Nama Rakryan Tumenggung Sena menggema di seluruh Majapahit terutama di Kota Mojokerto yang merupakan ibu kota kerajaan Majapahit. Bahkan kedatangan pasukan Rakryan Tumenggung Sena mendapat sambutan luar biasa dari rakyat Majapahit. Bak pesta tahunan di Majapahit, iring - iringan pasukan Rakryan Tumenggung Sena yang sejak masuk dari gerbang kota Mojokerto hingga masuk ke Antapura diikuti oleh rakyat yang ingin melihat Rakryan Tumenggung mereka yang masih muda. Beberapa gadis di jalan berteriak memanggil nama Sena dengan harapan Sena akan melihat mereka. Beberapa anak kecil berteriak memanggil Nama Sena berharap dirinya tumbuh dewasa dan bisa menjadi seperti Sena. Dan beberapa orang tua meneriakkan nama Sena untuk memberi pujian kepada Sena.
Pemandangan yang menghebohkan di seluruh Majapahit itu tidak luput dari pandangan Dyah Manila adik dari Mahapati yang kebetulan sedang berada di jalanan menuju Antapura ketika pasukan Rakryan Tumenggung tiba di jalanan kota Mojokerto.
Setelah empat tahun lamanya, perlahan Hyang Yuda mulai melupakan nama Hyang Yuda dan posisinya sebagai Dewa Perang yang Agung dari Amaralokadan terbiasa menjalani segalanya layaknya sebagai manusia biasa bernama Sena. Dari makan bersama dengan pasukannya, dari menikmati jalan – jalan di pasar dengan dikelilingi oleh orang tua yang berebut menunjukkan putrinya dan menikmati jalannya perang bersama dengan pasukannya. Kebiasaan itu kini sudah menjadi bagian dari hidup Hyang Yuda dengan nama Sena. Dua hari sebelum hari pernikahannya, Maharaja meminta untuk bertemu dengan Hyang Yuda untuk menemaninya berjalan – jalan di sekitar tembok Antapura hanya untuk menikmati langit malam. “Apakah kamumerasa gugup, Rakryan Tumenggung Sena?” tanya Maharaja yang berjalan di depan Hyang Yuda. Dengan penuh rasa hormatnya, Hyang Yuda menjawab pertanyaan Maharaja, “Lebih gugup dari pada harus pergi berperang, Maharaja.” Maharaja menghentikan l
TAHUN 1300 Setahun kemudian. . . Hyang Yuda yang selama setahun telah tinggal di Antapura bersama dengan Pawestri Manohara pergi mengunjungi rumah lama gurunya yang dulunya ditinggalinya yang berada di luar Antapura. Di depan gerbang rumah miliknya yang sederhana berdiri Rangga, sahabatnya yang telah lima tahun lamanya pergi berkelana ke seluruh daerah kerajaan Majapahit. “Rangga. . .” sapa Hyang Yuda ketika mengenali wajah sahabatnya yang sudah lama tidak ditemuinya. “Rakryan Tumenggung Sena. . .” balas Rangga dengan sedikit menundukkan kepalanya memberi hormat kepada Hyang Yuda. Terkejut melihat sahabatnya memberi hormat padanya, Hyang Yuda segera berlari menghampiri sahabatnya dan berkata, “Jangan begitu Rangga, kita adalah teman. Jangan bersikap terlalu formal dan memanggilku dengan jabatanku. Kamu bisa memanggil namaku seperti yang biasa kamu lakukan, Rangga. . .” Ran
Setelah selesai berkunjung ke rumah lamanya, Hyang Yuda kembali ke Antapura. Di depan pintu masuk Antapura, Hyang Yuda sudah dicegat oleh pelayan pribadi Maharaja yang membawa pesan dari Maharaja untuk segera menghadapnya. Bersama dengan pelayan Maharaja, Hyang Yuda segera bergegas menuju Aula tempat Maharaja berada. “Rakryan Tumenggung Sena. . . “ sapa Bayangkara Rama yang menjadi pengawal pribadi Maharaja. “Bayangkara Rama. . . saya mendapat pesan untuk segera menghadap Maharaja,” jelas Hyang Yuda. “Mohon tunggu sebentar Rakryan Tumenggung Sena, Maharaja sedang kedatangan tamu pentingsecara tiba – tiba.” Hyang Yuda menuruti perintah Bayangkara Rama dan berdiri menunggu di depan aula tempat Maharaja berada. Setelah menunggu sekitar satu jam lamanya, Hyang Yuda melihat tamu yang menemui Maharaja keluar dan berpapasan dengannya. “Siapa itu tadi, Bayangkara Rama?” tanya Hyang Yuda penasaran karena merasa belum perna
