Share

Bagian 2

“Kisah … yang belum pernah nenek ceritakan?”

Ragu terselip dalam tanya si gadis. Opheana menyesap cokelat panasnya pelan sebelum meletakkan cangkir di nakas. Netra wanita itu berpindah pada wajah gugup cucunya.

“Nenek salah karena tidak menceritakan segalanya padamu.”

“A-apa maksud nenek?”

Raquel bisa merasakan ketegangan di antara keduanya. Ketegangan yang jarang sekali terjadi ketika gadis itu bersama neneknya. Di matanya, sang nenek adalah sosok wanita hebat berhati lembut yang selalu memberikan ketenangan bahkan di hari terburuknya sekali pun. Melihat Opheana yang tidak melempar senyum dan memandangnya dengan serius membuat jantung si gadis berdegup kencang.

“Nenek bukan dikeluarkan karena tidak lulus ujian atau karena nilai nenek yang menjadi buruk setelah masuk Ottori. Ada sesuatu yang lebih besar dari itu.”

Raquel merasakan telapak tangannya berkeringat. “Sesuatu yang … lebih besar?”

Sang nenek baru akan melanjutkan kisahnya ketika tiba-tiba jantungnya terasa seperti diremat kuat-kuat. Membuatnya terbatuk dan ambruk di pelukan Raquel.

“NENEK!” Si gadis menjerit dengan panik. Dengan cekatan ia segera membaringkan Opheana di ranjang dan memegangi tangannya dengan cemas.

Waktu berjalan begitu lambat hingga akhirnya napas berat Opheana berangsur normal dan kerutan di dahinya berkurang. Wanita itu memandang wajah cucunya yang basah karena air mata. Tangannya yang gemetar berusaha menggapai pipi Raquel.

“N-nenek … a-apa masih terasa sakit? Apa yang harus aku lakukan? Apa yang nenek butuhkan? Apa aku harus ambil sesuatu?” tanya Raquel tergagap.

Opheana menggeleng lemah. Satu senyum tipis ia berikan untuk menenangkan cucunya. Ternyata kutukan itu masih ada. Ia benar-benar ingin melarang cucunya pergi, tapi sekeras apapun ia berusaha sifat keras kepala gadis itu sangat sulit ditaklukkan. Akhirnya sang nenek menyerah.

“Nenek hanya punya satu pesan untukmu. Apapun yang terjadi nanti, jangan melawan arus.”

Opheana hanya berharap cucunya akan baik-baik saja di sana dan ia bisa melihat wajah bahagia Raquel kembali.

****

Setelah percakapan malam itu, perasaan Raquel menjadi tidak tenang. Gadis itu sempat ragu apakah ia harus pergi atau membuang mimpinya jauh-jauh. Namun, seolah paham apa isi kepala gadis itu, Opheana kembali meyakinkan Raquel untuk mengejar mimpinya. Pada akhirnya gadis itu harus menelan rasa cemasnya lamat-lamat karena sang nenek terus meyakinkan bahwa dirinya hanya kelelahan sehabis memanen kentang di ladang.

Barang bawaan Raquel tidak begitu banyak; hanya satu tas besar dan tas kecil yang tersampir di bahunya. Gadis itu memilih pakaian terbaik untuk dibawa dan beberapa pakaian baru yang neneknya belikan di kota. Raquel merasa terenyuh melihat neneknya kembali dengan beberapa potong pakaian untuknya meski ia tahu bahwa Opheana pasti diperlukan tidak hormat di sana. 

Setelah bertukar pelukan erat dan salam perpisahan, gadis itu melangkahkan kakinya meninggalkan Opheana yang terus memandangi sosok cucunya hingga menghilang di balik rindangnya pepohonan.

Tujuan utama Raquel adalah Centro, daerah netral tempat Ottori berada. Di Centro, status tidak lagi berlaku. Semua orang, baik raja dan rakyat jelata berada di derajat yang sama. Sistem kesetaraan itu dicetuskan oleh Alphonso untuk menghilangkan ketimpangan sosial dan menciptakan lingkungan yang nyaman untuk civitas akademika Ottori dan Aliansi Perdamaian. Berbagai kesepakatan antar negara umumnya diselenggarakan di Centro karena daerah itu merupakan kawasan bebas perang.

Namun, gadis itu memutuskan untuk mampir sejenak ke sudut kota untuk menjumpai Lady Vanessa, wanita baik hati yang banyak membantunya selama ini.

“Lady Vanessa!”

Raquel melambaikan tangannya kepada sesosok wanita tua yang terduduk di depan jendela toko bukunya. Lady Vanessa yang terkejut bergegas keluar untuk menghampiri gadis muda itu.

“Raquel? Kenapa kau ke sini di siang hari?” Suaranya terdengar panik. Netra wanita itu memandang sekeliling untuk mendapati tatapan sinis penduduk yang lalu-lalang di sekitarnya.

Raquel menyadari jelas tatapan cemas itu. Lady Vanessa tidak ingin Raquel menerima perlakuan tidak mengenakan orang-orang jika ia muncul di siang hari. Gadis itu ingat betul ia pernah didorong dan dilempari sampah ketika pergi ke kota di siang hari untuk membeli makanan. 

