“Apa kabar, Kakak?”
Dari suara tamu yang datang, sepertinya Mahen mengenal siapa orang tersebut.
Ketika Mahen menengok ke belakang, seketika matanya pun membola.
Tidak salah lagi. Orang tersebut tak lain adalah Dara.
Kenapa dia bisa ada di sini?
***
Mahen dan Dara duduk berhadap-hadapan. Meja kayu oak menjadi penengah antara keduanya.
Mahen menatap lurus-lurus ke arah Dara yang saat ini sedang mengamati ke sekitar. Matanya meneliti satu per satu benda apa saja yang berada di sini sembari berkata, “Kadang aku berpikir kalau Kakak punya kelainan OCD. Soalnya dari dulu Kakak selalu rapi.”
“Berhenti manggil aku Kakak! Aku anak tunggal dan aku nggak pernah punya adik kayak kamu,” jawab Mahen ketus.
“Ternyata Kakak masih dingin, ya, sama aku.”
Meskipun begitu, sebenarnya ada banyak hal yang ingin Mahen tanyakan kepada Dara.
“Langsung aja ke intinya. Kenapa kamu ke sini?”
Dara tersenyum. Tidak s
“Kenapa kita nggak kerja sama aja? Dengan begitu aku bisa sama Ais dan Kakak bisa sama Sheril setelah mereka cerai.” Dara mengulurkan tangannya, memberikan tawaran kepada Mahen. Mahen diayun bimbang. Tangan putih kurus yang mengambang di udara itu mengundang untuk dijabat sebagai tanda setuju atas kerja sama mereka. Mahen menarik napas dalam-dalam. Memantapkan jawaban. “Apa kamu tahu….” Dara terkesiap saat Mahen tiba-tiba memajukan tubuhnya ke depan, mengikis jarak antara dia dan dirinya. “Ka-Kakak!” Dara mulai panik. Tangannya yang semula terulur kini berganti menekan bahu Mahen supaya Mahen tidak maju terus. Dara ingin mundur lagi tapi tidak bisa, punggungnya sudah menempel erat pada tembok yang berada di belakangnya. Kenapa Mahen tiba-tiba bersikap seperti ini? Tidak mungkin, kan, Mahen hendak
Ada satu nasihat dari Umi yang tiba-tiba terbesit kembali di benak Ais. Dulu, kalau tidak salah ingat, Uminya pernah mengatakan hal seperti ini kepadanya.... “Nak, besok ketika kamu sudah berumah tangga. Hormatilah wanita yang kelak menjadi pendamping hidupmu itu. Sayangilah dia sebagaimana Umi meyayangimu. Jangan pernah sekalipun kau buat dia menangis.” Anha mengusap rambut anak sulungnya yang sedang tiduran di pangkuannya. “Tugas anak laki-laki ketika sudah dewasa adalah harus bisa melindungi istrimu, mengayominya, dan jangan sampai membuat dia bersedih.” “Kayak Abati, ya, Umi?” Kini gantian si bungsu, Aim, yang sedang membaca buku komik menimpali. “Iya, dong. Kayak Abati.” “Ah, terus ada satu lagi. Yang ini adalah poin paling penting.” “Apa itu Umi?” tanya keduanya penasaran. Mata mereka berbi
Sheril masih terduduk di lantai sambil menangis sesenggukan. Diletakkannya tangannya sendiri di dada karena jantungnya terasa sakit sekali. Sheril tahu dia salah. Dia tahu kalau tadi tindakannya sangat keterlaluan. Padahal Mas Ais sampai tidak tidur untuk mengerjakan laporannya, tadi dengan bodohnya dia malahan menumpahkan kopi ke atas laptop Mas Ais. Tapi meskipun begitu, Mas Ais tidak perlu membentaknya juga, bukan? Wajah Sheril basah akan air mata, napasnya pun juga masih tersengal sesenggukan. Pelan-pelan Sheril berusaha berdiri dari posisi duduknya di lantai. Dia tahu menangis tidak akan menyelesaikan masalah. Sekarang yang ada di benaknya tak lain adalah setidaknya dia harus melakukan sesuatu untuk memperbaiki kesalahannya.
