Share

#9.

"Apa kau masih ragu-ragu?" tanya Bram.

Mata Malvin melihat Bram lekat-lekat.

"Saya sudah membawa stempel racun yang anda minta." ucap Malvin ragu-ragu.

"Kau tidak apa-apa Malvin? sepertinya kau bimbang ingin memilih jalan yang mana."

Malvin mengangguk, ia mengusap keningnya.

"Setidaknya kau harus memakai kekuatan mu sendiri."

Malvin mengikuti langkah Bram, memasuki ruang laboratorium pribadi pria berusia 50an tersebut. Tidak ada yang menarik di laboratorium ini, yang ada hanya barang-barang yang akan diuji coba oleh Bram.

Hidup Bram sepenuhnya sudah terikat di Rumah Sakit ini, semenjak sepeninggal istri tercinta, Bram lebih sering di Rumah Sakit dibandingkan dengan keluarganya yang selalu menyudutkan dirinya untuk mencari pendamping hidup baru, ini tidak mudah, jika sudah mengenal cinta, maka ia akan bertahan sampai kapanpun.

"Ini racun bunga Belladona, di dalam Belladona terkandung racun tropane alkoids dan atropine yang dapat menyebabkan gangguan sistem saraf."

"Itu sebabnya ia tidak bisa melihat?"

Bram tersenyum "sepertinya kau sudah mulai menghawatirkan nya?" tanya Bram.

Malvin hanya bisa diam, pandangannya ia alihkan ke arah lain.

"Apakah ada kemungkinan, ia bisa melihat kembali?" tanya Malvin.

Bram tersenyum, dengan tangan yang masih sibuk membuat obat penawar.

"Tentu saja, namun Tuan Panduwinata tidak menyetujuinya." balas Bram.

Malvin terdiam, ia tidak perlu bertanya apa alasannya, karena ia sudah tau, ya, alasannya adalah dirinya. Tuan Bram sengaja membiarkan putrinya buta, sampai waktu dimana Malvin dan anak buahnya membunuhnya, Vinka tidak melihat itu semua.

"Malvin?"

Malvin tersentak kaget.

Bram tersenyum, ia pun memberikan sebuah botol pada Malvin, Malvin pun menerima botol tersebut. Ia melihat botol itu cukup lama.

"Jika dia bisa melihat, apakah? apakah, dia akan membenciku?" tanya Malvin.

"Tentu saja, dan hukum gantung diri sudah menunggu mu." ucap Bram.

Ucapan Bram tidak membuat Malvin takut, itu sudah menjadi resiko seorang Mafia.

"Terima kasih." Malvin melangkah pergi dari laboratorium tersebut.

~🥀~

Di kota ini begitu banyak kendaraan yang berlalu-lalang, Malvin tidak seperti seorang mafia yang ada di cerita novel kebanyakan, kaya dan berada, yang seharusnya setiap kemanapun memakai mobil mewah, ia sebenarnya memiliki mobil tersebut, namun Malvin lebih memilih berjalan kaki bergabung dengan masyarakat sekitar. Ya, ini lah Malvin, dia bisa saja memakai uangnya untuk kemewahan untuk dirinya dan anak buahnya, namun ia sadar uang itu bukan miliknya, tapi milik negara, karena setengah pelanggan nya itu datang dari kalangan penjabat, yang ingin lawan mereka dibunuh.

Ia berdiri menunggu lampu merah, sekumpulan anak remaja wanita memperhatikan dirinya, ia pun melihat mereka dan tersenyum.

"Apa ada sesuatu di wajahku?" tanyanya.

Remaja wanita itu tertawa malu "tidak Tuan, wajah anda sudah sempurna." ucap salah satu dari mereka.

"Berapa usia anda?" tanya yang lain.

"Sangat tua." balas Malvin, berharap lampu jalan segera menyala.

"Berapa?" tanya mereka serempak.

"30." ucap Malvin.

Waahh..... mereka terkagum-kagum, bahkan Malvin mendengar jika mereka tidak percaya dengan usia sebegitu, namun penampilannya sangat luar biasa.

"Apakah anda sudah memiliki seorang istri?"

"Kau ini bagaimana, pasti sudah."

"Belum, apa salah satu dari kalian mau jadi istri ku?" tanya Malvin menggoda, seluruh remaja wanita itu histeris.

Lampu jalan sudah menyala, mereka melambaikan tangan kepada Malvin dan berpisah. Di perjalanan matanya melihat keluarga kecil, seorang pria dengan menggendong anak laki-laki dan seorang wanita yang dengan manja berjalan sembari bersandar dengan si pria, Malvin hanya terdiam, ia melihat dirinya lewat kaca etalase toko.

