"Apa kau masih ragu-ragu?" tanya Bram.
Mata Malvin melihat Bram lekat-lekat.
"Saya sudah membawa stempel racun yang anda minta." ucap Malvin ragu-ragu.
"Kau tidak apa-apa Malvin? sepertinya kau bimbang ingin memilih jalan yang mana."
Malvin mengangguk, ia mengusap keningnya.
"Setidaknya kau harus memakai kekuatan mu sendiri."
Malvin mengikuti langkah Bram, memasuki ruang laboratorium pribadi pria berusia 50an tersebut. Tidak ada yang menarik di laboratorium ini, yang ada hanya barang-barang yang akan diuji coba oleh Bram.
Hidup Bram sepenuhnya sudah terikat di Rumah Sakit ini, semenjak sepeninggal istri tercinta, Bram lebih sering di Rumah Sakit dibandingkan dengan keluarganya yang selalu menyudutkan dirinya untuk mencari pendamping hidup baru, ini tidak mudah, jika sudah mengenal cinta, maka ia akan bertahan sampai kapanpun.
"Ini racun bunga Belladona, di dalam Belladona terkandung racun tropane alkoids dan atropine yang dapat menyebabkan gangguan sistem saraf."
"Itu sebabnya ia tidak bisa melihat?"
Bram tersenyum "sepertinya kau sudah mulai menghawatirkan nya?" tanya Bram.
Malvin hanya bisa diam, pandangannya ia alihkan ke arah lain.
"Apakah ada kemungkinan, ia bisa melihat kembali?" tanya Malvin.
Bram tersenyum, dengan tangan yang masih sibuk membuat obat penawar.
"Tentu saja, namun Tuan Panduwinata tidak menyetujuinya." balas Bram.
Malvin terdiam, ia tidak perlu bertanya apa alasannya, karena ia sudah tau, ya, alasannya adalah dirinya. Tuan Bram sengaja membiarkan putrinya buta, sampai waktu dimana Malvin dan anak buahnya membunuhnya, Vinka tidak melihat itu semua.
"Malvin?"
Malvin tersentak kaget.
Bram tersenyum, ia pun memberikan sebuah botol pada Malvin, Malvin pun menerima botol tersebut. Ia melihat botol itu cukup lama.
"Jika dia bisa melihat, apakah? apakah, dia akan membenciku?" tanya Malvin.
"Tentu saja, dan hukum gantung diri sudah menunggu mu." ucap Bram.
Ucapan Bram tidak membuat Malvin takut, itu sudah menjadi resiko seorang Mafia.
"Terima kasih." Malvin melangkah pergi dari laboratorium tersebut.
~🥀~
Di kota ini begitu banyak kendaraan yang berlalu-lalang, Malvin tidak seperti seorang mafia yang ada di cerita novel kebanyakan, kaya dan berada, yang seharusnya setiap kemanapun memakai mobil mewah, ia sebenarnya memiliki mobil tersebut, namun Malvin lebih memilih berjalan kaki bergabung dengan masyarakat sekitar. Ya, ini lah Malvin, dia bisa saja memakai uangnya untuk kemewahan untuk dirinya dan anak buahnya, namun ia sadar uang itu bukan miliknya, tapi milik negara, karena setengah pelanggan nya itu datang dari kalangan penjabat, yang ingin lawan mereka dibunuh.
Ia berdiri menunggu lampu merah, sekumpulan anak remaja wanita memperhatikan dirinya, ia pun melihat mereka dan tersenyum.
"Apa ada sesuatu di wajahku?" tanyanya.
Remaja wanita itu tertawa malu "tidak Tuan, wajah anda sudah sempurna." ucap salah satu dari mereka.
"Berapa usia anda?" tanya yang lain.
"Sangat tua." balas Malvin, berharap lampu jalan segera menyala.
"Berapa?" tanya mereka serempak.
"30." ucap Malvin.
Waahh..... mereka terkagum-kagum, bahkan Malvin mendengar jika mereka tidak percaya dengan usia sebegitu, namun penampilannya sangat luar biasa.
"Apakah anda sudah memiliki seorang istri?"
"Kau ini bagaimana, pasti sudah."
"Belum, apa salah satu dari kalian mau jadi istri ku?" tanya Malvin menggoda, seluruh remaja wanita itu histeris.
