Share

6. Attention

Akhir part 5

Aku mengerang mendengar suara bass Jonathan dari balik tubuhku. Siluetnya memang sempurna, tapi, Oh... aku butuh ke toilet. Dorongan luar biasa terasa menekan keluar dari dalam perutku.

***

"Cuwa, kamu kenapa?" Jonathan mengikuti ku yang setengah berlari ke dalam toilet. Dengan tak sabar ku buka tutup toilet lalu mengeluarkan isi perutku, meski ternyata hanya liur pahit. Pria itu bersandar nyaman di pintu kamar mandi melihatku, aku menatapnya aneh. Ngapain dia disitu?

Desakan dari dalam mengalihkan perhatianku darinya. Kembali otot-otot lambungku bereaksi. Suara berirama yang ku keluarkan nyatanya mampu menarik Jonathan mendekat hanya untuk memijat tengkukku.

Aku menoleh padanya, menautkan alis, berpikir keras, ngapain orang ini bersikap baik padaku? Apa dia kerasukan jin penunggu lift?

Tumben Jonathan jadi perhatian, positif dia emang kesambet. Bohlam dalam otak berpijar ketika menyebut kata positif.

"Kamu kenapa?" Tanyanya sekali lagi, masih memijat tengkuk dan pundak, lumayan nyaman, ku akui. Harum cemara dari parfumnya, menggelitik  hidung, parfum cap karbol yang menguat dari dirinya.

Ku kerjai saja dia deh. "Positif kali" jawabku sekenanya.

"Apa!"

Bukan suara shock Jonathan yang justru terdengar, melainkan suara histeris Renita yang dengan tidak sopannya masuk ke kamar kami, posisinya ada di luar toilet tepat di depan pintu. Beruntungnya aku sedang memakai gaun tidur tipis tali spaghetti yang minim bahan tanpa mengenakan kardigannya. Biar kesannya aku memang cabul dan binal. Sehingga dia jadi jijik dan memotivasi melempar surat cerai lalu menendang ku dari hidupnya.

Niatnya menggoda Jonathan sih, saat tahu tadi pagi dia membuka pintu apartemen, aku bergegas ganti. Setelah kemampuan menghilangnya kumat lagi tiga hari ini pasca menjemput ku di mall kemarin. Dia memang tak berkata apa-apa waktu itu karena kartu kreditnya ku kuras, hanya bilang jangan terlalu boros, Cuwa.

Kalian ingin tahu reaksiku, tentu saja aku ngedumel dalam hati sepanjang jalan kenangan. Meskipun selanjutnya dia membawaku makan siang bersama koleganya di dekat mall situ dan memperlakukanku dengan lunak. Lunak dalam artian tidak bisa dikatakan baik karena wajahnya masih dingin seperti biasa, namun kadar cueknya telah berkurang 2% karena sesekali matanya menatap padaku. Abaikan saja, aku tak tahu apa maksudnya.

"Kamu hamil? Dengan kakakku?" Kata perempuan jelek itu dengan wajah yang terlihat takut bahwa Jonathan akan terjerat padaku selamanya. Lihatlah hidung dan bibir hasil filler klinik terkenal yang kebetulan ku endors. Iyuuuh yang begitu Jonathan doyan.

Aku tertawa mendengarnya dalam tangis karena muntah,

"Memang dengan siapa lagi, adik ipar sayang yang awet muda dan selalu imut" aku menyempatkan diri mencibirnya, dia lebih tua beberapa tahun dariku. Ah, netijen korban rumor dan isu, hanya bisa menuduh secara sepihak tanpa mencari tahu kebenarannya.

Aku merapat pada Jonathan seperti penggoda. Lalu dengan kerlingan nakal aku menambahkan,

"Di dunia ini satu-satunya yang berhak membuatku hamil hanya dia seorang." Setelah mengatakan itu aku kembali merasakan gejolak dalam perutku. Sial, ini gara-gara wajah busuk Renita, dan tatapan mabuk Jonathan padanya, setidaknya itu menurutku.

Dan begitulah, Jonathan meninggalkanku yang masih mengeluarkan hajat, bukan hajat hidup orang banyak, tapi hajat membunuh mereka berdua. Yang harus ku keluarkan bareng muntahan karena membunuh itu melanggar hukum. Kenapa air mata makin deras kala melirik Jonathan dengan wajah yang tak lagi datar membimbing adik tercintanya keluar dari kamar ini.

