Share

Pria aneh

Kepercayaan kerap kali menjadi korban atas ketidak berdayaan seseorang yang memilih berbohong untuk menyelamatkan diri

_______________

"Tapi saya harus ketemu sama orangnya, Pak!"

Dera mengernyit, menatap tajam pada si pembuat onar yang merusak pemandangan depan kantornya. Baru saja dia menginjakan kaki kembali setelah pergi selama seminggu ke Brazil, dia harus menyaksikan kejadian konyol yang membuat moodnya berantakan.

"Nggak bisa, Mas. Bu Dera sedang keluar negeri dan belum pulang," jelas satpam dengan napas tersengal karena kualahan. Sementara Dera, masih berdiri dengan bersedekap di tengah-tengah karyawan yang seakan kehilangan napas. Bertaruh antara tetap bekerja atau jadi tuna wisma.

"Bapak jangan bohongin saya, tadi saya lihat mobilnya." Pria berkaos merah putih itu masih ngotot dengan bingkisan di tangan. Entah apa tujuannya datang? Tapi bersikap seperti itu maka dia siap untuk melawan macan. "Orang-orang seperti kalian ini memang tidak punya hati!" serunya setelah mendapat satu dorongan di dada. Merasa paling mengenaskan tanpa berpikir jika ribuan manusia di dalam kantor besar itu tak lebih beruntung dari dirinya yang masih bisa menghirup udara bebas dengan tenang.

Dera menunggu, menunggu apakah harus menyingkirkan ribuan manusia di belakangnya karena tak mampu menyelsaikan masalah sekecil itu? Atau menunggu sampai pria tak berguna berbaju merah itu menghilang dari depan kantornya. Tapi yang pasti dia bukan orang yang suka menunggu lama.

Priatno, pria yang beratatus sebagai kepala divisi humas  mendekat ke arah sumber keributan. Berbincang sebentar kepada satpam dan pria pengantar paket, tapi sepertinya tetap tak menemukan titik temu. Sampai pria berkaca mata itu kembali dengan air wajah yang seakan siap untuk dihukum pancung.

"Dia hanya ingin bertemu dengan, Bu Dera katanya," bisik Priatno yang membuat wanita berambut brunute itu mengepalkan tangan.

"Saya tunggu surat pengunduran diri kalian jika tidak bisa menyelsaikan masalah sekecil itu!" Dan satu gedung riuh dengan suara-suara ratapan yang diiringi laju jantung bak roller coaster.

Dera melangkah menuju lift khusus, dan dalam sekejap suara teriakan menggema memenuhi lobi bersamaan dengan langkah kaki mengarah ke satu tempat, pintu utama. Tempat di mana si pembuat onar berada.

"Woy!" Satu teriakan yang hanya ditanggapi gelengan kepala oleh Dera sebelum pintu lift tertutup. Kadang dia tak habis pikir, bagaimana bisa ayahnya mempekerjakan karyawan-karyawan barbar seperti mereka? Sementara di belakangnya, sang sekeretaris cekikikan dengan tangan memegang perut dan mulut.

"Kamu puas?" Satu alis terangkat di wajah Dera.

Tak hanya Deby yang terdiam. Bahkan wanita itu tak bisa mendengar suara detak jantungnya sendiri. Ia menelan habis rasa geli yang serasa menggelitik perut. Dia lupa jika sedang bekerja dengan siapa?

Dera alexandra memang kejam.

*****

Pria itu ngos-ngosan, menunduk memegang lutut. Setelah berlari ratusan meter ahirnya ia benar-benar selamat dari kejaran zombi-zombi gedung pencakar langit itu. Hampir saja dia jadi bahan sarapan mahluk-mahluk menyeramkan berseragam kantor.

Dadanya masih menghentak keras bila mengingat teriakan para karyawan yang seakan ingin menalannya bulat-bulat. Di pikirannya terlintas bagaimana kejamnya wanita yang menjadi pemimpin mereka.

Daren bersandar di bawah pohon pinggir jalan. Mengipaskan topi kerjanya untuk mendinginkan wajah. Tangannya memainkan box kecil dengan balutan kertas dan lakban berwarna kuning. Atas permintaan konyol si pengirim dia hampir saja kehilangan nyawa.