Lampu jalan sudah menyala, mereka melambaikan tangan kepada Malvin dan berpisah. Di perjalanan matanya melihat keluarga kecil, seorang pria dengan menggendong anak laki-laki dan seorang wanita yang dengan manja berjalan sembari bersandar dengan si pria, Malvin hanya terdiam, ia melihat dirinya lewat kaca etalase toko.
"Apakah sudah saatnya aku mencari pasangan hidup?"
Malvin meneruskan perjalanannya ke Bar. Sesampai di pintu, ia melihat wanita paruh baya yang menjual bunga, selalu mangkal di depan Bar, menawarkan Malvin untuk membeli bunganya, dengan terpaksa Malvin membeli satu buket bunga mawar merah.
"Terima kasih Tuan, semoga wanita itu semakin menyukai mu." ucap wanita itu.
Malvin hanya tersenyum binggung, untuk apa ia membeli bunga ini?
~🥀~
Seluruh mata tertuju padanya, ia pun mendekati Ziah.
"Hai Tuan Mafioso," sapa Ziah.
"Bunga itu untukku?" tanya Ziah percaya diri.
Malvin memberikan satu tangkai mawar tersebut pada Ziah.
"Wah, Terima kasih." Ziah senang.
"Berikan itu untuk Rose, bilang padanya, aku minta maaf." Malvin pergi meninggalkan Ziah.
Seluruh pengunjung menertawakan Ziah, dengan wajah cemberut, ia melangkah mencari Rose rekan kerjanya.
Wanita bernama Rose itu menjahit baju seseorang.
"Selesai, baju anda sekarang sudah rapi." ucap Rose pada seorang pria.
"Terima kasih Rose, kau memang luar biasa, berbeda dengan wanita lain yang ada di sini." ucap pria itu memegang pipi Rose dengan lembut.
Rose hanya tersenyum.
Rose!!
Rose dan pria tersebut tersentak kaget.
"Ziah, tolong yang sopan!" ucap Rose.
"Maafkan saya Tuan." ucap Ziah membungkukkan badannya, pria itu tersenyum.
Ziah memberikan bunga mawar tersebut pada Rose, Rose hanya melihat dengan binggung.
"Ini dari Malvin, katanya dia minta maaf padamu." jelas Ziah.
Rose menerima bunga mawar tersebut, dengan perlahan senyuman manisnya pun terlukis. Tanpa disadari, sepasang mata melihat Rose dengan kagum, tentu saja pria yang bajunya dijahit oleh Rose.
~🥀~
"Selamat siang Tuan." sapa Kevin.
"Di mana Daniel dan Zico?" tanya Malvin mencari 2 anak buahnya itu.
"Mereka sudah di sana, menjaga kamar Nona Vinka."
Malvin meletakkan bunga mawar yang ia genggam di atas meja, ia memijat-pijat pergelangan tangannya, melihat itu Kevin tertawa tertahan.
"Anda tidak terbiasa sepertinya Tuan?" tanya Kevin.
"Dari apa?" tanya Malvin kembali.
Kevin menunjuk ke arah bunga tersebut.
"Ya, saya lebih suka memegang senjata daripada itu." balasnya, bersiap untuk berangkat ke rumah Tuan Panduwinata.
"Tuan bunganya." ucap Kevin, memberikan pada Malvin.
"Untuk apa?" tanya Malvin binggung.
"Bawa saja Tuan, mungkin Nona Vinka menyukainya." balas Kevin.
Dengan berat, ia pun menerima bunga tersebut dan melangkah pergi.
~🥀~
Zico melihat Sarah yang sibuk mengompres Vinka.
"Berapa umurmu?" tanya Sarah.
"17 tahun." jawab Zico.
"Wah, kamu yang termuda, ya?" tanya Sarah kembali.
Zico hanya mengangguk, tiba-tiba pintu kamar Vinka terbuka, ternyata itu adalah Malvin.
"Bagaimana keadaannya?" tanya Malvin.
"Semakin parah, sekarang demam tinggi." ucap Sarah.
"Ini obat penawarnya." Malvin memberikan botol kaca itu pada Sarah. Ia mulai mencampur air Kompres dengan obat tersebut, dengan memakai handuk, Sarah mengelap seluruh wajah Vinka yang pucat. Selesai itu, ia mulai menuangkan obat penawar tersebut pada sendok dan menyuapi pada Vinka dengan pelan-pelan, Malvin membantunya.
"Semoga saja berhasil." ucap Sarah.
"Semoga saja." balas Malvin.
