Share

HYANG YUDA
HYANG YUDA
Penulis: mahesvara

1. DEWA PERANG YANG MULAI MERASA BOSAN

Tahun 1810. 

Suara pedang yang saling menyentuh dan bertabrakan satu sama lain. Suara daging segar yang terbelah oleh tajamnya pedang. Suara berisik teriakan banyak prajurit yang siap mati, prajurit yang kesakitan dan prajurit yang berharap pada kemenangan terdengar di kedua telinga Hyang(1) Yuda(2). Pemandangan yang sama dan suara yang sama sudah dilihat dan didengar Hyang Yuda selama kurang lebih lima ratus tahun lamanya. Dari puncak gunung di dekat tempat terjadinya perang, Hyang Yuda hanya duduk diam sembari memperhatikan bagaimana jalannya perang yang sedang terjadi. 

(1)Hyang dalam bahasa sansekerta memiliki arti Dewa.

(2)Yuda dalam bahasa sansekerta memiliki arti Perang. 

Di sampingnya, duduk Hyang Marana(3) dan Hyang Tarangga(4) yang sedang mencatat jumlah kematian yang datang dan takdir manusia yang akan bertahan hidup. Hyang Marana menghitung jumlah manusia yang satu persatu mati sejak dimulainya perang dan kini hitungannya sudah mencapai angka 500 atma(5). Sedangkan Hyang Tarangga sedang membaca buku besar miliknya dan dengan cepat menandai nama – nama manusia yang memiliki takdir mati di dalam perang dan hidup setelah perang berakhir. 

(3)Marana dalam bahasa sansekerta memiliki arti mati. 

(4)Tarangga dalam bahasa sansekerta memiliki arti Bintang. 

(5) Atma dalam bahasa sasnsekerta memiliki arti jiwa. 

Hyang Yuda hanya bisa mendesah panjang ke langit melihat dua rekan kerjanya yang sejak tadi sibuk bekerja sementara dirinya hanya duduk, diam dan melihat jalannya perang. 

“Hyang Tarangga, Hyang Marana. . .” panggil Hyang Yuda ketika melirik dua rekannya yang sibuk dengan tugas – tugasnya. 

“Ehm. . .” jawab Hyang Tarangga. 

“Ya?” jawab Hyang Marana. 

Dua rekannya itu menjawab tanpa melihat ke arah Hyang Yuda sedikit pun. 

“Menurut kalian pihak siapa yang akan menang dalam perang ini?” tanya Hyang Yuda. 

Hyang Tarangga menggelengkan kepalanya dan memberikan jawabannya tanpa melihat sedikit pun ke arah Hyang Yuda yang duduk di sampingnya. “Kenapa kamu ingin tahu Hyang Yuda?” 

Hyang Marana menganggukkan kepalanya mendengar jawaban Hyang Tarangga. 

“Ya, kenapa kamu ingin tahu Hyang Yuda?” sambung Hyang Marana. 

“Hanya penasaran saja. . .” 

Hyang Yuda menggaruk kepalanya dan mendesah untuk kedua kalinya. Pertanyaan yang diajukannya gagal membuat dua rekannya yang sibuk dengan pekerjaan mengalihkan pandangannya. 

Awalnya. . . bagi Hyang Yuda pekerjaan yang diterimanya menjadi Dewa Perang adalah pekerjaan yang menyenangkan. Meski tidak memiliki ingatan masa lalu, Hyang Yuda yang dulunya adalah manusia yang hidup di Janaloka(6) adalah seorang panglima kerajaan. Jadi melihat perang adalah sesuatu yang membuat Hyang Yuda merasa senang. Begitulah awalnya. 

(6)Janaloka dalam bahasa sansekerta memiliki arti dunia. Dunia tempat manusia tinggal. 