Jangan bilang kamu sakit hati cuwa. dih, menggelikan kalau sampai kamu menangisi Jonathan. Pria berwajah sedatar lantai WC itu, bukan apa-apa dibandingkan pria-pria muda segar dan cantik yang menantimu. Lagipula, sejak bertahun-tahun lalu Jonathan akan lebih mendahulukan ibu dan adiknya daripada dirimu, kenapa kamu mesti heran. Ayo kembali jadi Cuwa yang biasanya, jangan cengeng. Kamu hanya kurang nutrisi akibat diet sebab penilaian pria brengsek itu yang menuduh mu gendut.

Membuang perasaan sendu dengan membasuh air dingin ke seluruh wajah. Sesiang ini aku memang belum mandi, hari ini aku free. Nanti aku ada slot 15-20 menit di acara live rumpi jam 8 malam.

Entah apa yang dilakukan mereka berdua di luar, bayangan di balik pilar beberapa tahun silam membuatku kembali ingin muntah. Aku belum sarapan, tapi kenapa rasanya perut ini penuh. Setelah berkumur dan sikat gigi agar perasaan pahit di mulut itu menghilang, aku kembali muntah-muntah hebat. Sial kalau begini aku bisa sakit. Aku butuh obat mual atau obat maag, tapi aku sedang tidak ingin melihat wajah menggemaskan Renita. Bawaannya kalau lihat dia pengen cakar-cakar manjah. Jadi aku bertahan, dan memilih menguburkan diri dalam selimut.

"Cuwa, ayo sarapan bareng. Renita menunggu" Jonathan berbicara dari ambang pintu. Mendengar ajakan sarapan bareng tersebut, yang terbayang adalah Renita membawa masakan dari rumahnya untuk Jonathan. Segera saja aku merasakan gelombang mirip tsunami dalam diriku. Jadi aku kembali memasuki toilet berharap dorongan ini segera berakhir.

"Cuwa, kalau sakit kenapa tidak minum obat" katanya, lagi-lagi dia membuntuti. Bersedekap seolah menghakimi aku sakit adalah sebuah kesalahan. Wajahnya tidak ada peka-pekanya sama sekali.

Kotak obat ada di luar bodoh, kalau aku keluar lalu melihat wajah adik cantikmu, aku bakal langsung diare di tempat. Aku begini karena kamu menciumku setelah menggunakan bibirmu untuk melahap adikmu. Aku kan jadi jijik. Aku sudah mulai mual-mual sepulang dari mall walau masih bisa diatasi. Ditambah diet ketat sejak beberapa hari ini. Aku terus mual-mual mirip perawan hamil muda hanya karena dihamili lewat tatapan babang tamvan.

Aku membuat gestur mengusir dengan melambaikan tangan. Tidak berguna berdiri saja, lebih baik minggat dari sini dan aku bisa istirahat dengan tenang tanpa gangguan kalian berdua.

Dia mengangkat sebelah alisnya. Seolah berkata lewat tatapan, kamu mau aku bagaimana? Merawat mu? Mimpi aja sana.

Setelah aku membasuh mulut, mengusap air mata karena muntah. Aku hendak menyuruh tubuh 1,8 meter yang memenuhi pintu kamar mandi itu minggir, aku ingin rebahan. Aku hanya butuh istirahat, nanti perutku akan membaik. Tapi si tidak tahu diri ini, malah menarik tanganku. Aku yang lemas hanya bisa pasrah tak melawan. Mengikuti tarikannya hingga lebih dekat dengan tubuh bau karbolnya.

"Jojo, makan saja sana, biarkan aku istirahat" bicara saja rasanya menghabiskan tenaga.

"Minum obat mual lalu makan" katanya menatap mataku, aku sedang kecapean, sedang malas menerjemahkan apa arti tiap tatapannya padaku sejak tadi.

"Maaf Jo, aku belum masak"

"Renita bawa makanan" sudah ku duga, menepis tangan Jonathan kemudian berbalik hanya untuk muntah kembali. Sial! Membayangkan makan hasil masakan Renita yang pasti dimasak dengan kasih sayang plus bumbu cinta suci khusus untuk Jonathan membuat mualku makin menjadi.

"Beneran kamu hamil? Morning sickness" ini satu lagi korban netijen endonesiah, ternyata dia juga bisa kemakan gosip. Aku tertawa dalam hati, merasa ini bisa dimanfaatkan sebagai senjata untuk mendapatkan surat cerai darinya.

"Maafkan aku Jo, aku tidak bermaksud mengkhianatimu" aku menundukkan kepala dalam, merasa bersalah karena tuduhannya yang ku benarkan tapi jelas tidak benar. Menekan-nekan perutku yang makin kempis, lupa kalau berakting hamil harusnya perut ini diusap-usap.