Entah apa isi dari kotak ini? Sampai harus diterima langsung oleh perempuan bernama Dera alexandra itu? Dan apa pula hubungan antara pelanggannya dengan wanita itu?

Daren meraba saku celana, meraih benda bergetar di dalamnya. Wajahnya menghangat melihat nama si penelpon.

"Halo Dra?"

"..... "

"Iya aku lagi kerja. Kamu udah sarapan?" Bibirnya menyungingkan senyum. Suara syahdu di seberang sana sejenak bisa menenangkan kekeruhan pikirannya.

Sedetik kemudian, senyum lebar itu berubah menjadi kepiasan. Menyisakan raut terpukul yang tak bisa disembunyikan.

"Iya. Waalaikumusalam." Benda itu kembali dimasukan ke saku celana. Pikirannya mengembara ke tempat nun jauh di sana. Tempat di mana seseorang sedang menunggunya membawa harapan untuk masa depan mereka.

Daren beranjak. Melangkah menuju tempat kerjanya. Sampai beberapa langkah dia mengumpat. "Shit!" teriaknya menendang udara.

Baru ingat jika motornya tertinggal di tempat itu. Dia tidak munggkin kembali kesana. Entah akan jadi sayur lodeh atau sayur cacah dirinya jika bertemu dengan para kanibal itu?

Memikirkannya saja dia sudah ngeri.

****

Dera memijit ujung pelipis. Apa-apaan semua ini? Data penjualan merosot? Dan ada apa dengan perhitungan bagian keuangan? Semuanya kacau.

"Pak Reno ingin berbicara dengan, Ibu." Deby memberikan telpon genggam sang atasan. Dera adalah jenis wanita yang tak pernah ingin diganggu jika sedang bekerja. Maka tak heran jika ponsel genggamnya bahkan berada dalam pengawasan sang sekeretaris. Dia bukanlah orang yang sembarangan menerima telpon ketika sedang berada di kantor.

Dera menempelkan ponsel ke telinga selepas kepergian Deby. Berjalan ke arah jendela dengan sebelah tangan terlipat di atas perut.

Suara Reno di ujung sana terdengar penuh kerinduan, membuatnya menggigit bibir karena merasakan hal yang sama.

"Hanya sedikit gangguan." Dera menekan ujung pelipis. Menatap pada jalanan di bawah sana. Hari sudah menggelap, dan dia masih asyik dengan pekerjaanya.

"Aku akan pulang sebentar lagi," ujarnya menghentikan kehawatiran Reno. Iya, suaminya itu memang menjadi sedikit posesif sekarang. Menanyakan hal-hal spele yang menurut Dera tak penting untuk ditanyakan oleh manusia dewasa macam mereka.

"Kapan kamu pulang?" Pertanyaan itu sebenarnya malas ia tanyakan. Tapi demi keutuhan hubungan mereka setidaknya dia harus menjadi lebih perhatian pada sang suami demi mempertahankan hubungan yang ia sendiri kurang yakin untuk bisa bertahan lebih lama. Mereka hanya sedang mencoba. Itu saja.

Dera menghela napas. Jawaban Reno membuatnya menelan ludah pahit. Baru kemarin rasanya mereka tidur bersama, dan kini suaminya berada di belahan selatan dari bumi tempatnya berpijak sekarang.

"Iya, aku juga mencin--" Dera tak melanjutkan ucapan. Netranya fokus pada sesuatu yang mencurigakan di bawah sana.

"Reno, aku akan mengubungimu." Belum sempat mendengarkan protes dari mulut sang suami, telpon sudah ia matikan dan bergegas meninggalkan ruangan.

'Ada yang mau cari mati rupanya.'

Sekeliling kantor sudah melengang. Hanya ada mobilnya dan beberapa motor para satpam yang menghuni parkiran. Lalu kemana manusia-manusia yang dibayar untuk menjaga perusahaannya itu?

Dera melangkah cepat ke arah mencurigakan yang ia lihat dari atas ruangannya tadi. Seingatnya itu di dekat mobilnya.

Suara motor digeret membuat Dera memicingkan mata. Melihat dari samping mobil, pria yang tengah berusha membawa keluar salah satu motor yang ia yakini milik karyawannya.