Malvin melihat Daniel dan Zico "tugas kalian di sini sudah selesai, kembalilah bekerja." ucap Malvin.
Saat Daniel dan Zico melangkah pergi.
"Tunggu." panggil Sarah, membuat kedua pria itu menoleh kembali.
"Daniel boleh aku bicara dengan mu, sebentar?" tanya Sarah sedikit malu-malu.
Malvin mengerti aura ini, ia hanya bisa tersenyum.
"Daniel boleh aku bicara dengan mu, sebentar?" tanya Sarah sedikit malu-malu.Malvin mengerti aura ini, ia hanya bisa tersenyum.~🥀~"Aku tidak setuju jika kau bersama dengan Daniel," ucap Malvin pada Sarah, Sarah hanya diam melihat Malvin tidak percaya."Berikan aku alasannya?" tanya Sarah."Lupakan saja dia." lanjut Malvin, meninggalkan kamar Vinka, meninggalkan Sarah.Sarah terdiam, ia lanjut memandikan Vinka yang masih tertidur, sebenarnya ia sudah tau alasannya, namun ia tidak mau mencari masalah pada Malvin. Matanya mulai berkaca-kaca dan akhirnya tidak terbendung lagi, tepat mengenai lengan Vinka, dengan cepat, ia mengelap air matanya tersebut.~🥀~Sarah mendekati Malvin yang sedang menikmati rokoknya."Aku dan Daniel sebenarnya sudah saling mengenal lama." ucap Sarah, mendengar itu Malvin mematikan rokoknya dan menghela napas panjang."Tidak ada jod
"Bagaimana kalau besok kita berwisata?" tanya seorang wanita.Adellia dan Monica menoleh, dan tidak percaya dengan apa yang mereka lihat, wanita itu tersenyum.Melihat itu mereka semua tersentak kaget, tidak percaya dengan apa yang mereka lihat. Ada rasa kepanikan di dalam hati mereka, namun tidak menunjukkannya."Vinka? kau sudah sadar?" tanya Monica."Iya Tante, ini semua berkat Sarah yang selalu menjagaku, dan Malvin yang sudah mencarikan obat penawarnya."Monica tersenyum masam, mengetahui nama-nama yang tidak bisa di pihaknya, sepertinya ia mendapatkan ide busuk untuk menyingkirkan pewaris keluarga Panduwinata itu."Tentu, mau wisata ke mana kita?" tanya Monica.Vinka tersenyum "bagaimana kalau Tante yang memikirkan tempatnya." ucap Vinka, ia berjalan menaiki tangga dibantu Sarah.~🥀~Malvin yang baru saja mencuci mobilnya, berjalan menenteng ember yang berisi peralatan mencuci mobil, bi
Selesai melayani Vinka, Sarah membawanya ke meja makan."Selamat pagi Vinka." sapa Monica.Tiba-tiba bulu kuduk Sarah berdiri "ada apa dengan nenek lampir ini? tidak biasanya dia menyapa." bisik Sarah pada Vinka, Vinka hanya mencubit pinggang Sarah pelan "Maaf Nona." Ia pun menarik kursi untuk Vinka."Terima kasih Sarah." ucap Vinka."Selamat pagi Tante." sapa Vinka memberikan senyuman manisnya.Senyuman itu membuat Monica semakin membenci keponakannya ini."Sarah kau boleh sarapan,nanti kau pun ikut menemani Nona Vinka, bukan?" tanya Monica."Ya Sarah pergilah sarapan, kalian semua juga ya." ucap Vinka pada seluruh pelayan.Terima kasih Nona....ucap para pelayan kompak.Seluruh pelayan pun berjalan menuju dapur, begitu pun Sarah, namun langkah Sarah tidak begitu lancar, karena ia mengkhawatirkan Nona Vinka.~🥀~"Wah, tidak biasanya ya Nyonya Monic
BRAK!Mereka membanting pintu bersamaan. Memandang luas sebuah Villa yang tidak jauh besar dengan rumah milik keluarga Panduwinata."Astaga Vinka!!" teriak seseorang berlari mendekat memeluk Vinka.Monica kaget bukan main, ternyata Victoria adik kandung Tuan Panduwinata ada di Villa."Halo Monica, lama tidak bertemu, ya ampun ini si kembar itu ya? mereka tumbuh dengan cepat ya, bagaimana sekolah kalian?" tanya Victoria membuat kedua remaja itu mulai bosan."Kau sendiri di sini?" tanya Monica."Tidak, aku bersama dengan James tapi dia ada keperluan mendadak di kantor, huh...di sini dingin ayo kita masuk." ajak Victoria.Mereka pun mengikuti Victoria dari belakang."Sial."...~🥀~..."Dingin sekali di sini, seandainya Sarah ada di dekatku.""Jangan berpikir
