Ada satu nasihat dari Umi yang tiba-tiba terbesit kembali di benak Ais.
Dulu, kalau tidak salah ingat, Uminya pernah mengatakan hal seperti ini kepadanya....
“Nak, besok ketika kamu sudah berumah tangga. Hormatilah wanita yang kelak menjadi pendamping hidupmu itu. Sayangilah dia sebagaimana Umi meyayangimu. Jangan pernah sekalipun kau buat dia menangis.”
Anha mengusap rambut anak sulungnya yang sedang tiduran di pangkuannya.
“Tugas anak laki-laki ketika sudah dewasa adalah harus bisa melindungi istrimu, mengayominya, dan jangan sampai membuat dia bersedih.”
“Kayak Abati, ya, Umi?” Kini gantian si bungsu, Aim, yang sedang membaca buku komik menimpali.
“Iya, dong. Kayak Abati.”
“Ah, terus ada satu lagi. Yang ini adalah poin paling penting.”
“Apa itu Umi?” tanya keduanya penasaran. Mata mereka berbi
Sheril masih terduduk di lantai sambil menangis sesenggukan. Diletakkannya tangannya sendiri di dada karena jantungnya terasa sakit sekali. Sheril tahu dia salah. Dia tahu kalau tadi tindakannya sangat keterlaluan. Padahal Mas Ais sampai tidak tidur untuk mengerjakan laporannya, tadi dengan bodohnya dia malahan menumpahkan kopi ke atas laptop Mas Ais. Tapi meskipun begitu, Mas Ais tidak perlu membentaknya juga, bukan? Wajah Sheril basah akan air mata, napasnya pun juga masih tersengal sesenggukan. Pelan-pelan Sheril berusaha berdiri dari posisi duduknya di lantai. Dia tahu menangis tidak akan menyelesaikan masalah. Sekarang yang ada di benaknya tak lain adalah setidaknya dia harus melakukan sesuatu untuk memperbaiki kesalahannya.
Ais mengunyah makannya dengan gerakan pelan. Dia tahu sepertinya Sheril sedang menerapkan tindakan silent treatment kepadanya karena sejak kejadian Sheril memergokinya sedang berpelukan dengan Dara di kantornya. Sikap Sheril jadi berubah 180°. Sheril tidak mau berbiacara sepatah kata pun kepadanya. Ketika dia pulang, Sheril yang biasanya bergelayut manja di lengannya kini hanya berdiam diri di dalam kamar, tidak menyambutnya sama sekali. Tidak hanya itu, Sheril juga selalu mengabaikannya dengan cara entah itu menyibukan diri membaca buku atau kalau tidak menonton drama korea. Pun juga, ketika Ais bertanya kepadanya tentang suatu hal, Sheril tidak mau menjawab pertanyaannya. Awalnya Ais merasa biasa saja dengan sikap Sheril tersebut. Pikirnya, bisa jadi Sheril saat ini sedang tidak mood berbicara k
“Dasar cengeng,” ejek Ais sambil mengusap pipi Sheril yang basah akan air mata. Kini mereka sudah berpindah tempat, duduk berduaan di sofa ruang keluarga.
