Share

9. Make your dreams come true

"Dia Iren, teman SMA ku" Jojo tak melepas gandengan tangan kami hingga memastikan aku duduk dengan benar. Pipiku jelas merona karena perlakuannya. Tapi kalian pasti tahu, di dalam hati aku terus mencibir kelakuan Jonathan.

"Hallo, aku Iren. Dan kamu lebih cantik aslinya dari pada di layar kaca" aku tahu setelan kerja mahal yang dikenakan wanita ini, berapa sih gaji psikolog, mentereng banget  yang satu ini.

Aku tak melewatkan setitik ekspresi kecewa di wajah wanita ini ketika tahu Jojo mengaitkan tangannya dengan tanganku. Bahkan pilihan meja sofa yang ditata berpasangan ini, sangat merugikan dia. Mungkin dia tak menyangka Jojo akan datang bersama ku. Sungguh wajah di depanku ini menghibur sekali.

"Halo juga, senang bertemu denganmu mbak, thankyou. Kamu juga cantik" aku menyambut jabat tangan formal Iren Audi, seolah aku tidak meremehkannya baru saja.  Perempuan cantik ini memang pantas bersanding dengan Jojo yang tampan dan tak terjangkau, sekalipun itu olehku.

"Apakah kamu tidak marah padaku, semalam aku menggandeng suamimu dan tertangkap kamera?" aku sudah biasa mbak cantik, kenapa kamu musti heboh begitu. Tapi bibirku hanya tersenyum santai, berbanding terbalik dengan senyum provokasinya. Memang apa yang mesti ku khawatirkan. Bukankah bagus kalau Jojo sampai jatuh cinta pada wanita lain hingga harus menceraikan ku.

"Kesan tentangmu di televisi juga langsung pupus saat melihatmu secara langsung begini." Dia memandangku mengamati, dan itu terang-terangan. Namun sepertinya dia tak membiarkan orang lain membaca emosinya lebih dalam. Tentu wanita ini sangat pandai mengolah segala jenis emosi yang tidak menguntungkannya.

Ternyata dia tak seanggun yang ku kira, selain banyak bicara, matanya juga suka mencuri pandang pada Jojo. Melupakan rasa tidak nyaman di tubuhku karena baru sembuh dari sakit, aku menarik bibirku menyeringai.

"Benarkah, memangnya bagaimana aku yang aslinya mbak?" Gotcha, itu dia, senyum simpul dengan tatapan meruncing pada Jojo, dan gerakan membenahi pakaian serta rambutnya, yang beberapa kali ku tangkap. Nona psikolog, jangan remehkan mata jeli ku. Ku ambil kesempatan ini, lalu dengan senang hati akan ku bantu untuk kemajuan hubungan mu dan Jojo.

Tersadar dengan keberadaan Jojo yang mungkin saja benar-benar membaca pikiranku, walau sampai sekarang aku masih ragu karena itu tidak rasional, aku meliriknya dengan ekor mataku. Dia selalu acuh tak acuh seperti biasa, menjadi penonton setia seperti ketika ibu dan adiknya membuliku. Wajah tampan itu mengatupkan bibir rapat. Seolah hidup di dunia lain yang hanya ada dia saja. Dasar tidak peka.

"Setidaknya kamu yang di depanku sekarang lebih mirip kelinci kecil yang imut dan..." Dia menjeda, matanya menyipit tapi bibirnya masih tersenyum.

"Dan?" Aku ulangi kata terakhirnya, tak sadar alisku terangkat.

"Membutuhkan perlindungan orang lain" katanya. Senyum di bibirnya yang terlihat tulus mungkin bisa mengelabui orang lain, tentu tidak denganku. Dan aku mengartikan kalimatnya sebagai kamu tidak akan bisa tanpa dukungan Jojo. Arah pandangnya segera berganti dari wajahku ke wajah Jojo.

Mana mungkin Jojo begitu, dia tidak pernah peduli padaku sekalipun aku menumbangkan Monas.

Sayangnya aku tak selemah penilaian mu, sesembak cantik. Kalau aku lemah aku tidak akan bertahan bertahun-tahun di industri ini. Bahkan sekalipun itu kamu, belum tentu kamu bisa.

"Benarkah mbak, sayang Jojo tidak suka kelinci kecil imut yang suka bermain-main sepertiku, tidak sepertimu yang anggun dan berkelas" aku bertindak seperti gadis naif yang polos yang penuh keluhan atas diriku sendiri, dan umpanku segera wanita itu tangkap.

"Benarkah Jonathan sesungguhnya suka tipe yang seperti itu" tanyanya menggunakan nada main-main dengan tatapan genit yang dibuat-buat untuk Jojo. Padahal aku tahu dia sedang memastikan isi pikirannya apakah masih ada celah untuknya di hati Jojo. Hei, lady...kita sama-sama wanita, ketertarikan macam itu gampang sekali disadari satu sama lain.