Wanita itu mengeram, tangannya meraih bongkahan batu yang berada di dekat roda mobil. Tidak, dia tidak bisa membiarkan kantornya dijarah oleh manusia tak berguna seperti itu. Berani bermain-main dengan Dera alexandra? Maka tungu kehancuranmu.

Satu ... dua ... ti ....

"Mampus lo!"

"Aw!" Teriakan itu semakin membuat Dera bernafsu menghujamkan pukulannya dengan membabi buta. Sementara si korban tak bisa berbuat apa-apa selain berteriak histeris dan berusaha menangskis setiap pukulan yang mengarah ke sekujur tubuhnya.

"Berani lo maling di kantor gue? Brengsek!" Dan satu tendangan berahir di selangkangan pria itu. Merubuhkannya ke atas papin blok dengan mata terpejam rapat.

"Oh my gosh!" Teriakan itu menggema di area parkir. "Apa yang, Ibu lakukan?"  pekik Deby dengan wajah pias melihat pria yang terbaring tak sadarkan diri di bawah kaki sang bos.

Dera mengelap tangan yang kotor. Bukankah dia harus sedikit bangga karena berhasil melumpuhkan penjahat?

"Maksud, Ibu?" Deby mengernyit menatap sang bos yang masih menyisakan keangkuhan di wajah berkeringatnya.

"Saya berhasil membekuk maling."

"What?" Deby membeliak. "Maling dari mana?" ujarnya memastikan mahluk yang terkapar di bawahnya. Menyentuh leher dan memeriksa nadi tentunya.

"Gimana?" tanya Dera ikut berjongkok. Dia rasa pukulannya cukup keras sehingga membuat pria itu tak berdaya. Hingga ... tiga detik kemudian.

"Aaaaa !!! " Deby hampir terjengkang ke belakang. Lutut wanita itu bergetar seakan ubur-ubur yang tak bertulang.

"Ada apa?!" tanya Dera mengguncang tubuh bergetar Deby yang semakin seperti jely. Lembek.

Dan tak menunggu lama, barisan pria berseragam putih biru sudah berkumpul mengelilingi mereka.

"Ya Allah! Ini kan si Mas yang tadi pagi?"

"Aaaaa .... " Deby makin asyik membuat paduan suara. Dia yakin pria itu sudah tak bernapas.

"Kok wajahnya luka-luka?" tanya satpam yang lain.

Sementara Dera mengusap peluh sebesar biji jagung yang mulai melunturkan make-upnya. "Ada yang bisa jelaskan kepada saya dia siapa?" Kini dia mulai gentar.

"Dia pengantar paket yang datang tadi pagi, Bu," ujar satpam yang lain lagi. Mereka menjawab secara bergilir setiap pertanyaan sang bos. Bentuk solidaritas kerja persatpaman mungkin?

"Lalu kenapa dia mencuri motor di sisni?!" bentak Dera. Pikirannya mulai kacau sekarang. Bahkan suara menggelegarnya sudah terdengar serak.

"Dia tidak mencuri, Bu. Itu motornya,"

"Hah?!" Dan semakin banyaklah biji jagung yang menghias pelipis Dera. Apa sekarang dia sudah berstatus sebagai penjahat?

"Tunggu sebentar!" Dera menghela napas kemudian mengembuskannya. Dia harus memastikan pria itu masih hidup atau tidak.

Meraba tubuh sang pria, ia menyentuh leher dan dada. Ingin tahu apakah jantungnya masih berdetak.

"Ohhh goshhh .... " Dera melenguh dengan wajah masih tertempel di dada bidang itu.

"Mati!" Dan keempat satpam berteriak dengan konyol.

"Aaaaaa !!! " Itu adalah terikan terakhir Deby sebelum menjatuhkan diri ke arah empat satpam yang langsung menangkap tubuhnya.

"Hey stop!" teriak Dera menatap tajam. " Dia belum mati Okey!" serunya ingin menghajar para satpam ngondek yang baru diketahuinya hari ini. "Bereskan dia dan berhenti berteriak. Kalian lebay!" Wanita itu berdiri sembari mengusap lutut yang kotor.

"Selamet ... selamet .... " Bisik para satpam sebelum membereskan dua mahluk yang tak sadarkan diri di hadapan mereka. Deby dan? Entah siapa namanya?

Bersambung ....

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status