Ada sebuah legenda yang telah turun temurun diwariskan dalam prasasti yang tersimpan di Aula Amaraloka. Dalam legenda itu dikatakan bahwa kelak akan datang masa di mana seorang dewa mampu memanggil senjata legendaris yang bermata dua. Dua buah senjata legendaris itu adalah Kandaga dan Gandhewa memiliki dua nama yang dapat membawa bencana dan membawa kedamaian bagi tiga alam. Kandaga dan Gadhewa itu memiliki nama Atahiktri(1) dan Sanghara yang kelak bisa membawa perdamaian dan kiamat bagi tiga alam.
(1)Atahiktri dalam bahasa sansekerta memiliki arti kebajikan.
Mendengar peringatan yang dibuat oleh Hyang Tarangga dalam saluran komunikasi, para Hyang yang sedang berjaga dan bertugas seketika membanjiri saluran komunikasi dengan berbagai pertanyaan.
[Sanghara Gandhewa?]
Tanya Hyang Marana yang sedang bertugas dan berada di Nirayaloka dan Sadyapara. Tidak lama kemudi
Menggunakan Gaganacara miliknya, Hyang Marana segera berpindah tempat dari Nirayaloka menuju ke Amaraloka. Dengan membawa Atma dari Pawestri Manohara, Hyang Marana yang tiba di Amaraloka dibuat terkejut melihat keadaan yang sedang terjadi di Amaraloka.“Itu. . . itu benar – benar Sanghara Gandhewa dalam legenda. . .” ucap Hyang Marana dengan mulut menganga karena tidak percaya dengan apa yang sedang dilihatnya di sini.Sementara itu, Hyang Yuda yang hendak melepaskan panah Sanghara Gandhewa mengurungkan niatnya begitu melihat Atma dari Pawestri Manohara di samping Hyang Marana.“Maafkan saya, Hyang Amarabhawana dan Hyang Tarangga. Saya membutuhkan waktu yang cukup lama untuk menemukan atma yang Hyang Amarabhawana dan Hyang Tarangga minta. Atma ini nyaris saja memasuki gerbang amratatwa(1) dan saya harus beradu mulut lebih dulu dengan Sadyapara Dorapala.”(1)Amratatwa dalam bahasa s
Hyang Yuda terkejut mendengar jawaban yang diberikan oleh Hyang Tarangga, “Kenapa aku harus kehilangan ingatanku, Hyang Tarangga?”Hyang Amarabhawana yang tidak tega melihat Hyang Tarangga terus menjelaskan rencana itu kemudian maju berbicara menggantikan Hyang Tarangga untuk berbicara.“Hyang Yuda. . . rencana itu awalnya adalah rencana yang sempurna yang telah dirancang oleh Hyang Tarangga bersama denganku. Hyang Tarangga bahkan membaca semua takdir manusia dan memikirkan semua kemungkinan yang ada untuk membantu Hyang Yuda. Tapi sesuatu terjadi di luar kendali. . .”“Apa itu, Hyang Amarabhawana?”“Bukankah sebelumnya Hyang Tarangga menjelaskan Hyang Yuda menerima dua berkah dari ayah Hyang Yuda?”Hyang Yuda menganggukkan kepalanya mengingat penjelasan Hyang Tarangga sebelumnya, “Benar. Satu berkah yakni mata yang mampu membuat ayahku melihat makhluk – makhl
Peperangan yang terjadi di Janaloka lima ratus tahun kemudian. . . Angin kencang bersama dengan getaran dahsyat datang diikuti cahaya yang keluar dari tubuh Hyang Yuda. Sama seperti kebangkitan keduanya yang sempat dilupakan oleh Hyang Yuda, kini Hyang Yuda mengalami kebangkitan yang sama untuk kedua kalinya. Seluruh pakaian Hyang Yuda yang tadinya serba putih dengan jubah perang berwarna emas berubah menjadi kombinasi hitam, biru dan ungu. Sayap dengan warna kombinasi yang sama muncul di punggung Hyang Yuda diikuti dengan mahkota dan topeng emas yang menutupi separuh wajah Hyang Yuda. Berkat cincin yang dipasangkannya di jari manis tangan kanannya, Hyang Yuda secara paksa memanggil kembali semua berkah miliknya yang sempat diberikannya kepada Pawestri Manohara istrinya yang kini bernama Sasarada. Melihat perubahan yang terjadi kepada Hyang Yuda, Mahamara justru bertepuk tangan merasa sangat senang karena keinginannya yang telah t
Begitu proses kremasi berakhir, Dyah Manila berniat untuk mencuri abu dari Rakryan Tumenggung Sena. Namun sesuatu yang tidak diduganya datang menghalangi niat buruknya itu. “Siapa kamu?” teriak Dyah Manila ketika melihat sosok pria yang berdiri dengan membawa tiga guci abu di tangannya. Pria itu tersenyum ke arah Dyah Manila dan menjawab, “Niatmu buruk sekali, Dyah Manila.” “Aku tidak pernah melihatmu di sini, siapa kamu? Kenapa kamu membawa tiga guci abu itu bersamamu? Dan dari mana kamu tahu namaku?” “Aku. . . aku tahu lebih banyak dari yang kamu kira, Dyah Manila. Aku juga tahu kapan kamu akan matidan bagaimana kamu akan mati . . . kupikir pertemuanmu dengan Sena akan membuatmu sadar dan membersihkan hatimu yang kotor itu. Kupikir perasaanmu terhadap Sena akan membawamu pada jalan kebaikan dan berusaha untuk menyelamatkan Sena dari takdir buruk yang sudah membayanginya. Tapi nyatanya. . . kamu justru terlibat dalam bah