Pipi wanita itu sedikit memerah, wajahnya cerah seketika. Pancaran dimatanya yang sempat meredup kini berbinar kembali. Siapapun tidak bodoh untuk mengetahui kalau Iren memang menyukai Jonathan.

Ketika seorang pelayan datang, Jojo memegang bahuku, posisiku yang duduk bersebelahan dengannya memudahkan kontak fisik kami.

"Cuwa, makan apa?" 

Aku menoleh padanya, menggeleng. "Aku kenyang. Jus saja" aku sudah makan di RS tadi, Jojo yang belum.

Kalau ku pikir-pikir dia dia memang selalu menepi ketika aku terlibat permainan adu sindir dengan banyak wanita di sisinya. Seolah hanya menungguku menyelesaikan sendiri sementara dia menepi untuk memantau situasi. Hell, dia sungguh tipe pasif yang minta banget dicakar manja.

"Mushroom burger 1,  Ekspreso 1, Iren apa?" Jonathan hanya melirik Iren sekilas saat mengatakannya, hanya sekilas. Tidak ada ketertarikan seperti pada Renita. Ah kalau begini, ide menjodohkan mereka tidak akan berhasil. Atau bagaimana kalau foto-foto Jojo dengan beberapa cewek itu ku sodorkan pada papa nanti sepulang umroh. Atau sekalian saja menjodohkan Jojo dengan Renita, mengompori Renita agar mengganti status adik kakaknya menjadi romance couple.

"Susu coklat panas "

By the way, "Siapa yang mau minum susu Jo?"

"Kamu, agar tidak morning sickness lagi" ujarnya singkat dengan senyum irit andalannya. Aku cemberut, kalau dia yang menentukan untuk apa menawari, terserah deh.

Apa? Morning sickness?

Ketika aku menyadari tatapan Iren pada kami, aku tersenyum tak enak padanya. Ku injak kaki Jojo di bawah meja, ku hadiahi pula pelototan padanya. Kalau begini, gagal usahaku mempromosikan Jojo dengannya.

"Kamu hamil ya?" Itu suara Iren, aku tidak yakin apa Jonathan juga mendengar nada tidak bahagia dari bibir wanita itu.

Iren kamu iri kan punya suami perhatian kaya dia, pasang kuda-kudamu, lalu kerahkan usahamu untuk mendapatkan dia. Jangan mudah menyerah karena apa yang terlihat belum tentu sama seperti kenyataannya.

"Jangan hiraukan dia mbak, dia memang begitu, tapi dia baik koq. Sukanya diam-diam perhatian, nggak nyesel punya suami kayak dia, beneran" kalau dia cermat seharusnya dia bisa membedakan mana pujian romantis antar suami istri atau justru malah promosi suami. Kurang baik apa coba diriku ini. Dimana-mana istri itu melindungi suami dari pelakor, lah ini malah menawarkan. Aku terkekeh dalam hati.

Jojo menggeleng kecil dengan tatapan bosan padaku, "Ayo mbak, silahkan pesen aja. Jo aku nambah salad buah dong"

"Cuwa, nggak ada sayur dan buah sementara ini. Ingat kata dokter" aku mendengus, duh si Jojo sok perhatian banget. Makin gagal mendekatkan mereka.

"Kalau begitu, lava cake matcha dan es krim ya Jo, boleh kan, aku pengen..." aku mengerling memohon. Tanganku mengguncang lengannya bersemangat. Coklat, eskrim dan wanita adalah kombinasi tak terpisahkan. Ayo lupakan sikap Jojo yang membingungkan.

"Diet mu?" Sahutnya, dengan sudut yang sedikit bertambah di sudut pipinya.

Aku melongo, Jojo menggodaku dengan senyum miring itu kan? Mengerjapkan mataku beberapa kali, tapi otak menolak percaya pada penglihatan.

Lalu sebelum aku menjawab...

"Tidak usah diet lagi, wanita yang morning sickness dilarang diet" lanjutnya ringan. Brengsek ini, kenapa terkesan tengah menghadang langkahku mengimbanginya dengan Iren.

Namun yang membuat paru-paruku berat adalah matanya yang hinggap lama di wajahku. Sampai ketika aku menghindari dengan membuang pandanganku pada wajah Iren yang mau tak mau mengamati kami, Jojo masih betah memandang ku.

Aku ingin memutar bola mata jengah, kenapa? baru sadar ya bang, kalau istrimu ini memiliki pesona hakiki yang mengalihkan dunia. Sumpah aku ingin berdecih. Tapi bisaku cuma mengumpat, bajingan ini!

