Begitu proses kremasi berakhir, Dyah Manila berniat untuk mencuri abu dari Rakryan Tumenggung Sena. Namun sesuatu yang tidak diduganya datang menghalangi niat buruknya itu.
“Siapa kamu?” teriak Dyah Manila ketika melihat sosok pria yang berdiri dengan membawa tiga guci abu di tangannya.
Pria itu tersenyum ke arah Dyah Manila dan menjawab, “Niatmu buruk sekali, Dyah Manila.”
“Aku tidak pernah melihatmu di sini, siapa kamu? Kenapa kamu membawa tiga guci abu itu bersamamu? Dan dari mana kamu tahu namaku?”
“Aku. . . aku tahu lebih banyak dari yang kamu kira, Dyah Manila. Aku juga tahu kapan kamu akan mati dan bagaimana kamu akan mati . . . kupikir pertemuanmu dengan Sena akan membuatmu sadar dan membersihkan hatimu yang kotor itu. Kupikir perasaanmu terhadap Sena akan membawamu pada jalan kebaikan dan berusaha untuk menyelamatkan Sena dari takdir buruk yang sudah membayanginya. Tapi nyatanya. . . kamu justru terlibat dalam bah
Hyang Yuda hanya bisa menggelengkan kepalanya ketika melihat satu per satu adegan dalam kehidupan yang dijalani oleh Dyah Manila bahkan setelah kematiannya. Di antara pikirannya yang terbelah antara membaca ingatan kehidupan Mahamara dan kehidupan nyata, Hyang Yuda mengajukan pertanyaan kepada Hyang Tarangga yang berdiri tidak jauh dari tempatnya berdiri. “Hyang Tarangga. . .” “Ya, Hyang Yuda. . .” jawab Hyang Tarangga. Hyang Tarangga terkejut mendengar namanya dipanggil karena biasanya para Hyang yang sedang membaca ingatan makhluk lain akan benar – benar fokus dan mengabaikan keadaan sekelilingnya. Dengan alasan itu, Hyang Tarangga biasanya akan selalu ditemani oleh Hyang Marana atau Hyang Yuda ketika melakukan hal yang sama. “Apakah sosok yang dilihat Dyah Manila waktu itu dan membawa tiga guci abu milikku dari Majapahit adalah Hyang Tarangga?” Hyang Tarangga menganggukkan kepalanya, “Ya, itu memang aku. Setelah mengawasi
“Apa maksud dari ucapanmu itu?” tanya Dyah Manila. “Banyak makhluk termasuk para dewa melupakan kejadian penting di hari kebangkitan Hyang Yuda sebagai Dewa Perang yang Agung dari Amaraloka. Entah bagaimana semua makhluk yang terlibat di hari kebangkitan Hyang Yuda sebagai Dewa Perang melupakan ingatan mereka, Mahamara,” jelas penyusup itu kepada Dyah Manila. “Lalu dari mana kamu tahu tentang hal ini?” “Ada satu makhluk yang tidak sengaja mengetahui hal ini dan kemudian bersembunyi di Janaloka. Dari informasi yang saya dapat, makhluk ini berhasil melarikan diri dan bersembunyi.” “Kalau begitu, aku ingin kamu membawaku menemui makhluk itu. Ada yang harus aku tanyakan langsung padanya.” Tidak butuh waktu yang lama bagi Dyah Manila yang telah mendapatkan posisi sebagai Mahamara untuk menemukan makhluk yang dimaksud. Makhluk itu rupanya adalah Amarokkecil yang bersembunyi di tanah suci Girilaya tempat wasi dimak
Mendengar jawaban dari Hyang Yuda yang masih bersikukuh dan setia terhadap Manohara, membuat Mahamara semakin kehilangan ketenangannya. Api cemburu dan api kebencian yang membakar hatinya selama lebih dari lima ratus tahun kini memuncak. Keinginan dan harapan yang telah ada selama lebih dari lima ratus tahun kini berakhir dengan kepahitan dan rasa sakit hati yang amat dalam di dalam hatinya. Mahamara, posisi sebagai pemimpin dari Mara yang telah direbutnya. Mahamara, posisi yang telah memberikannya banyak kekuatan. Kini bahkan dengan ancaman kehancuran tiga alam tidak lagi mampu membuat Hyang Yuda, pria yang telah dicintainya lebih dari lima ratus tahun melihatnya sebagai wanita. Dengan jelas, Mahamara menangkap bayangan dirinya di mata pria yang dicintainya sebagai makhluk yang mengerikan, hina dan jahat. Dalam hatinya, Mahamara bertanya kepada dirinya sendiri. Untuk lima ratus tahun lamanya yang telah kuhabiskan selama ini, apakah aka