"Apakah sudah saatnya aku mencari pasangan hidup?"

Malvin meneruskan perjalanannya ke Bar. Sesampai di pintu, ia melihat wanita paruh baya yang menjual bunga, selalu mangkal di depan Bar, menawarkan Malvin untuk membeli bunganya, dengan terpaksa Malvin membeli satu buket bunga mawar merah.

"Terima kasih Tuan, semoga wanita itu semakin menyukai mu." ucap wanita itu.

Malvin hanya tersenyum binggung, untuk apa ia membeli bunga ini?

~🥀~

Seluruh mata tertuju padanya, ia pun mendekati Ziah.

"Hai Tuan Mafioso," sapa Ziah.

"Bunga itu untukku?" tanya Ziah percaya diri.

Malvin memberikan satu tangkai mawar tersebut pada Ziah.

"Wah, Terima kasih." Ziah senang.

"Berikan itu untuk Rose, bilang padanya, aku minta maaf." Malvin pergi meninggalkan Ziah.

Seluruh pengunjung menertawakan Ziah, dengan wajah cemberut, ia melangkah mencari Rose rekan kerjanya. 

Wanita bernama Rose itu menjahit baju seseorang.

"Selesai, baju anda sekarang sudah rapi." ucap Rose pada seorang pria.

"Terima kasih Rose, kau memang luar biasa, berbeda dengan wanita lain yang ada di sini." ucap pria itu memegang pipi Rose dengan lembut.

Rose hanya tersenyum.

Rose!!

Rose dan pria tersebut tersentak kaget.

"Ziah, tolong yang sopan!" ucap Rose.

"Maafkan saya Tuan." ucap Ziah membungkukkan badannya, pria itu tersenyum.

Ziah memberikan bunga mawar tersebut pada Rose, Rose hanya melihat dengan binggung.

"Ini dari Malvin, katanya dia minta maaf padamu." jelas Ziah.

Rose menerima bunga mawar tersebut, dengan perlahan senyuman manisnya pun terlukis. Tanpa disadari, sepasang mata melihat Rose dengan kagum, tentu saja pria yang bajunya dijahit oleh Rose.

~🥀~

"Selamat siang Tuan." sapa Kevin.

"Di mana Daniel dan Zico?" tanya Malvin mencari 2 anak buahnya itu.

"Mereka sudah di sana, menjaga kamar Nona Vinka."

Malvin meletakkan bunga mawar yang ia genggam di atas meja, ia memijat-pijat pergelangan tangannya, melihat itu Kevin tertawa tertahan.

"Anda tidak terbiasa sepertinya Tuan?" tanya Kevin.

"Dari apa?" tanya Malvin kembali.

Kevin menunjuk ke arah bunga tersebut.

"Ya, saya lebih suka memegang senjata daripada itu." balasnya, bersiap untuk berangkat ke rumah Tuan Panduwinata.

"Tuan bunganya." ucap Kevin, memberikan pada Malvin.

"Untuk apa?" tanya Malvin binggung.

"Bawa saja Tuan, mungkin Nona Vinka menyukainya." balas Kevin.

Dengan berat, ia pun menerima bunga tersebut dan melangkah pergi.

~🥀~

Zico melihat Sarah yang sibuk mengompres Vinka.

"Berapa umurmu?" tanya Sarah.

"17 tahun." jawab Zico.

"Wah, kamu yang termuda, ya?" tanya Sarah kembali.

Zico hanya mengangguk, tiba-tiba pintu kamar Vinka terbuka, ternyata itu adalah Malvin.

"Bagaimana keadaannya?" tanya Malvin.

"Semakin parah, sekarang demam tinggi." ucap Sarah.

"Ini obat penawarnya." Malvin memberikan botol kaca itu pada Sarah. Ia mulai mencampur air Kompres dengan obat tersebut, dengan memakai handuk, Sarah mengelap seluruh wajah Vinka yang pucat. Selesai itu, ia mulai menuangkan obat penawar tersebut pada sendok dan menyuapi pada Vinka dengan pelan-pelan, Malvin membantunya.

"Semoga saja berhasil." ucap Sarah.

"Semoga saja." balas Malvin.

Malvin melihat Daniel dan Zico "tugas kalian di sini sudah selesai, kembalilah bekerja." ucap Malvin.

Saat Daniel dan Zico melangkah pergi.

"Tunggu." panggil Sarah, membuat kedua pria itu menoleh kembali.

"Daniel boleh aku bicara dengan mu, sebentar?" tanya Sarah sedikit malu-malu.

Malvin mengerti aura ini, ia hanya bisa tersenyum.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status