"Hey bro!" Sapaan seorang pria dari arah belakangku membuat Jojo menoleh. Tapi koq aku kenal suaranya sih. Hingga Jojo menyebut sebuah nama.

"Surya"

Aku mengeluh pada semesta, kenapa mempertemukan kami di situasi begini. Duh gila ya, tidak mungkin aku bisa menghindar lagi.

Dia itu mantan terakhirku. Bohong kalau selama bertunangan dengan Jojo aku tidak menjalin hubungan dengan yang lain. Meskipun tidak ada yang serius karena ku katakan dengan jujur aku hanya mencari hiburan dan telah bertunangan. Termasuk dengan Surya ini. Setelah menikah aku terus mengindari berinteraksi dengan Surya maupun mantan-mantan lain, apalagi kalau sedang bersama Jojo.

"Hallo cantik, lama sekali aku tak melihatmu secara langsung." Surya membungkuk membuang jarak diantara kami dengan cipika cipiki. Hanya tempel pipi seperti pada beberapa temanku yang lain, ku rasa itu biasa, tapi tatapan mata Jojo yang  setajam lidah tetangga itu membuatku sedikit takut. Seolah aku baru saja kepergok selingkuh.

"Hai Iren" tuh kan, Surya juga cipika-cipiki sama Iren. Kenapa kamu biasa aja. Eh, mereka saling kenal. Dunia memang hanya selebar daun janda bolong yang lagi viral itu.

"Boleh aku gabung disini" katanya menarik kursi di samping Iren yang tepat menghadap ku. Sumpah aku nggak nyaman, jadi aku membawa diriku sedikit mendekat pada Jojo. Bukannya aku memiliki kenangan buruk bersama Surya, justru sebaliknya. Hatiku sedikit kebat-kebit di depannya, dia itu mirip seperti karakter Koko Jefry di novel W*****d karya emak ithanajla. Pria paling gentle, bisa memanjakan wanita dengan perhatian sekaligus uang, oh jangan lupakan tutur katanya yang manis dan tatapan penuh cinta, sebelas dua belas sama Surya.

Sayang banget kan, meski dibanding uangnya papa Jojo, Surya masih kalah telak. Tapi disini kan yang menikahi ku si pelit Jojo bukan papa yang baik hati. Ah, kalah banyak aku deh, setelah dapat si baik hati Surya, malah dapat si jelek Jonathan.

Aku hampir tersedak ludahku sendiri, ketika lagi-lagi Jojo menggenggam tanganku di bawah meja.

"Cuwa"

Panggilan Surya menarik perhatianku. Tatapan yang dipancarkan Surya selalu hidup kala berbicara dengan sesuatu yang menarik perhatiannya.

"Ya"

"Apa film-mu selanjutnya? Wah sudah tidak sabar melihatmu di layar bioskop lagi" aku tersenyum tulus penuh terimakasih mengabaikan genggaman tangan Jojo yang bikin gerah.

"Serial 5 episode detektif R di HBO Asia, tayang awal bulan depan Sur, Farah Sunny juga terlibat, dia sepepupu mu kan"

"Oh ya?" Katanya antusias yang ku jawab dengan anggukan.

"Apa peranmu kali ini?" Beginilah rasanya ketika ada seseorang yang membicarakan pekerjaanmu, senang dan merasa diperhatikan.

"Seorang yang tidak pernah beruntung sehingga selalu dipandang sebagai antagonis" mirip sekali denganku karakter ini.

Tangan Jojo meremas tanganku, apa-apaan dia, aku melirik wajah datarnya. Ketika aku menoleh padanya dia sedang bersandar santai dengan mimik biasa tak terganggu, dia juga tidak repot menatap ku. Jantungku tidak bisa tidak berdetak tak karuan, jadi ku coba menarik tanganku agar terlepas darinya, walau gagal. Ada apa sih dengan pria satu ini.

Aku sampai melewatkan surya yang tengah menggeleng takjub, "kamu selalu tak terduga, Cuwa. Ini action kan?" aku mengangguk sekali lagi. Mencuri pandang pada Iren yang hanya menatap kami bergantian. Entah apa yang dipikirkan Iren.

"Lalu, apakah kamu sudah siap dengan cita-citamu yang lain, Cuwa?" Aku terharu ternyata Surya masih mengingat tentang cita-cita rahasia ku. Meski tepatnya Surya tak tahu apa itu.

Aku tersenyum menerawang,  "Belum"

Kemudian aku tak bisa menjaga mimik wajahku yang ternganga tak percaya, ketika Jojo masuk ke dalam obrolanku dan Surya,

"Aku siap mewujudkan apapun mimpimu, kenapa mesti ragu, Wa"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status