"PEMBUNUH!!" "Malvin!" panggil Daniel memecah lamunan Malvin. "Kau tidak apa-apa?" tanya Daniel. Malvin memijat keningnya yang terasa pusing. "Aku tidak apa-apa, lebih baik kau dirikan tenda untuk istirahat." "Baiklah." Daniel membuka bagasi mobil, mengambil kantung besar dari bagasi tersebut. "Malvin bisa kau bantu aku?!!" teriak Daniel. Sepertinya Malvin tidak mempedulikannya, Daniel menghela napas dan meneruskan pekerjaannya menyusun tenda. Malvin mulai ingat kembali, saat dirinya menerima perjanjian pada Tuan Panduwinata. ...=========FLASHBACK=========... "Tuan ada tamu untuk anda." Tanpa menunggu persetujuan dari Tuannya, wanita itu mempersilakan masuk, seorang pria paruh baya masuk ke dalam kantor yang dipanggil T
Hhuuaamm!! Daniel menguap dengan mulut terbuka lebar. Malvin menoleh, melihat Daniel. "Maaf." "Untung saja tidak ada lalat yang masuk!" ucap Malvin tegas. AAAKKGGHH!!! Malvin dan Daniel menoleh ke sumber suara. "Vinka!" "Itu suara si wanita buta, kan?" tanya Daniel. Malvin mulai berlari menuju sumber suara. "Malvin tunggu aku!" teriak Daniel mengejar Malvin. Jalan bergelombang, banyak bebatuan membuat Daniel begitu sulit mengejar Malvin. "Astaga anak itu makan apa sih?" ucap Malvin mulai capek. Ia pun memutuskan untuk duduk beristirahat di sebuah batu besar. "Aku akan menyusul." ucapnya lemas. Namun sepertinya Malvin sudah hilang dari pandangannya. "Hah! masa bodo, gua capek!" ~🥀~
Huk! Huk! Malvin terbatuk-batuk, berusaha mengeluarkan sisa-sisa air sungai yang masuk ke dalam mulutnya. Dengan penuh kekuatan, di lihatnya Vinka yang masih tidak sadarkan diri dibawah tubuhnya, pria itu mencoba membopong tubuh Vinka yang kurus, ini tidak begitu sulit untuknya, karena wanita itu seringan kapas, apalagi Malvin sering diam-diam berolahraga. Dengan hati-hati, Malvin mencoba menekan bagian tengah dada yang sejajar dengan puting dengan telapak tangannya. Vinka mulai terbatuk-batuk, sadarkan diri. "Malvin?" pangilnya lemas. "Ya, Nona?" jawab Malvin memakai kembali suara khas remajanya, karena belum saatnya Vinka mengetahui siapa dirinya. Dengan hati-hati Malvin membantu Vinka untuk duduk. "Sudah lebih baik?" tanya Malvin. Vinka mengangguk, Malvin membantu Vinka untuk berdiri. "Ngh." rintih
Malam mulai datang, hujan semakin deras, seorang pria duduk di depan perapian sederhana yang terbuat dari batu bata, sebenarnya ini bukan perapian ini lebih mirip kompor tradisional yang terbuat tumpukan batu. "Bagaimana airnya?" tanya seorang wanita. "Sepertinya sudah." balas Malvin memberikan ruang untuk wanita itu mengambil air yang sedari tadi dimasak. Air masak itu untuk memandikan Vinka, mungkin demamnya belum membaik, bahkan Malvin bisa mendengar Vinka mengigau memanggil seseorang untuk tidak meninggalkan dirinya. "Terima kasih Nyonya, anda mau menampung kami yang asing ini." ucap Malvin. "Panggil saja aku bibi, Nyonya itu hanya untuk orang kalangan berada." balas bibi. "Sudah berapa lama kalian tinggal di sini?" tanya Malvin penasaran. "Setelah menikah kami memutuskan untuk tinggal di sini, tanah ini harus ditempati, kalau tidak mereka akan mengambil dan mengaku-ngaku ini milik mereka." "Siapa?" tanya Malvin. "Kamu tidak tau, itu loh, Tuan James dan saudaranya Hans, mer