Setelah selesai memberi salam dan menyapa Mahapati, Hyang Yuda berpamitan kepada Maharaja dan Mahapati untuk meninggalkan Aula tempat Maharaja berada dan kembali bertugas. Hyang Yuda berbalik dan melangkah pergi untuk keluar dari Aula, namun langkahnya terhenti ketika tanpa disengaja telinganya mendengar suara Mahapati yang berbicara kepada Maharaja. “Mohon maafkan kelancangan saya, Maharaja. Sepertinya saya tadi melihat Mahisa Taruna datang kemari, Maharaja. . .” Hyang Yuda mendengar Mahapati menyebut nama Mahisa Taruna. Untuk sesaat. . . Hyang Yuda menghentikan langkahnya, namun dengan segera Hyang Yuda melanjutkan lagi langkahnya hingga keluar dari Aula tempat Maharaja berada. “Bayangkara Rama. . .” sapa Hyang Yuda. “Ya. . . Rakryan Tumenggung. Apakah sudah selesai menemui Maharaja?” tanya Bayangkara Rama yang menjaga pintu aula tempat Maharaja berada. “Ya. . . bisakah aku menanyakan sesuatu padamu, Bayangkara
Setelah mendengar berita yang dibawa oleh Anggara, Hyang Yuda benar – benar tidak bisa tertidur hingga fajar akhirnya tiba. Begitu pagi tiba, Hyang Yuda segera berpesan kepada Biyada yang menjaga Pawestri Manohara karena tidak ingin membangunkan istrinya yang kelelahankarena pesta kecil yang dibuat Maharaja untuknya kemarin. Setelah meninggalkan pesan untuk istrinya, Hyang Yuda kemudian pergi menemui Anggara lagi di tempat pelatihan pasukan miliknya. “Anggara. . .” panggil Hyang Yuda ketika tiba di tempat pelatihan pasukan miliknya. “Ya, Rakryan Tumenggung. . . ada yang bisa saya lakukan untuk Rakryan Tumenggung?” tanya Anggara. “Setelah ini. . . aku akan pergi mengunjungi Guruku. Perasaanku tidak enak sejak semalam dan aku benar – benar tidak bisa tertidur. Jadi kuputuskan hari ini aku akan mengunjungi Guruku. Untuk itu. . . aku butuh bantuanmu.” “Apa yang perlu saya lakukan, Rakryan Tumenggung?” tanya Anggara. “
“Keputusan belum keluar, Guru. Kemarin Maharaja membuat pesta untuk Pawestri Manohara. . . dan proses pengadilan mungkin akan segera dilakukan tidak lama lagi,” jelas Hyang Yuda. “Untuk berjaga – jaga. . . aku akan mengirimkan berita kepada Guru kelak jika sesuatu yang buruk terjadi.” “Tidak perlu, Sena. Jangan lakukan hal itu.” Ken Sora dengan cepat menolak bantuan yang akan diberikan oleh Hyang Yuda sebagai muridnya. “Kenapa, Guru?” Hyang Yuda bertanya dengan wajah heran. “Aku sudah bersiap menerima kematianku sejak lima tahun yang lalu, Sena. Cepat atau lambat, aku pasti akan menerima hukumanku karena secara sadar aku telah membunuh Mahisa Anabrang dengan tanganku.Secara sadar pula, aku telah melanggar hukum di Majapahit. Jika kali ini Maharaja tidak segera memberikan hukuman padaku, maka kelak Maharaja akan mengalami kesulitan dan akan membuat Maharaja kehilangan kepercayaan dari pejabat – pejabatnya.”&n
“Ada apa Mahapati?” Maharaja bertanya ketika melihat Mahapati yang maju ke depan semua pejabat dan mengajukan dirinya untuk bicara. “Mohon ijinkan saya untuk berbicara dan mengemukakan pendapat saya, Maharaja. Karena melihat situasi sekarang yang semakin memanas.” “Bicaralah. . .” Maharaja memberikan perintahnya kepada permintaan yang diajukan oleh Mahapati. “Berdasarkan Undang – Undang Kutaramanawadharmasasatra, perbuatan Rakryan Patih Ri Daha harusnya mendapat hukuman yakni hukuman mati, benarkah itu Maharaja dan Bhatara Sapta Prabu?” Mahapati memainkan trik liciknya untuk menarik perhatian dari semua orang yang ada di tempat pengadilan. “Ya, kamu benar, Mahapati. . .” jawab Maharaja. “Rakryan Patih Ri Daha adalah pahlawan bagi Majapahit bersama dengan Mahapatih Nambi, Mahisa Anabrang dan Adipati Ranggalawe. . . kita semua mengetahui hal itu, benar bukan?”
Satu hari sebelum pengadilan untuk Ken Sora. . . “Kakak. . .” panggil Dyah Manila ketika melihat kakaknya pulang. “Adikku, Manila. . .” balas Mahapati ketika mendengar panggilan dari adik kesayangannya. “Kudengar kakak membela Ken Sora dalam pengadilan kemarin dan bukannya membela Mahisa Taruna?” Mahapati tersenyum mendengar komentar dari adiknya yang secara tiba – tiba membicarakan pengadilan yang diikutinya bersama dengan Mahisa Taruna. “Kenapa? Kamu tidak suka aku berdiri membela Ken Sora, guru dari orang yang kamu sukai itu?” Dyah Manila menggelengkan kepalanya dan membuat bibirnya sedikit cemberut. Setelah menggelengkan kepalanya, Dyah Manila kemudian menjawab pertanyaan dari Kakaknya itu, “Benar. . . aku tidak suka itu. Karena Sena sudah menjadi suami dari Pawestri Manohara, setidaknya aku ingin melihat Sena itu menangisi kematian gurunya. Dengan melihat Sena terluka, pasti Pawestri