Untungnya, Lady Vanessa diam-diam menyelamatkannya dan membawa gadis malang itu ke rumahnya. Pertemuan pertama itulah yang membuat keduanya dekat. Lady Vanessa mengizinkan Raquel membaca buku di perpustakaannya ketika malam hari, bahkan membiarkan gadis itu menginap. Raquel juga sering diajak berdiskusi walau gadis itu tidak mengerti lebih dari separuh percakapan keduanya. Bagi Raquel, Lady Vanessa adalah nenek kedua sekaligus teman pertamanya.

“Tidak apa, aku hanya kemari sebentar untuk berpamitan.”

“Pamit?” Lady Vanessa baru menyadari tas besar yang dijinjing gadis itu. “Kau mau pergi ke mana?”

Raquel menarik senyum lebar. Tangannya merogoh saku baju dan memberikan amplop emas itu ke Lady Vanessa.

“I-ini ….”

“Aku akan pergi ke Centro sekarang. Terima kasih atas bantuanmu selama ini, Lady Vanessa.”

Manik wanita tua itu berkaca-kaca ketika ia membalas senyum hangat yang lebih muda. “Selamat, Raquel. Kau memang hebat.”

Raquel terkekeh. “Tentu saja! Aku punya nenek dan teman diskusi yang hebat!”

“Cih, padahal tiap kuajak diskusi kau hanya bengong dengan wajah bodohmu.”

Gadis itu cemberut. “Tapi akhirnya aku lulus ujian seleksi tahap pertama, kan.”

Tawa lolos dari bibir Lady Vanessa. “Iya, selamat, Raquel. Aku sangat senang.”

“Terima kasih banyak, Lady Vanessa,” ujar Raquel sambil tersenyum, “kalau begitu aku pamit sekarang.”

“Tunggu sebentar!” Lady Vanessa bergegas masuk ke tokonya. Tak lama, wanita itu kembali dengan kantung di genggaman. “Makanlah selama di perjalanan.”

Mata gadis itu berbinar ketika ia meraih kantung itu. Dari luar ia bisa mencium aroma kue kering buatan Lady Vanessa. Kesukaannya. “Terima kasih banyak, Lady Vanessa! Aku berdoa semoga kebaikanmu segera terbalas dan kau bisa segera menikah--aw!”

“Dasar anak kurang ajar!”

“Hahaha.”

****

Setelah melalui perjalanan selama dua hari dengan menaiki kapal dan berjalan kaki, akhirnya gadis itu menginjakkan kaki di depang gerbang masuk Ottori. Besi berlapis emas yang tingginya mencapai lima meter itu terlihat begitu megah membingkai deretan gedung mewah berpilar yang didominasi warna putih dan emas. Di bawah terik sinar mentari, atap berlapis emas itu terlihat begitu berkilauan. Gadis itu tidak bisa berhenti berdecak kagum dengan mulut terbuka lebar. Raquel baru pertama kali melihat sesuatu semewah ini.

Tatap gadis itu berpindah pada orang di sekelilingnya. Lelaki dan gadis muda berjalan lulu-lalang di sekitarnya. Gaya berpakaian orang-orang begitu beragam; mulai dari yang mewah ala bangsawan sampai jubah hitam menjuntai yang misterius. Raquel menjatuhkan pandangnya pada seorang siswa yang memeluk kedua orang tuanya dengan wajah basah karena air mata. Seketika hatinya tercubit. Ia merindukan neneknya.

“Ah, tidak! Ini bahkan baru dua hari!” tutur gadis itu sambil menggeleng kuat. Mengeratkan genggamannya pada tas, Raquel melanjutkan langkahnya sampai--

“Akh!”

Tubuhnya menubruk seorang gadis jangkung. Membuat keduanya jatuh terjerambab ke tanah. Raquel lekas menyingkir dari punggung gadis malang itu dan membantunya berdiri.

“M-maafkan aku!”

Gadis bersurai merah di hadapannya segera menepis tangan Raquel. Iris hijaunya menatap gadis itu marah. Raquel meneguk ludahnya gugup. Gadis itu memiliki wajah mungil dengan mata besar dan bulu mata yang panjang. Hidungnya mancung dan kulitnya terlihat berkilau di bawah sinar matahari. Gaun putih yang ia kenakan membuat si gadis terlihat sangat anggun. Cantik. Raquel seperti sedang berhadapan dengan seorang dewi.

“Lain kali hati-hati kalau jalan! Memangnya aku yang sebesar ini tidak terlihat? Kau simpan di mana matamu, hah?”

Oke, ralat. Sepertinya hanya tampilannya saja yang indah. Gadis ini benar-benar kasar. Sayangnya, bagaimana pun Raquel yang bersalah di sini. Gadis itu menundukkan tubuhnya dalam-dalam. “Maafkan aku.”

Si gadis jangkung semampai berdecak sebelum melengos pergi meninggalkan Raquel yang masih menunduk. Netranya sempat menangkap noda di gaun putihnya dan itu membuatnya semakin merasa bersalah. Padahal ia baru sampai di Ottori, tapi ia sudah membuat masalah. Raquel harap ia bisa bertemu gadis itu lagi dan meminta maaf dengan benar.

“Hei, nona berambut cokelat yang di sana! Apa kau tidak akan masuk? Gerbangnya akan segera ditutup!” pekik seorang pria dengan seragam ksatria di samping pintu gerbang.

“Oh, baik!” Raquel segera berlari menghampirinya dan memberikan surat yang ia genggam sejak tadi.

-bersambung-

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status