Namun semakin lama melihat perang, Hyang Yuda semakin merasa perang adalah sesuatu yang membuat bosan. Meski perang berakhir, akan selalu ada perang lain yang dimulai. Korban yang jumlahnya tidak sedikit terus menerus berjatuhan. Bau amis dari darah manusia di tempat terjadinya perang terkadang membuat Hyang Yuda merasa mual dan ingin muntah. Beberapa manusia yang mati terkadang berada dalam kondisi yang tidak bisa dikenali oleh Hyang Yuda karena tubuhnya yang hancur dan kondisi wajahnya yang rusak. Karena itulah setiap kali perang berlangsung Hyang Yuda setidaknya harus ditemani oleh Hyang Tarangga yang memiliki kemampuan mengenali manusia meski hanya tersisa bagian jarinya sekalipun. 

“Ingin kuberitahu akhir dari perang ini?” tanya Hyang Tarangga masih sibuk dengan buku besar miliknya. 

Hyang Yuda menggelengkan kepalanya. “Tidak perlu, bukankah Hyang Tarangga sendiri yang bilang bahwa perang ini adalah perang yang cukup singkat yang terjadi selama sepuluh tahun ke depan?” 

Hyang Tarangga menganggukkan kepalanya. “Ya, ini salah satu dari tiga perang singkat yang terjadi di Janaloka dalam sepuluh tahun ke depan.” 

“Meski begitu. . . kamu bilang ini adalah perang yang terjadi cukup singkat di sepuluh tahun ke depan, nyatanya di tempat lain masih terjadi perang yang belum terlihat bagaimana akhirnya. . .” sambung Hyang Marana. “Hasil yang dikirimkan oleh bayanganku di tempat lain terjadinya perang sudah mencatat banyak ratusan atma yang siap di kirim ke Sadyapara(7). 

(7)Sadyapara dalam bahasa sansekerta memiliki arti alam baka. 

Hyang Yuda menganggukkan kepalanya. “Sepertinya perang Fulani di Nigeria(8) akan terhenti untuk sesaat. Bayanganku di sana melihat perang mulai berakhir meski tidak sepenuhnya berakhir. Tapi seperti yang kamu baca dalam buku besar milikmu, Hyang Tarangga bahwa perang itu akan berakhir di tahun ini.” 

(8) Perang Fulani di Nigeria terjadi pada tahun 1804 – 1810.

Hyang Tarangga menganggukkan kepalanya menjawab ucapan Hyang Yuda. “Kamu benar, perang itu akan berakhir di tahun ini. Satu pekerjaan kita sedikit berkurang, meski di tahun berikutnya akan terjadi perang yang lainnya.” 

Hyang Yuda menghembuskan napas panjang ucapan dari Hyang Tarangga mengenai perang yang tidak akan berakhir. 

“Saat ini kita dan bayangan kita sedang berjaga di sembilan lokasi perang yang terjadi di Janaloka. Satu perang yang akan berakhir yakni perang Fulani di Nigeria. Dua perang yang berlangsung sejak tahun 1804, satu perang yang dimulai tahun 1809 dan lima perang yang dimulai di tahun ini, tahun 1810(9). Semua perang ini adalah perang besar yang terjadi dan akan memakan banyak korban nantinya. Belum termasuk perang – perang kecil yang mungkin tidak memakan korban atau hanya menewaskan satu, dua atma saja.” 

(9) Perang yang dimaksud oleh Hyang Yuda adalah sebagai berikut Perang Rusia – Persia (1804 – 1813), Perang Hitam (1804 – 1835), Perang kemerdekaan Bolivia (1809 – 1825), Perang kemerdekaan Colombia (1810 – 1819), Perang kemerdekaan Argentina (1810 – 1816), Perang Inggris – Belanda di Jawa (1810 – 1811), Perang Punjab (1810 – 1820), Perang kemerdekaan Meksiko (1810 – 1821). 

“Ada apa denganmu akhir – akhir ini?” tanya Hyang Marana masih sibuk mencatat jumlah atma yang siap pergi ke Sadyapara. 