“Jangan Aim,” ucap Sheril lirih. Sheril menutup mulut Aim yang hendak menciumnya menggunakan telapak tangan. Bagaimana bisa dia mencium lelaki lain selain suaminya? Mata Aim membola, dia tidak percaya jika Sheril akhirnya dapat mengenalinya. Kemudian Aim mundur satu langkah. Mengurungkan niat tidak baiknya tersebut. “Yah, ketahuan, ya?” ucap Aim sambil terkekeh, tetapi tidak dengan hatinya. “Padahal tadi aku hampir nyium cewek cantik,” tambahnya lagi. Aim memang tidak ikut ke acara dinas keluar kota karena acara tersebut hanya dihadiri para wakil yang ditunjuk langsung oleh perusahaan penyelenggara. Jadi, memang dari tadi pagi Aim mengamati rumah Sheril dari kejauhan agar Aim tahu kakaknya mengenakan baju apa sebelum berangkat kerja. Setelah keberangkatan kakaknya. Aim menjalankan mobilnya kembali ke rumah untuk mengganti pakaiannya dengan pakaian yang sama persis seperti yang t
Ais dan Sheril berangkat bersama ke acara pesta perjamuan makan malam dengan mengenakan pakaian yang senada. Ketika berada di dalam mobil menuju tempat tersebut, pasangan itu masih saja diam seribu bahasa. Hanya suara radio yang terdengar menengahi kesunyian. Sheril masih marah dengan Ais, dia tidak mau mengajak Ais berbicara duluan. Sedangkan Ais sendiri bingung hendak berbicara apa. Untuk menghilangkan rasa bosan, Sheril lebih memilih memalingkan wajahnya ke samping, menatap ke arah luar kaca jendela. Pemandangan di luar biasa saja. Hanya terlihat kendaraan umum yang saling berlomba-lomba untuk menuju ke rumah masing-masing secepat mungkin. Sheril mengembuskan napas panjang. Padahal beberapa hari ini dia be
“Maaf, saya ingin berdansa dengan istri saya.” Orang-orang yang berada di lantai dansa juga ikut terkejut melihat aksi Ais barusan. Sean yang mengamati dari kejauhan hanya bersedekap dada dan tersenyum bangga. Ternyata tadi penilaiannya salah. Awalnya Sean kira rumah tangga Sheril tidak baik-baik saja lantaran tadi Ais terlihat dekat dengan wanita lain. Sean khawatir putrinya akan cemburu. Untung saja itu hanya prasangkanya—padahal Sean tidak tahu kalau kenyataannya rumah tangga putrinya memang kenapa-napa. “Kamu kenapa ke sini?” tanya Sheril. Kini dia melanjutkan dansanya namun bukan dengan Thomas lagi, melainkan dengan Ais. “Disuruh Papa, ya?” tambah Sheril. “Nggak.” Tangan Ais memegang tangan kanan Sheril sedangkan tangan kirinya melingkar pada pinggang ramping Sheril. “Aku pengin dansa sama kamu.” Tumben sekali. Ais memang sengaja memelankan gerakan dansanya mengingat kaki Sheril sedang lecet. Dari jara
Ais baru saja selesai mandi. Saat dia hendak mengambil pakaiannya, ia mengernyit ketika melihat Sheril yang sedang memoleskan lipstick berwarna merah pada bibirnya. Sheril sedang berdandan di depan kaca meja riasnya. Tak hanya itu saja, Sheril juga sudah terlihat mengenakan setelan baju kerja rapi membuat Ais bertanya-tanya dalam hati, mau ke mana Sheril sepagi ini? “Kamu mau ke mana?” tanyanya penasaran. “Aku mau berangkat kerja,” jawab Sheril membuat Ais semakin mengernyitkan dahi. “Kerja?” ulang Ais. Siapa tahu dia salah dengar. Memang, sih, waktu itu Sheril mengatakan ke padanya kalau dia ingin bekerja. Hanya saja Ais pikir waktu itu Sheril asal bicara karena marah ke padanya. Ternyata ucapannya waktu itu seriusan, ya? “Kan, aku udah ngelarang kamu ker
Ais bergerak lagi, kali ini dia bisa meloloskan diri dari Dara. “Kamu mau ke mana lagi, sih?” protes Dara. “Aku mau ke toilet sebentar.” “Bohong! Pasti kamu mau pergi, kan?!” “Enggak, aku beneran mau ke kamar mandi.” Meski ragu, akhirnya Dara mau melepaskan Ais. Ais berjalan gontai ke arah kamar mandi. Tentu itu semua hanyalah alsannya saja agar dia bisa leluasa mengirim pesan kepada Sheril. Sheril: Mas kamu di mana, sih, Mas? Aku udah selesai kerja tahu! Sheril: katanya kamu mau jemput aku! Ais menelan ludah. Dia memang sudah berjanji kepada Sheril akan menjemputnya. Namun bagaimana dengan Dara? Dara tidak mengizinkannya pergi sama sekali. Jari Ais bergerak membalas pesan Sheril: Ais: Oke setengah jam lagi aku sampai di sana. Ais pun berinisiatif menelepon adiknya, siapa tahu Aim sedang ada waktu luang dan dapat menggantikannya menjemput