Hyang Yuda hanya bisa menggelengkan kepalanya ketika melihat satu per satu adegan dalam kehidupan yang dijalani oleh Dyah Manila bahkan setelah kematiannya. Di antara pikirannya yang terbelah antara membaca ingatan kehidupan Mahamara dan kehidupan nyata, Hyang Yuda mengajukan pertanyaan kepada Hyang Tarangga yang berdiri tidak jauh dari tempatnya berdiri. “Hyang Tarangga. . .” “Ya, Hyang Yuda. . .” jawab Hyang Tarangga. Hyang Tarangga terkejut mendengar namanya dipanggil karena biasanya para Hyang yang sedang membaca ingatan makhluk lain akan benar – benar fokus dan mengabaikan keadaan sekelilingnya. Dengan alasan itu, Hyang Tarangga biasanya akan selalu ditemani oleh Hyang Marana atau Hyang Yuda ketika melakukan hal yang sama. “Apakah sosok yang dilihat Dyah Manila waktu itu dan membawa tiga guci abu milikku dari Majapahit adalah Hyang Tarangga?” Hyang Tarangga menganggukkan kepalanya, “Ya, itu memang aku. Setelah mengawasi
“Apa maksud dari ucapanmu itu?” tanya Dyah Manila. “Banyak makhluk termasuk para dewa melupakan kejadian penting di hari kebangkitan Hyang Yuda sebagai Dewa Perang yang Agung dari Amaraloka. Entah bagaimana semua makhluk yang terlibat di hari kebangkitan Hyang Yuda sebagai Dewa Perang melupakan ingatan mereka, Mahamara,” jelas penyusup itu kepada Dyah Manila. “Lalu dari mana kamu tahu tentang hal ini?” “Ada satu makhluk yang tidak sengaja mengetahui hal ini dan kemudian bersembunyi di Janaloka. Dari informasi yang saya dapat, makhluk ini berhasil melarikan diri dan bersembunyi.” “Kalau begitu, aku ingin kamu membawaku menemui makhluk itu. Ada yang harus aku tanyakan langsung padanya.” Tidak butuh waktu yang lama bagi Dyah Manila yang telah mendapatkan posisi sebagai Mahamara untuk menemukan makhluk yang dimaksud. Makhluk itu rupanya adalah Amarokkecil yang bersembunyi di tanah suci Girilaya tempat wasi dimak
Mendengar jawaban dari Hyang Yuda yang masih bersikukuh dan setia terhadap Manohara, membuat Mahamara semakin kehilangan ketenangannya. Api cemburu dan api kebencian yang membakar hatinya selama lebih dari lima ratus tahun kini memuncak. Keinginan dan harapan yang telah ada selama lebih dari lima ratus tahun kini berakhir dengan kepahitan dan rasa sakit hati yang amat dalam di dalam hatinya. Mahamara, posisi sebagai pemimpin dari Mara yang telah direbutnya. Mahamara, posisi yang telah memberikannya banyak kekuatan. Kini bahkan dengan ancaman kehancuran tiga alam tidak lagi mampu membuat Hyang Yuda, pria yang telah dicintainya lebih dari lima ratus tahun melihatnya sebagai wanita. Dengan jelas, Mahamara menangkap bayangan dirinya di mata pria yang dicintainya sebagai makhluk yang mengerikan, hina dan jahat. Dalam hatinya, Mahamara bertanya kepada dirinya sendiri. Untuk lima ratus tahun lamanya yang telah kuhabiskan selama ini, apakah aka
“Apa maksud dari ucapanmu itu, Hyang Yuda? Menurutmu, aku sendiri yang menggali kuburan kematianku?” Mahamara masih tidak mengerti ucapan Hyang Yuda. Dengan menahan rasa sakit dan perih pada luka kedua lengannya yang terpotong, Mahamara berpikir keras dan berusaha membuat rencana agar dirinya bisa lari dari situasi yang berbahaya ini. “Benar. . . kamu sendiri yang menyebabkan kematianmu, Mahamara. . .” “Tidak mungkin, aku sudah mempertimbangkan banyak hal dalam rencana yang aku buat dan rencana itu benar – benar telah sempurna.” Mahamara masih merasa yakin dengan rencana yang telah dibuatnya dalam waktu yang cukup lama. “Bukankah sudah kukatakan bahwa aku memiliki dua berkah, Mahamara? Kamu melupakan satu berkah ini dalam rencana yang kamu buat. . .” “Meski Hyang Yuda memiliki dua berkah sekaligus, apa hubungan berkah itu dengan rencanaku yang sempurna itu?” Mahamara masih merasa rencana yang