Ais mengunyah makannya dengan gerakan pelan. Dia tahu sepertinya Sheril sedang menerapkan tindakan silent treatment kepadanya karena sejak kejadian Sheril memergokinya sedang berpelukan dengan Dara di kantornya. Sikap Sheril jadi berubah 180°. Sheril tidak mau berbiacara sepatah kata pun kepadanya. Ketika dia pulang, Sheril yang biasanya bergelayut manja di lengannya kini hanya berdiam diri di dalam kamar, tidak menyambutnya sama sekali. Tidak hanya itu, Sheril juga selalu mengabaikannya dengan cara entah itu menyibukan diri membaca buku atau kalau tidak menonton drama korea. Pun juga, ketika Ais bertanya kepadanya tentang suatu hal, Sheril tidak mau menjawab pertanyaannya. Awalnya Ais merasa biasa saja dengan sikap Sheril tersebut. Pikirnya, bisa jadi Sheril saat ini sedang tidak mood berbicara k
“Dasar cengeng,” ejek Ais sambil mengusap pipi Sheril yang basah akan air mata. Kini mereka sudah berpindah tempat, duduk berduaan di sofa ruang keluarga.
“Jangan Aim,” ucap Sheril lirih. Sheril menutup mulut Aim yang hendak menciumnya menggunakan telapak tangan. Bagaimana bisa dia mencium lelaki lain selain suaminya? Mata Aim membola, dia tidak percaya jika Sheril akhirnya dapat mengenalinya. Kemudian Aim mundur satu langkah. Mengurungkan niat tidak baiknya tersebut. “Yah, ketahuan, ya?” ucap Aim sambil terkekeh, tetapi tidak dengan hatinya. “Padahal tadi aku hampir nyium cewek cantik,” tambahnya lagi. Aim memang tidak ikut ke acara dinas keluar kota karena acara tersebut hanya dihadiri para wakil yang ditunjuk langsung oleh perusahaan penyelenggara. Jadi, memang dari tadi pagi Aim mengamati rumah Sheril dari kejauhan agar Aim tahu kakaknya mengenakan baju apa sebelum berangkat kerja. Setelah keberangkatan kakaknya. Aim menjalankan mobilnya kembali ke rumah untuk mengganti pakaiannya dengan pakaian yang sama persis seperti yang t
Ais dan Sheril berangkat bersama ke acara pesta perjamuan makan malam dengan mengenakan pakaian yang senada. Ketika berada di dalam mobil menuju tempat tersebut, pasangan itu masih saja diam seribu bahasa. Hanya suara radio yang terdengar menengahi kesunyian. Sheril masih marah dengan Ais, dia tidak mau mengajak Ais berbicara duluan. Sedangkan Ais sendiri bingung hendak berbicara apa. Untuk menghilangkan rasa bosan, Sheril lebih memilih memalingkan wajahnya ke samping, menatap ke arah luar kaca jendela. Pemandangan di luar biasa saja. Hanya terlihat kendaraan umum yang saling berlomba-lomba untuk menuju ke rumah masing-masing secepat mungkin. Sheril mengembuskan napas panjang. Padahal beberapa hari ini dia be
“Maaf, saya ingin berdansa dengan istri saya.” Orang-orang yang berada di lantai dansa juga ikut terkejut melihat aksi Ais barusan. Sean yang mengamati dari kejauhan hanya bersedekap dada dan tersenyum bangga. Ternyata tadi penilaiannya salah. Awalnya Sean kira rumah tangga Sheril tidak baik-baik saja lantaran tadi Ais terlihat dekat dengan wanita lain. Sean khawatir putrinya akan cemburu. Untung saja itu hanya prasangkanya—padahal Sean tidak tahu kalau kenyataannya rumah tangga putrinya memang kenapa-napa. “Kamu kenapa ke sini?” tanya Sheril. Kini dia melanjutkan dansanya namun bukan dengan Thomas lagi, melainkan dengan Ais. “Disuruh Papa, ya?” tambah Sheril. “Nggak.” Tangan Ais memegang tangan kanan Sheril sedangkan tangan kirinya melingkar pada pinggang ramping Sheril. “Aku pengin dansa sama kamu.” Tumben sekali. Ais memang sengaja memelankan gerakan dansanya mengingat kaki Sheril sedang lecet. Dari jara