“Apa maksud dari ucapanmu itu, Hyang Yuda? Menurutmu, aku sendiri yang menggali kuburan kematianku?” Mahamara masih tidak mengerti ucapan Hyang Yuda. Dengan menahan rasa sakit dan perih pada luka kedua lengannya yang terpotong, Mahamara berpikir keras dan berusaha membuat rencana agar dirinya bisa lari dari situasi yang berbahaya ini. “Benar. . . kamu sendiri yang menyebabkan kematianmu, Mahamara. . .” “Tidak mungkin, aku sudah mempertimbangkan banyak hal dalam rencana yang aku buat dan rencana itu benar – benar telah sempurna.” Mahamara masih merasa yakin dengan rencana yang telah dibuatnya dalam waktu yang cukup lama. “Bukankah sudah kukatakan bahwa aku memiliki dua berkah, Mahamara? Kamu melupakan satu berkah ini dalam rencana yang kamu buat. . .” “Meski Hyang Yuda memiliki dua berkah sekaligus, apa hubungan berkah itu dengan rencanaku yang sempurna itu?” Mahamara masih merasa rencana yang
“Hyang Ruksa??” Mahamara berjalan mundur berusaha menjauh dari Hyang Yuda setelah melihat kekuatan dari panah milik Hyang Yuda yang baru dilepasnya. “Ya, Hyang Ruksa, Dewa Kehancuran yang Agung dari Amaraloka. Apakah kamu tahu apa tugasku?” Mahamara menggelengkan kepalanya tidak tahu. “Aku adalah Dewa yang akan membawa kiamat kelak di Janaloka. Sanghara Gandhewa adalah busur yang akan digunakan untuk melepas kiamat kelak. Itu tadi hanyalah sedikit kekuatan dari busur ini. . . Manusia mungkin menyebutnya sebagai kiamat kecil.” Ketakutan terus menjalar di seluruh tubuh Mahamara. Wajahnya memucat dan tubuhnya bergetar dengan hebatnya. Mahamara sama sekali tidak mampu menatap mata Hyang Yuda dan terus melangkah mundur berusaha menjauh dari Hyang Yuda. Seribu satu cara telah berusaha dipikirkan oleh Mahamara untuk usaha pelarian diri dan penyelamatan dirinya. Namun dari seribu satu cara itu, tidak satu p
“Hyang Ruksa??” Mahamara berjalan mundur berusaha menjauh dari Hyang Yuda setelah melihat kekuatan dari panah milik Hyang Yuda yang baru dilepasnya. “Ya, Hyang Ruksa, Dewa Kehancuran yang Agung dari Amaraloka. Apakah kamu tahu apa tugasku?” Mahamara menggelengkan kepalanya tidak tahu. “Aku adalah Dewa yang akan membawa kiamat kelak di Janaloka. Sanghara Gandhewa adalah busur yang akan digunakan untuk melepas kiamat kelak. Itu tadi hanyalah sedikit kekuatan dari busur ini. . . Manusia mungkin menyebutnya sebagai kiamat kecil.” Ketakutan terus menjalar di seluruh tubuh Mahamara. Wajahnya memucat dan tubuhnya bergetar dengan hebatnya. Mahamara sama sekali tidak mampu menatap mata Hyang Yuda dan terus melangkah mundur berusaha menjauh dari Hyang Yuda. Seribu satu cara telah berusaha dipikirkan oleh Mahamara untuk usaha pelarian diri dan penyelamatan dirinya. Namun dari seribu satu cara itu, tidak satu p
Di sisi lain. . . Sementara Hyang Yuda sedang berperang melawan Mahamara dan membuat perhitungan atas perbuatan Mahamara, Sasarada yang merasakan rasa sakit yang luar biasa hanya bisa berteriak dan meneteskan air matanya. Mata dan kepalanya tiba – tiba merasakan rasa sakit yang luar biasa yang belum pernah terjadi sebelumnya. Pemandangan makhluk – makhluk yang tadi sempat bisa dilihat dengan jelas oleh Sasarada, perlahan mulai kabur dan semakin lama Sasarada semakin kesulitan untuk melihat. “Bertahanlah, Sasarada. . .” Suara berat dan penuh wibawa itu terdengar ketika tubuh Sasarada yang sudah kelelahan menahan rasa sakit, tidak bisa lagi merasakan hal lainnya. “Ini sungguh menyakitkan. . .” Sasarada berkata dengan sisa – sisa tenaganya sembari menahan rasa sakitnya yang luar biasa. Sasarada merasakan seseorang menangkap tubuhnya yang tadi masih berada dalam kurungan yang dibuat Mahamara untuknya dan m
Hyang Yuda yang telah menyelesaikan pertarungannya dengan Mahamara kemudian memanggil Atahiktri Gandhewa miliknya dan melepas sebuah panah yang ditujukan langsung ke arah Amaraloka. Panah itu melesat dengan cepat dan langsung menghancur leburkan pasukan Mahamara yang menyerang Amaraloka. Dalam waktu singkat, peperangan yang dibuat Mahamara dan tiga alam yang berada di ambang kehancuran berhasil diselesaikan oleh Hyang Yuda. Meski dengan bayaran mahal yakni nyawa Sasarada. Semuanya sesuai dengan rencana Mahamara. . . Hyang Yuda berbicara kepada dirinya sendiri ketika dirinya telah berhasil menyelamatkan tiga alam dari kehancuran. Untuk kesekian kalinya, aku dihadapkan lagi pada dua pilihan sulit. Sebelumnya aku dihadapkan pada pilihan untuk menyelamatkan guruku, namun aku memilih diam dan melihat begitu saja. Pilihan itu mengantarkan guruku pada jalan kematiannya. Se