin dalam.

Bajingan ini apa yang dilakukannya? Kamera ibu-ibu netijen menyala, dan sial kenapa jadi begini.

"Ini hukumanmu, Cuwa." Katanya, lalu menarik jemariku lembut seperti pasangan mesra pada umumnya. Dia berjalan santai dengan aku yang sedikit terseret, wooa, apa dia sedang tersenyum.

Aku mengerjap barangkali aku salah liat.

Benar kan, bibirnya hanya berbentuk garis lurus. Mana mungkin dia tersenyum, aku pasti hanya berhalusinasi. Bajingan brengsek, jangan begini, kalau aku jatuh cinta padamu lagi bagaimana?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status