Ais dan Sheril berangkat bersama ke acara pesta perjamuan makan malam dengan mengenakan pakaian yang senada.
Ketika berada di dalam mobil menuju tempat tersebut, pasangan itu masih saja diam seribu bahasa. Hanya suara radio yang terdengar menengahi kesunyian.
Sheril masih marah dengan Ais, dia tidak mau mengajak Ais berbicara duluan. Sedangkan Ais sendiri bingung hendak berbicara apa.
Untuk menghilangkan rasa bosan, Sheril lebih memilih memalingkan wajahnya ke samping, menatap ke arah luar kaca jendela.
Pemandangan di luar biasa saja. Hanya terlihat kendaraan umum yang saling berlomba-lomba untuk menuju ke rumah masing-masing secepat mungkin.
Sheril mengembuskan napas panjang. Padahal beberapa hari ini dia be
“Maaf, saya ingin berdansa dengan istri saya.” Orang-orang yang berada di lantai dansa juga ikut terkejut melihat aksi Ais barusan. Sean yang mengamati dari kejauhan hanya bersedekap dada dan tersenyum bangga. Ternyata tadi penilaiannya salah. Awalnya Sean kira rumah tangga Sheril tidak baik-baik saja lantaran tadi Ais terlihat dekat dengan wanita lain. Sean khawatir putrinya akan cemburu. Untung saja itu hanya prasangkanya—padahal Sean tidak tahu kalau kenyataannya rumah tangga putrinya memang kenapa-napa. “Kamu kenapa ke sini?” tanya Sheril. Kini dia melanjutkan dansanya namun bukan dengan Thomas lagi, melainkan dengan Ais. “Disuruh Papa, ya?” tambah Sheril. “Nggak.” Tangan Ais memegang tangan kanan Sheril sedangkan tangan kirinya melingkar pada pinggang ramping Sheril. “Aku pengin dansa sama kamu.” Tumben sekali. Ais memang sengaja memelankan gerakan dansanya mengingat kaki Sheril sedang lecet. Dari jara
Ais baru saja selesai mandi. Saat dia hendak mengambil pakaiannya, ia mengernyit ketika melihat Sheril yang sedang memoleskan lipstick berwarna merah pada bibirnya. Sheril sedang berdandan di depan kaca meja riasnya. Tak hanya itu saja, Sheril juga sudah terlihat mengenakan setelan baju kerja rapi membuat Ais bertanya-tanya dalam hati, mau ke mana Sheril sepagi ini? “Kamu mau ke mana?” tanyanya penasaran. “Aku mau berangkat kerja,” jawab Sheril membuat Ais semakin mengernyitkan dahi. “Kerja?” ulang Ais. Siapa tahu dia salah dengar. Memang, sih, waktu itu Sheril mengatakan ke padanya kalau dia ingin bekerja. Hanya saja Ais pikir waktu itu Sheril asal bicara karena marah ke padanya. Ternyata ucapannya waktu itu seriusan, ya? “Kan, aku udah ngelarang kamu ker
Ais bergerak lagi, kali ini dia bisa meloloskan diri dari Dara. “Kamu mau ke mana lagi, sih?” protes Dara. “Aku mau ke toilet sebentar.” “Bohong! Pasti kamu mau pergi, kan?!” “Enggak, aku beneran mau ke kamar mandi.” Meski ragu, akhirnya Dara mau melepaskan Ais. Ais berjalan gontai ke arah kamar mandi. Tentu itu semua hanyalah alsannya saja agar dia bisa leluasa mengirim pesan kepada Sheril. Sheril: Mas kamu di mana, sih, Mas? Aku udah selesai kerja tahu! Sheril: katanya kamu mau jemput aku! Ais menelan ludah. Dia memang sudah berjanji kepada Sheril akan menjemputnya. Namun bagaimana dengan Dara? Dara tidak mengizinkannya pergi sama sekali. Jari Ais bergerak membalas pesan Sheril: Ais: Oke setengah jam lagi aku sampai di sana. Ais pun berinisiatif menelepon adiknya, siapa tahu Aim sedang ada waktu luang dan dapat menggantikannya menjemput
Sheril POV Mungkin aku harus bersyukur karena pada akhirnya kita tidak dipersatukan oleh Tuhan. Aku tidak dapat membayangkan bagaimana caraku menghabiskan sisa hidupku denganmu. Dulu, ketika seseorang bertanya kepadaku mana yang lebih baik antara mencintai seseorang yang tidak cinta kepada kita dengan dicintai oleh seseorang yang tidak kita cintai, maka dengan sombongnya aku menjawab lebih baik aku mencintai seseorang yang tidak mencintaiku. Kenapa begitu? Karena meskipun dia tidak mencintaiku, tapi setidaknya aku dapat memilikinya. Setidaknya apa yang aku inginkan terwujud. Namun aku keliru, ternyata menjalin hubungan dengan orang yang tidak mencitai kita rasanya sakit sekali. Cinta sepihak memang melelahkan. Bayangkanlah kau dan dia pada suatu waktu duduk bersama. Kau mungkin akan bercerita panjang lebar tentang dirimu kepadanya dan dengan khitmat ia mendengark