“Tidakkah kamu menyadari hembusan napas panjangnya, Hyang Marana?” sambung Hyang Tarangga. 

“Apa yang terjadi pada Hyang Yuda?” 

Kali ini Hyang Marana menolehkan kepalanya ke arah Hyang Yuda dan menghentikan tugasnya untuk sementara. 

“Hyang Yuda merasa bosan. . .” jelas Hyang Tarangga. 

“Bosan?” tanya Hyang Marana dengan raut wajah tidak percaya. Dengan cepat, Hyang Marana melanjutkan pekerjaannya lagi dan mulai melanjutkan hitungannya yang sempat terhenti. Masih dengan menghitung, Hyang Marana bertanya lagi, “Apa yang membuatmu bosan, Hyang Yuda? Bukankah di antara semua Hyang, kamulah yang selalu bersemangat dalam melihat perang?”

Hyang Yuda yang masih duduk dengan mata menatap ke arah jalannya perang memberikan jawaban untuk pertanyaan Hyang Marana. 

“Beberapa perang yang terjadi sudah tidak begitu menarik lagi. Beberapa alasan perang terjadi pun juga sudah seringkali terjadi. Taktik yang ada dalam perang pun selalu kutebak dengan mudah, bahkan hanya dengan melihat beberapa kali aku sudah bisa dengan mudah menebak pihak siapa yang akan jadi pemenang dalam perang nantinya. Yang tersisa hanyalah rasa bosan ketika melihat perang yang tidak pernah berhenti terjadi. Rasa muak melihat korban yang berjatuhan dengan bau darah amis di sepanjang lokasi perang. Rasa lelah dan sakit yang sama seperti yang dirasakan oleh banyak prajurit dalam perang. Dan rasa putus asa dari harapan banyak orang, baik prajurit atau rakyat yang mengharapkan kedamaian yang akan datang dan perang yang akan terhenti.” 

Hyang Marana melirik ke arah Hyang Yuda dan mencibir, “Di antara semua dewa yang ada hanya kamulah dewa yang paling muda. Usiamu baru lima ratus tahun dan kamu sudah merasakan bosan. Aku dan Hyang Tarangga bahkan hidup sudah sejak ribuan tahun lamanya dan kami bahkan sama sekali tidak mengeluh apalagi merasa bosan.” 

Hyang Tarangga tersenyum mendengar jawaban yang diberikan Hyang Marana kepada Hyang Yuda. Hyang Tarangga sudah terbiasa dengan sikap Hyang Marana yang terkadang dengan mudahnya mengatakan apa yang ada dalam pikirannya tanpa memikirkan kondisi dari subjek yang berbicara dengannya. Dan karena sifatnya itu, Hyang Marana dengan mudahnya memicu pertikaian di antara para Hyang. 

Hyang Tarangga menghentikan tugasnya untuk sementara dan menoleh ke arah Hyang Yuda. Dengan menepuk bahu Hyang Yuda, Hyang Tarangga dengan bijak berbicara pada Hyang Yuda. 

“Saat ini. . . mungkin Hyang Yuda merasa bosan karena melihat perang yang tiada habisnya terus terjadi. Tapi. . . suatu saat, perang – perang yang terjadi juga pasti memiliki akhir. Manusia pasti akan merasakan lelah dan bosan, sama seperti yang Hyang Yuda rasakan saat ini dan perang akan berhenti terjadi. Saat itu terjadi nanti, Hyang Yuda mungkin tidak lagi melihat perang dan mungkin akan menganggur selamanya. . .” 

Setelah menyelesaikan ucapannya, Hyang Tarangga kembali menyibukkan dirinya dengan buku besar miliknya dan mencatat takdir manusia. Sedangkan Hyang Yuda yang sempat merasa bosan, mendengar kata menganggur selamanya dari mulut Hyang Tarangga segera menghilangkan rasa bosannya dan memfokuskan pandangannya ke arah peperangan yang sedang terjadi. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status