Ayo mengamuklah, katakan aku ini memang tidak tau diri, tukang selingkuh, pengkhianat, tidak tahu malu, hamil dengan siapa kamu? Siapa ayah janin itu? Ayo marahlah, Jonathan jelek. Bilang, ku ceraikan kau hari ini. Tunggu pengacaraku datang dan akan ku tandatangani surat itu.

"Melamun, Cuwa?" Katanya dengan gestur sekaligus nada bosan. Tatapan matanya biasa-biasa saja, serius, dua tidak marah.

Aku, "???"

Dia kenapa? Harusnya dia kan ngamuk karena sudah ku khianati hingga hamil.

"Ayo ku antar ke dokter"

"Tidak"

"Kamu sakit"

"Aku cuma morning sickness, seperti katamu"

"Bukan cuma, kamu muntah-muntah hebat"

Itu karena kamu, semua salahmu.

"Oke, ganti bajumu. Selain di depanku jangan memakai pakaian setengah jadi begitu."

Aku ingin mendengus, Dasar buta mode.

Tapi aku tersenyum tersipu, layaknya seorang istri yang bangga berhasil menjerat suaminya dalam genangan cinta menggelora. Bolehkah aku mengartikan dia sedang posesif pada istri cantiknya ini. Duh kedengarannya manis sekali, sayang aku hanya mimpi.

"Aku tunggu di luar, biar ku suruh Renita pulang."

Aku mengangguk bergegas mengganti busana yang nyaman. Jonathan tidak berbohong yang bilang menyuruh Renita pulang. Gadis tercantik se dunia fauna itu tak kelihatan lagi batang hidungnya. Tapi saat kami ada di basemen, Renita menunggu dengan gaya penuh perhatian. Beriri dnegan cemas sembari meremas tangannya gugup.

"Cuwa, apa kamu sakit. Aku kepikiran kalau meninggalkanmu begitu saja. Aku akan ikut mengantarmu."

Gadis baik hati, tutur kata sopan,  mapan, kenapa tak menikah? Nggak laku atau menunggu Jonathan? Si sok tak berdaya tapi busuk, kenapa kamu tak minggat saja. Oh perutku, mual dan perih lagi. Aku menahan jangan muntah disini, please, tidak lucu kalau sampai tertangkap kamera dalam keadaan lemah.

"Jo, antar saja dia. Aku bisa sendiri. Aku akan meminta Shofi menemaniku." Aku bersandar lelah pada pintu mobil Jonathan. Wajah Jonathan mengeluarkan emosi tak menyenangkan padaku yang tentu ku abaikan. Aku hendak mengeluarkan ponsel untuk menghubungi Shofi, ketika acting si adik tersayang mulai terdengar.

"Sebegitukah kamu tidak menyukaiku, kakak ipar? Apa salahku padamu selain Bang Nathan memang lebih perhatian padaku"

Menguatkan diri sebentar untuk menatapnya dengan gestur jahat. Sebelumnya aku melirik Jonathan yang memberikan tatapan peringatan padaku agar memperlakukan adiknya dengan baik, mungkin. Dan aku tak peduli sama sekali.

Sebentar lagi kau pasti akan bilang, kenapa kau tak menghargai niat baikku, aku sungguh hanya khawatir padamu. Apa salah kalau aku ingin hubungan kita membaik seperti pada umumnya saudari ipar.

"Cuwa, Tolong hargai  niatku sedikit saja, sungguh aku khawatir pada kehamilanmu. Itu keponakanku juga. Lagipula aku ingin memperbaiki hubungan kita. Apa salah kalau kita menjadi saudari ipar layaknya adik kakak"

Haruskah ku jawab, tidak ada perempuan yang menyukai suaminya dicium perempuan lain meskipun itu adik tirinya.

Harusnya ku putar bola mata sebagai ekspresi betapa aku sangat malas mendengarnya, tapi badanku lemas. Aku lebih ke menghadiahi Renita tatapan tak peduli. Sementara wajah Jonathan terlihat tak kalah pucat dengan wajahku, ada apa lagi dengannya. Kenapa mata sinisnya menatapku horor begitu.

Ku tekan kepalaku, pusing melanda. Ketika aku mencari tempat sampah terdekat untuk muntah lagi, pandanganku terasa berputar, dan aku kehilangan orientasi. Sempatnya aku berpikir kalau aku mati, orang yang akan ku hantui adalah mereka berdua.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status