Ais yang baru saja datang tiba-tiba mencengkeram erat lengan Sheril sembari berkata.... “Apa kamu udah gila! Inilah alasanku nggak ngebolehin kamu bekerja! Andai saja kamu nggak keras kepala, pasti ini semua nggak bakal terjadi!” Wajah Sheril memucat mendengarnya. Kenapa Mas Ais malahan berbicara seperti itu kepadanya? Padahal saat ini mental Sheril sedang terguncang atas kejadian tadi. Dia hanya ingin dikhawatirkan. Setidaknya, tanyakanlah apakah keadaannya saat ini baik-baik saja tetapi Mas Ais malahan memarahinya. Sungguh, dibandingkan dengan rasa sakit pada bahunya yang saat ini sedang dicengkeram erat oleh Ais, hatinya jauh terasa lebih sakit lagi. “Gimana kalau tadi kamu beneran diperkosa, hah?! Apa kamu nggak mikir gimana marahnya Papa Sean kalau sampai dia tahu semua ini!” Sheril menundukkan kepala, air matanya jatuh ke bawah. Baru kali ini pikiran Sheril terbuka lebar kalau ternyata selama ini dia menikahi lelaki yang salah. L
“Kenapa kamu malam-malam datang ke sin—” Ucapan seseorang yang membukakan pintu untuk Sheril pun menggantung di udara tatkala melihat wajah Sheril yang biasanya ceria kini terlihat sembab, berlinang air mata. “KAMU KENAPA, SHERIL?!” tanyanya lagi. Kedua telapak tangannya menangkup wajah Sheril. Rasa paniknya semakin bertambah saat mengetahui ternyata kemeja Sheril bagian atas juga sobek. “Apa yang sebenernya terjadi, Sheril?!” Kenapa Sheril malah diam saja. Setidaknya, katakanlah sesuatu supaya dia tidak khawatir. Sheril tidak mampu menjawab pertanyaan orang tersebut, dia hanya mampu menangis sesenggukan. “Mahennn… hiks.” Itulah yang keluar dari mulut Sheril. Kemudian Sheril memeluk Mahen. Menumpahkan segala tangisnya di sana. Mahen merasa tidak enak apabila ada orang lain yang melihat mereka seperti ini di depan unit apartementnya. Maka dari itu Mahen segera menyuruh Sheril untuk masuk ke dalam. Kini mereka dud
“She-Sheril….” Ais kesusahan menelan ludah. Dia tidak menyangka kalau selama ini ternyata Sheril masih perawan. Ya Tuhan, apa yang telah ia lakukan? Gadis itu sekarang sedang menangis sesenggukan. Saking takutnya Sheril kepadanya, ia sampai menutup kedua matanya menggunakan lengannya sendiri. “Sheril… maafin aku Sheril,” ucap Ais terbata. Dia benar-benar menyesal telah memperlakukan Sheril seperti itu. Apa bedanya dirinya sekarang ini dengan teman kerja Sheril yang waktu itu hendak memperkosanya? Astaga. Cemburu buta yang menguasainya membuat akal pikiran Ais tumpul. Bukan hanya merasa sakit di sekujur tubuhnya. Pasti kini Sheril juga sangat takut kepadanya, atau bahkan kemungkinan yang lebih buruknya lagi adalah Sheril akan merasa trauma atas perlakuannya tadi. “Sherl—” suara Ais tercekat di tenggorokan, tangis Sheril terdengar begitu menyayat hati. Ingin rasanya Ais memeluk wanita yang rapuh tersebut namun Sheril sepertinya t
Karena tidak memiliki tempat untuk dituju. Akhirnya Ais memutuskan untuk pergi ke kantornya. Padahal hari ini sampai tiga hari ke depan dia sudah mengambil cuti. Kalau kau bertanya kenapa Ais tidak pulang saja ke rumahnya sendiri adalah jika dia pulang ke rumah, yang ada malahan akan membuat kepalanya semakin bertambah pusing. Pasti nanti Uminya akan menanyainya berbagai macam pertanyaan seperti kenapa dia ke sini sendirian? Bagaimana kabar Sheril? Kenapa Sheril tidak diajak? Dan masih banyak lagi pertanyaan beruntut dari Uminya. Tak apalah pergi ke kantor dengan setelan casual, daripada pergi ke kelab malam di siang bolong seperti ini lebih baik dia pergi ke kantor saja. *** Sesampainya di kantor, Dara yang melihat kedatangan Ais hendak masuk ke dalam ruangannya pun langsung berdiri dari tempat duduknya. Ia berjalan menghampiri Ais dengan wajah sumringah. Apa jangan-jangan Ais datang kemari karena dia merindukannya? Tidak mungkin juga